43. Persembunyian Fabian

16 3 1
                                    

Happy Reading Fellas!

~♥~

E M P A T P U L U H T I G A

"Gue emang nggak berubah, lo pikir gue barbie yang suka berubah pake kembang api di ending cerita?"

~♥~


Fabian tak duduk di kursi, namun berjongkok di sisi ranjang pesakitan. Seseorang yang amat ia sayangi dan ia jaga bak berlian sedang berbaring di sana berjuang melawan penyakit yang sialnya baru Fabian ketahui pagi ini. Laki-laki itu menggenggam erat tangan Rania yang bebas dari infus.

Laki-laki itu memejamkan matanya, menarik tangan Rania ke pipinya. Ia memeluk tangan sang ibu tanpa ingin membuka mata. Ia tak sanggup menatap wajah pucat Rania yang tertutup masker oksigen itu.

Fabian menghela napas. Namun tak ada air mata yang turun dari matanya. Sungguh laki-laki itu lelah dengan semuanya. Sebenarnya apa gunanya ia di sini? Tak ada satu pun dari mereka yang menganggap keberadaannya. Tak ada yang menganggap ini penting.

Sesekali ia berpikir bahwa ia mengerti. Mungkin memang mereka takut dirinya khawatir atau takut akan membebaninya. Mungkin Rania memang benar-benar ketakutan. Mungkin Rania memang punya sesuatu yang sulit diceritakan. Tapi semakin ia berusaha memahami, ia makin tak bisa mengerti satu pun dari penjelasan mereka.

"Ma.. Bian capek kayak gini. Mama ngerti nggak sih kalau Bian khawatir? Mama ngerti nggak kalau Bian nggak bisa lihat mama sakit? Mama ngerti nggak kalau Bian kecewa?" protes Fabian pada tubuh kaku Rania. Perlahan matanya mulai kembali membendung cairan bening yang sialnya sudah berusaha ia tahan sejak tadi.

"Ma.. Apa yang selama ini mama simpan? Bian anak mama kan? Kenapa Bian nggak boleh tahu? Kenapa mama buat Bian kecewa? Apa lagi yang mama simpan? Mama tahu kan, Bian nggak bisa terima apa pun yang terjadi sama keluarga kita. Bian capek, Ma. Bian capek sama semua rahasia yang mama sama papa simpan,"

Cairan bening itu akhirnya lolos dari mata Fabian yang masih setia tertutup. Genggaman tangannya tak lepas malah semakin erat.

"Maafin Bian, Ma. Bian belum bisa jadi anak yang baik buat Mama. Bian masih buat Mama kecewa. Bian belum siap, Mam. Bian takut Mama pergi," kali ini Fabian terisak penuh sesal. Entah apa yang Fabian sesali, tak ada yang tahu.

"Mama bangun, ya? Jangan buat Bian jadi bodoh dan jahat,"

***

Sementara itu laki-laki dengan kacamata yang bertengger di hidungnya menatap Fabian sendu di balik kaca ruang ICU. Sahabatnya itu memang akan jadi sangat rapuh kalau sudah berurusan dengan sang ibu. Galih tahu Fabian menyimpan beban berat karena masalah keluarganya. Fabian tak pernah secara gamblang menceritakan permasalahan yang ia hadapi. Ia hanya akan mengatakan apa yang ingin ia katakan.

Galih juga tahu kalau Fabian sempat bercerita juga ke Felisha. Namun Galih tak tahu kalau Felisha sudah sejauh itu mengetahui dan membantu keluarga Fabian. Ini rumit. Galih sangat mengenal Fabian yang keras kepala. Fabian yang masih sulit mendengar orang lain. Fabian yang hanya bisa melampiaskan amarahnya kepada orang lain tanpa tahu ia bisa saja menyakiti orang itu.

Galih menghela napas kasar. Ia sangat memahami betapa terpukulnya Fabian saat ini. Namun Galih bisa melihat beban yang di tanggung Fabian lebih besar. Fabian seolah menutupi sesuatu dari semua orang. Bukan tentang keluarganya, tapi tentang dirinya sendiri. Galih bisa melihat raut sesal yang amat sangat Fabian rasakan ketika menggenggam tangan sang Ibu.

Galih pun beranjak dari sana setelah melihat Fabian mulai berhenti dari tangisnya. Galih berjalan keluar dan duduk di kursi tunggu di depan ruang ICU. Ia duduk bersandar dan melipat tangan di depan dada terdiam seperti biasa. Ia melihat Fabian berjalan keluar dengan jejak air mata di wajahnya dan raut lesu.

Game Over: THE WOLFGANGHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin