33. Felisha Sakit

45 7 1
                                    

Happy Reading Fellas!

~♥~

T I G A P U L U H T I G A

"Gimana kalau gue beneran gila?"

~♥~

Fabian mengikuti mobil Felisha dari belakang. Entah mau kemana Felisha pergi, ia akan memastikan kekasihnya itu baik-baik saja. Ini kali pertamanya melihat Felisha serapuh itu. Felisha yang selama ini jutek, terlihat berani dengan apa pun, bahkan dengan kecerewetannya itu, terlihat sangat berbeda dengan Felisha yang menangis tersedu tadi. 

Laki-laki itu ikut merasa sesak melihat tangis Felisha. Fabian pun tak tahu perasaan itu datang dari mana. Sakit sekali ternyata melihat gadisnya menangis begitu. Gadisnya yang ia tahu sangat tangguh dan berani. Gadisnya yang bisa melawan siapa saja yang mengganggu orang-orang di sekitarnya. 

Seberapa dalam trauma yang dialami gadis itu? Seberapa rapuh gadis itu sebenarnya? Sampai Fabian mulai ketakutan untuk hanya bisa menyentuhnya. 

Fabian menghentikan mobilnya saat melihat mobil Felisha berhenti di depan sebuah taman. Ia melihat Felisha keluar dari mobil dengan wajah datarnya. Wajah datar yang selama ini menipu Fabian. Laki-laki yang masih berseragam itu menatap takut mata kosong Felisha. Sementara Felisha melangkah mendekati salah satu pohon besar dan duduk di sana. 

Fabian pun bergerak menyusul kekasihnya yang termenung dengan pandangan kosong yang mengkhawatirkan. Ikut duduk bersandar pada pohon besar itu di sisi yang lain. Ia memilih diam, mendengar hela napas gadis itu dan menunggu. Fabian menatap Felisha dari sisi lain pohon besar itu. Sementara Felisha menutup matanya menenangkan diri. Fabian menunggu sampai Felisha benar-benar tenang. Seperti yang biasa ia lakukan, diam dan menunggu Felisha hingga siap bertemu dengannya.

"Fab?" panggil Felisha tiba-tiba. Ternyata gadis itu menyadari keberadaannya. Fabian pun reflek menoleh.

"Eh, Sha."

"Sini," pinta Felisha agar laki-laki itu mendekat. Fabian pun mendekati Felisha dan duduk tepat disampingnya. Tangan Fabian bergerak menggenggam lembut jemari kekasihnya. Felisha yang merasa nyaman pun mulai meletakkan kepalanya di bahu lebar Fabian. 

Begitu mereka terdiam di posisi itu cukup lama hingga Felisha kembali memanggil Fabian lembut, "Fab?".

Fabian bergumam sambil mengusap kepala Felisha, "Hm?".

"Lo percaya sama gue?" tanya Felisha membuat Fabian terdiam. Laki-laki itu tak tahu harus menjawab apa. Percaya? Fabian memang selalu mempercayai Felisha secara tidak sadar. Mendukung keputusan-keputusan Felisha dengan sepenuh hati. Namun ia tak tahu seberapa jauh ia mempercayai kekasihnya itu. 

"Nggak papa. Kadang gue juga nggak percaya kok sama diri gue sendiri," lanjut Felisha yang tidak mendengar jawaban dari Fabian, "Sejak kapan Felisha jadi nggak takut sama apa pun?".

"Bukannya lo emang berani sama apa pun?" tanya balik Fabian yang merasa Felisha meragukan dirinya sendiri. Sebab apa yang selama ini Fabian lihat kalau itu bukan diri Felisha sendiri?

"Gue?" Felisha terkekeh pelan kemudian membuka matanya, "Dulu gue takut ditinggal sendiri. Takut nggak punya temen. Takut orang benci sama gue. Takut ketemu sama orang baru,". 

"Sekarang nggak lagi kan?" tanya Fabian lagi.

"Sekarang gue takut sama diri gue sendiri," jawab Felisha lirih membuat Fabian terdiam sebentar.

"Kenapa?"

"Gimana kalau gue jadi jahat? Gimana kalau gue yang benci sama orang-orang? Gimana kalau malah gue yang ninggalin?" pertanyaan-pertanyaan itu keluar dari mulut Felisha. Segala ketakutannya ia ungkap pada Fabian yang mendengarkan dengan seksama.

Game Over: THE WOLFGANGDove le storie prendono vita. Scoprilo ora