41. Kemalangan Bodoh

21 5 2
                                    

Happy Reading Fellas!

~♥~

E M P A T P U L U H S A T U

"Gue dan yang lain enggak akan capek untuk kasih peringatan buat teman goblok gue ini,"

~♥~

Sementara itu di tempat lain...

2 jam yang lalu.

Fabian menatap gusar ruang pasien di depannya. Di tempat itulah Vivina sedang terbaring lemah karena insiden tadi sore. Fabian sebenarnya merasa bersalah, namun di beberapa titik ia sungguh tak peduli. Bisa-bisanya wanita seperti dia membujuk mamanya untuk benar-benar menerima madu? Oh, dunia ini sudah gila.

Saat ini Fabian ada di rumah sakit bersama keempat manusia yang setia padanya. Sang Ayah beberapa waktu lalu mendapat panggilan dari kantor karena ada masalah. Makanya Fabian terjebak di sini menunggu wanita ular itu sampai pagi. Malas. Malas. Malas. Ah Fabian memilih kabur dari tempat ini.

"Gue tunggu," ujar Fabian yang kemudian menutup panggilan telepon. Ia baru saja menelepon seserang untuk datang menghampirinya.

"Felisha lo kemanain?" tanya Rio yang tahu siapa orang yang di hubungi Fabian itu.

"Perlu gue ulang berapa kali sih?" Fabian menatap keempat temannya itu jengah. Ayolah siapa yang tidak sadar akan situasi saat ini? Dasar Fabian bodoh.

Keempat laki-laki yang berdiri di depan Fabian itu menghela napas secara bersamaan. Mereka tak habis pikir dengan Fabian yang memilih lari ke arah sana ketimbang ke arah mereka yang notabenenya sahabat Fabian. Mereka tahu masalah Fabian hari ini, baru saja laki-laki itu menceritakan semuanya. Tapi tak ada yang berubah, mereka hanya bisa mendengarkan. Toh selama ini juga seperti itu, mereka hanya akan menjadi pendengar untuk Fabian. Bukan karena mereka tak pernah berusaha membantu atau memberi solusi, tapi karena memang anak itu keras kepala.

"Lo masih beranggapan seperti itu? Setelah pembicaraan kita malem itu?" tanya Dito menatap Fabian tidak percaya. Bisa di bilang, sebenarnya itu lebih ke tatapan tajam membunuh yang sebaiknya dihindari Fabian.

"Gue bisa menyelesaikan ini. Kalian enggak perlu khawatir," jawab Fabian dengan tenang. Atau lebih tepatnya berusaha untuk tenang.

"Gue duluan," lirih Galih menatap Fabian dengan tatapan yang sulit diartikan. Laki-laki berkaca mata itu pun berlalu lebih dulu meninggalkan sobat-sobatnya.

"Hati-hati sama omongan lo," kata Iqbal tiba-tiba, "gue dan yang lain enggak akan capek untuk kasih peringatan buat teman goblok gue ini," kemudian laki-laki itu terkekeh.

Iqbal pun berlalu di ikuti Dito dan Rio. Mereka meninggalkan Fabian sendiri termenung di sana dengan tangan mengepal. Hei, laki-laki itu marah karena mereka pergi tanpa pamit. Ah bukan, ia marah karena semua perkataan mereka tak ada yang salah.

Laki-laki itu tak peduli. Ia sudah muak. Ia punya sesuatu yang lebih penting dari ini. Dan ia sedang menunggu seseorang yang berkaitan dengan hal itu. Orang ini sungguh sangat dibutuhkan Fabian saat ini. Fabian memilih lari.

Hahhh....

Fabian menghela napas kasar dan mengusap wajahnya frustasi. Ia menatap ke lorong, ke arah terakhir kali ia melihat kawan-kawannya pergi. Dalam hati ia mengiyakan semua ucapan teman-temannya dan mengucap hal yang selama ini Fabian simpan sendiri.

Wajah frustasinya berubah menjadi datar ketika melihat orang yang ia panggil sudah datang. Orang itu mendekati Fabian berdiri tepat di depannya. Ia membawa kepala Fabian ke pelukannya, menepuk-nepuk bahu Fabian pelan.

Game Over: THE WOLFGANGWhere stories live. Discover now