Lamaran

1.6K 26 3
                                    

"Sssh.." Alessia meringis saat baru saja duduk di ranjangnya. Intinya masih terasa sakit, padahal ini sudah beberapa hari sejak kejadian itu. Ia mencengkram meja untuk meredakan rasa sakitnya walaupun itu sia-sia.

Tanpa sengaja ia menatap sebuket mawar merah yang sudah ia letakkan di vas yang baru kemarin ia ganti. Sudah berhari-hari lelaki bengis itu mengiriminya bunga sebagai permintaan maaf tapi selalu ia tolak. Lelaki itu tidak memberikannya secara langsung, melainkan melalui Carissa. Namun, untuk kemarin saja ia menerima mawar itu karena merasa sayang jika harus dibuang.

Alessia menghembuskan napas berat, "Kenapa aku masih hidup? Berulangkali kupikir aku sudah mati. Tapi, selalu saja, aku masih terbangun keesokan harinya," gimamnya.

Aku harus cepat pulih supaya bisa keluar dari sini! Aku tidak akan meminta bantuannya lagi!" tekadnya.

Cklek! Suara pintu terbuka.

"Carissa, sudah kubilang aku tidak membutuhkan apapun," kata Alessia yang duduk bersandar pada kepala ranjang. Matanya terpejam dan muncul kernyitan di dahinya seperti menahan rasa nyeri. Tangannya mencengkram bantal begitu erat.

"Ini aku."

Kontan Alessia terbelalak dan menjauhkan tubuhnya, "Mau apa kau kemari?!"

Orang itu menatap sendu Alessia yang menatapnya nyalang, namun sarat akan kerapuhan.

Tatapan macam apa itu? Ini ketiga kalinya aku melihatnya. Tidak! Aku tidak akan tertipu olehnya!

"Aku membawakan mawar merah kesukaanmu dan aku ingin meminta maaf padamu,"

Alessia mendengus. Setelah sekian lama mengapa lelaki iblis ini baru menemuinya, bahkan membawa sebuket mawar lagi. Yang kemarin saja masih segar.

"Keluar!" seru Alessia tanpa menatap lelaki itu. Ia sudah muak melihat wajahnya. Penghinaannya masih menancap di hatinya. Bahkan rasa sakit dan memar masih belum hilang dari tubuhnya.

"Kubilang keluar, Zarvan! Apa kau tuli?!" bentak Alessia seraya menatap lelaki itu karena tidak ada pergerakan sama sekali dari Zarvan.

"Jangan mendekat!" teriak Alessia lagi saat Zarvan malah melangkah maju. Kini, tanpa sadar, Alessia sudah berada di ujung ranjang. Sekali bergerak, sudah dipastikan ia akan jatuh.

Dengan gesit Zarvan bergerak dan memerangkap Alessia ke dalam pelukannya. Perempuan itu terkejut dan langsung memberontak hingga buket bunga yang dibawa lelaki itu terpental.

"Lepaskan aku!" teriak Alessia. Buliran air sudah bercucuran dari matanya. "Biarkan aku keluar dari sini!"

"DIAMLAH ALESSIA!" bentak Zarvan yang membuat Alessia diam seketika dan bergetar ketakutan.

Jujur, Zarvan terpaksa membentaknya supaya Alessia diam. Hanya itu cara satu-satunya supaya perempuan itu tidak lagi meronta. Sebenarnya, hati Zarvan berdenyut nyeri melihat Alessia frustasi seperti ini. Terlebih, dia sendiri yang menyakitinya.

Zarvan menyandarkan kepala Alessia di dadanya, "Tenanglah, aku tidak akan menyakitimu lagi."

Alessia memukul-mukul pelan dada Zarvan karena tenaganya sudah terkuras, "Aku membencimu! Kau jahat, Zarvan! Kau jahat!" ceracaunya di tengah-tengah isak tangisnya.

"Maafkan aku, Ale," ucap Zarvan pelan tepat di telinga Alessia. "Aku janji tidak akan menyakitimu lagi," ujarnya sembari membelai lembut punggung perempuan itu supaya tenang.

"Menikahlah denganku."

***

"Makanlah!"

"A-aku bisa sendiri," kata Alessia sedikit salah tingkah saat Zarvan ingin menyuapinya. Alessia duduk bersandar di ranjangnya. Sementara Zarvan duduk di hadapannya sembari membawa sepiring makanan.

A Red RoseWhere stories live. Discover now