Tugas Ratu

437 20 1
                                    

"Nnggh.." Alessia menggeliat dan membuka mata cantiknya. Ia menoleh ke kiri dan tak ada Zarvan di sana.

"Zarvan kan vampir. Mana mungkin dia tidur," gumam Alessia.

Usai membersihkan diri, Alessia menuju ruang kerja Raja. Siapa tahu suaminya berada di sana.

Tak ada penjaga, batin Alessia saat melihat tak ada pengawal yang biasanya berdiri di depan ruang kerja Raja.

Alessia meraih gagang pintu dan membukanya. Ia melongokkan kepalanya menatap seisi ruangan, namun tak ada siapa pun.

Ke mana Zarvan?

Ah, sudahlah, Alessia memutuskan untuk berkeliling istana saja. Hingga ke taman belakang Alessia tak menemukan sesuatu yang menarik perhatian. Ruang geraknya juga terbatas, mengingat ia seorang manusia dan tak ada yang mengawalnya sekarang.

Alessia melihat perdana menteri Ziad dari kejauhan. Mata Alessia berbinar, siapa tahu ia bisa belajar banyak tentang Zkydrum, mengingat statusnya sekarang adalah seorang ratu. Ia harus bisa mengimbangi kinerja Zarvan dan menjadi seorang ratu yang bisa membantu rakyatnya.

"Tapi permasalahannya sekarang adalah.. daerah Kruzz sedang dilanda wabah penyakit yang mengerikan. Mereka butuh penanganan cepat, sementara Lorz Zarvan, Nourvry, dan beberapa prajurit sedang mengatasi daerah konflik di perbatasan selatan," kata perdana menteri Ziad kepada para prajurit.

Alessia menghentikan langkahnya sejenak mendengar perkataan perdana menteri. Jadi, Zarvan sedang menangani konflik. Semoga saja suaminya itu kembali dengan selamat.

"Biar aku yang menangani kasus ini, Perdana Menteri Ziad," kata Alessia, membuat perdana menteri Ziad kaget dengan kemunculan Alessia dari belakangnya.

"Salam hormat, Queen Alessia," tunduk perdana menteri Ziad, diikuti oleh para prajurit.

"Apakah Kruzz adalah daerah yang dihuni oleh manusia?" tanya Alessia.

"Ya, sebagian kecil penduduk di Kruzz adalah manusia dan sekarang mereka mengalami wabah penyakit yang mematikan."

"Apakah di sini ada tabib, Perdana Menteri?"

"Ada, Queen Alessia."

"Tolong antarkan aku padanya. Aku perlu berdiskusi dengannya untuk mengatasi masalah ini."

Alessia terlibat diskusi dengan tabib utama kerajaan dan beberapa tabib lainnya. Ia memimpin tim untuk menyiapkan bahan-bahan ramuan obat, perban, dan kain untuk dibawa ke daerah Kruzz sekarang juga.

"Queen Alessia, saya sarankan Queen Alessia berada di dalam istana saja," ucap perdana menteri Ziad.

"Tidak bisa, perdana menteri Ziad. Aku tidak bisa berdiam diri di sini apabila rakyat sedang kesusahan. Aku harus melihat langsung bagaimana kondisi mereka."

"Saya yakin Lord Zarvan pasti melarang Queen Alessia untuk keluar istana. Di luar akan sangat bahaya untuk Queen Alessia," ujar perdana menteri yang mati-matian menahan Alessia untuk tetap di dalam istana.

"Kalau begitu jangan sampai Zarvan tahu," final Alessia yang berbalik untuk mempersiapkan keberangkatan.

Perdana menteri menatap lesu punggung Alessia. Zarvan pasti akan murka karena membiarkan permaisurinya masuk ke dalam zona bahaya.

Alessia menatap pemandangan di luar jendela kereta. Mereka melewati beberapa hutan menuju Kruzz. Wajar jika Zkydrum memiliki banyak hutan karena vampir akan menghabiskan banyak waktu untuk berburu.

Alessia tercekat menatap kondisi salah satu perkampungan di Kruzz yang penduduknya seakan berubah menjadi zombie. Mereka tergeletak lemas dengan banyak luka di tubuh dan beberapa di antaranya mengeluarkan muntah darah. Benar-benar pemandangan yang tidak sedap untuk dipandang, ia yakin bahwa vampir pun tidak akan suka.

Alessia segera menitahkan rombongan untuk berpencar memberikan bantuan kepada penduduk. Ia menutup sebagian wajahnya untuk melindunginya dari paparan wabah itu. Alessia masuk ke dalam gubuk dan mendapati seorang anak kecil tengah terkapar seraya memegang perutnya. Ia menyingkap baju anak itu dan melihat luka besar.

"Bertahanlah," lirih Alessia seraya memeriksa denyut nadi di pergelangan anak itu.

"Tahan sedikit, ya," bisiknya, lalu membubuhkan ramuan obat ke luka itu.

"Awww.." rintih anak kecil itu merasakan perih di perutnya.

Alessia meneteskan air mata melihat penderitaan anak itu. Ia mengusap kepala anak itu dan menyuapkan ramuan herbal ke mulutnya untuk mempercepat penyembuhan. Alessia menitahkan kepada salah satu sukarelawan untuk menemani dan merawat anak kecil itu.

Satu persatu penduduk Alessia tolong hingga ia kehabisan persediaan kain untuk menutup luka dan menghentikan darah penduduk.

"Queen Alessia!" cegah salah satu prajurit saat Alessia merobek gaunnya sebagai penutup luka penduduk.

Alessia menatap prajurit itu. "Tak apa. Persediaan kain habis. Tak ada lagi yang bisa dipakai selain gaunku. Ini demi rakyat."

Dengan telaten Alessia membantu penduduk satu-persatu. Namun dirinya juga harus mawas diri supaya tidak mengeluarkan darah sehingga mengundang kaum vampir menyerangnya. Ia tak ingin menimbulkan masalah bagi Zarvan.

Setelah semua penduduk menerima pengobatan, rombongan Alessia kembali ke kerajaan, meninggalkan beberapa sukarelawan dan anggota kerajaan untuk tetap tinggal guna merawat penduduk dan memantau perkembangan mereka. Alessia pun akan terus mengawasi dari dalam istana, meracik ramuan, dan menyiapkan persediaan pakaian, makanan, dan kebutuhan lainnya untuk dikirim ke Kruzz. Sesekali juga ia perlu untuk mengunjungi Kruzz kembali. Alessia berharap penduduk Kruzz segera pulih. Ia tak tega melihat kekacauan itu.

"Ale!" panggil Zarvan menyambut Alessia. Wajahnya sudah merah padam.

Alessia menatap beberapa prajurit yang tergeletak di atas lantai.

Pasti ulah Zarvan.

"Ke mana saja kau?" tanya Zarvan dengan nada khawatir.

"Maaf, aku baru saja dari daerah Kruzz untuk mengobati penduduk di sana."

"Kruzz?" Alis Zarvan menyatu. "Itu daerah berbahaya, Ale."

"Ya, aku tahu. Tapi mereka sedang sangat butuh bantuan, Zarvan. Aku tak bisa membiarkan mereka menderita seperti itu."

Zarvan terharu mendengar penuturan Alessia. Ia merasa beruntung memiliki istri yang berhati lembut dan peduli akan rakyat. Namun, pandangannya tertuju ke gaun Alessia yang compang-camping. Pandangannya menajam.

"Apa yang terjadi?"

"Oh, tadi aku merobek gaunku sendiri untuk menutup luka mereka karena persediaan kain yang dibawa ternyata masih kurang."

Tangan Zarvan mengepal, "Siapa yang berani membiarkan istriku merobek gaunnya sendiri?!" tanya Zarvan menggelegar, membuat siapa oun yang mendengarnya ketakutan.

Alessia tak enak hati. "Jangan berlebihan, Zarvan. Ini hanya hal biasa."

Zarvan memandang Alessia dengan tatapan tak mengerti. "Ale.." panggilnya ingin memeluk wanita itu. Tapi, Alessia mundur untuk menghindar.

"Ada apa?" tanya Zarvan menatap tak suka.

"Jangan salah paham dulu. Aku baru saja dari daerah di mana wabah penyakit tersebar. Jadi aku ingin membersihkan diri dulu. Aku tak ingin membawa wabah penyakit ke banyak orang."

Zarvan menghembuskan napas berat. Hanya ingin memeluk istrinya saja sulit.  "Baiklah. Tapi kau harus memberikan bonus untukku karena membiarkan aku menunggu," bisik Zarvan sensual di depan wajah Alessia hingga membuat istrinya merona merah.

"Aku permisi dulu," kata Alessia melewati Zarvan.

"Maaf, ya," ucap Alessia kepada prajurit yang wajahnya sudah lebam dipukuli Zarvan tadi.

"Ale..." panggil Zarvan dengan suara berat, memperingatkan istrinya untuk segera berlalu.

A Red RoseWhere stories live. Discover now