1. Pergi.

37 8 7
                                    

"Aku tidak mempermasalahkan apapun asalkan aku dan keluargaku bisa terus bersama"

-Anneke Van Diedrick

********

Tanggal 7 Februari tahun 1941, dua tahun tepat setelah kepergian sang ibu. 

Henry keluar dari kamar memakai setelan jas berwarna cokelat rapi. Sepertinya ia akan pergi untuk kembali bekerja. Sang anak, Anne terdiam melihat ayahnya keluar dari kamar dan menyempatkan dirinya untuk duduk di meja makan. Tidak seperti biasanya.

"Papa, Anne menyiapkan makanan untuk sarapan. Dimakan terlebih dahulu, pa"

Tangannya membawa makanan untuk disajikan di atas meja makan, ada tiga jenis masakan yang  sudah tersaji di atas meja makan. Anne mengambil beberapa piring lalu mengisinya dengan roti dan beberapa lauk untuk ayahnya makan.

"Kebetulan Anne membuat masakan kesukaan ibu. Ayah pasti menyukainya!"

Alis Henry terlihat mengerut, namun balasan Anne hanyalah sebuah senyuman manis sebelum akhirnya ia berbalik untuk pergi membangunkan ketiga adiknya.

Elies, adik perempuannya terlebih dulu sampai di meja makan. Namun sebelum itu, ia sempat tertegun, menajamkan matanya terlebih dahulu sebelum akhirnya matanya membulat. 

"Papa?!"

Melihat reaksi dari anak perempuannya, tanpa sadar membuat kedua sudut bibirnya sedikit terangkat. Elies menyadari raut wajah ayahnya terlihat lelah, kantung mata yang menghitam, wajah yang kusam dan rambut pirang yang sedikit teracak.

Satu langkah.

Elies seperti ingin melangkah menuju Henry. Namun kakinya kembali ia tahan karena sedikit merasa takut. Henry yang menyadari itu langsung berdiri dan menghampiri anak perempuan kecilnya ini. Lututnya tertekuk agar sejajar dengan tinggi Elies. Mata Henry menyiratkan kerinduan yang amat bagi anak perempuan di depannya. Jarang untuknya bertemu dengan Elies dibanding Anne. Karena Anne hampir setiap hari mengantarkan kopi di ruangannya.

"Papa.."

Suara Elies mengalihkan pikirannya. Matanya tertuju ke wajah cantik anak perempuannya. Hidung mancung, kulit putih, rambut pirang gelap dengan mata biru. Begitu mengingatkan dirinya pada sang istri, Evi.

"Annelies.."

Suara lembutnya membuat hati anak perempuan di depannya terenyuh. Matanya terasa panas hingga tak terasa setetes airmata jatuh turun melalui pipi putihnya. Bagaimana ia tidak menangis? Setelah dua tahun jarang berbicara bahkan saling menyapa.

"Papa.. Elies rindu papa.."

Tangisan Elies pecah ketika ia bahkan tak sanggup menahan rasa rindunya pada sang ayah. Awalnya Elies merasa takut jika ingin mengatakan sesuatu atau meminta sesuatu. Biasanya ia hanya akan mengadu pada Anne yang nantinya akan disampaikan pada ayahnya. Namun kali ini, dengan menangis ia berhasil mengatakan hal yang sebenarnya sangat ingin ia katakan pada sang ayah.

Henry juga menyadari ia memang tak pernah sama sekali untuk keluar bermain bersama ketiga anaknya. Ia juga tidak menyangkal bahwa ia merindukan ketiga anaknya ini. Namun sesuatu terjadi membuatnya terus lupa akan kebersamaannya dengan anak-anaknya. 

Tangannya terulur mengusap pipi Elies yang basah karena airmata. Anak perempuannya menangis karena dirinya. Tangan kecil Elies terangkat mencoba memeluknya. Namun dengan sekali angkat, tubuh Elies sudah mengambang. Henry menggendongnya.

Henry kembali duduk di atas kursi meja makan. Mendudukkan Elies yang tangisannya sudah sedikit mereda lalu menyodorkan sepiring makanan yang sudah disiapkan Anne untuknya.

Anneke's BoekenWhere stories live. Discover now