09 • HE'S ALAN

57 40 1
                                    

Plak!

Tampaknya Zidan telah membuat Farel murka, kebiasaan Farel yang selalu menampol Zidan sudah menjadi ciri khas diantara mereka berdua. Farel yang darah tinggi nya mudah kambuh dipertemukan dengan Zidan yang ceplas-ceplos. Sifat mereka berdua memang saling berlawanan, dan Alan ada di antara mereka berdua. Tidak memihak Farel maupun Zidan.

Tatapan sinis dari Farel juga membuat Zidan ketakutan, tapi apa boleh buat, Zidan sudah seperti itu dari awal pertemuan di waktu TK, tidak merubah kemungkinan kalau Zidan bisa berubah menjadi seseorang yang lebih tenang. Seperti Farel yang sering dijuluki batu itu.

"SAKIT TAU!" Zidan meringis kesakitan, pipinya memerah akibat tamparan Farel yang selalu tepat sasaran.

"Nggak peduli," balas Farel singkat, seperti biasanya.

Alan hanya bisa menyaksikan pertandingan di antara kedua sahabatnya yang selalu terjadi setiap harinya, mereka berdua memang tidak pernah bisa akur, seperti Tom and Jerry saja.

"Heh batu! Lo bisa nggak sehari aja, nggak usah nampol gue!"

Farel menggeleng. "Nggak bisa, tangan gue gerak sendiri."

Zidan mendengus kasar, tidak menerima kenyataan jikalau ia harus menerima kenyataan pahit ini.

"Udah, cuma masalah sepele aja, kok," lerai Alan menyenderkan punggungnya di Headboard kasurnya yang bernuansa warna biru itu.

"SEPELE KATA LO!"

"Tolong kecilin volume suara lo! Kuping gue nggak bisa nahan panas terus-terusan!" Farel mengelus-elus telinganya yang terasa terbakar.

Zidan sontak menepuk pundak Farel. "Gue cuma kaget aja, Rel. Alan yang biasanya nggak peduli soal cewek tiba-tiba dia pengen ngedeketin si Ela itu." Jelasnya, berharap temannya itu bisa mengerti.

"Ini terlalu sulit untuk di cerna di perut gue," tambah Zidan dengan senyuman merekah nya.

"Mumpung kesabaran gue belum habis, lebih baik lo tutup itu mulut! Kalau nggak, gue pulang!" Ancam Farel, matanya yang melotot membuktikan kalau ia benar-benar sedang murka, Zidan mendengus pelan. "Iya, gue diem," finalnya.

Mungkin kalian bingung, kenapa Alan tidak pernah nongol dikala kedua temannya itu sedang bertengkar. Tapi sebenarnya, pertengkaran diantara mereka itu tidak selalu tentang permusuhan, mereka seperti itu hanya karena sifat keduanya yang bertentangan, tapi menurut takdir, mereka itu bagaikan soal dan jawaban, dan Alan adalah tanda tanya yang ada di tengah-tengah keduanya.

Hening kini suasana di rumah Alan, tidak ada pertengkaran, tidak ada ocehan dari mulut Zidan, dan tidak ada omelan dari mulut si batu Farel.

Alan sedang memikirkan cara agar keduanya tidak membisu seperti sekarang.

"Mau gue masakin mie nggak?" Tawar Alan dan tentunya Zidan tersenyum penuh semangat akan hal yang berbau makanan, apalagi itu mie di tengah malam yang dingin seperti malam ini. "Gue aja yang masak, lo berdua tunggu disini," ujar Farel, ia beranjak dari kasur Alan, meninggalkan kedua sahabatnya yang masih duduk santai dengan perasaan bahagia yang bergejolak di hati mereka.

"Nggak salah gue jadiin Farel emak kedua," batin Zidan sangat senang.

✎✎✎

"Sumpah, Rel. Masakan lo emang the-best!" Puji Zidan, memakan mie buatan Farel dengan sangat lahap.

Farel berdecak, melipat kedua tangan gagahnya di depan dada bidang miliknya. "Nggak usah lebay!" Maki Farel penuh dendam. Zidan terlihat tidak peduli, ia terus melahap mie itu sampai habis.

Sampai disaat keduanya telah selesai dengan makanan mereka, Farel juga Zidan menatap Alan penuh keheranan, kenapa dengan anak ini? Dia terlihat sangat murung, tapi sesekali ia tersenyum tipis dan mendatarkan wajahnya kembali, itu lebih menakutkan dari pada film horror.

"Lo kenapa?" Tanya Farel.

"Nggak, gue cuma bingung aja." Balas Alan, ia tersenyum tipis kearah lawan bicaranya itu.

"Karena?"

"Gue ngerasa kalau Ela itu sosok yang berharga di hidup gue, kayak ada sesuatu yang mengingatkan gue ke masa lalu, tapi gue nggak inget, ini kayak petunjuk kalau gue harus mencari tau lebih dalem tentang dia, ini teka-teki yang harus gue selesaikan," jelasnya, ia terlihat begitu serius dan itu adalah sifat Alan yang sesungguhnya.

Farel menghampiri Alan yang berada di ujung kasur, ia lalu menepuk pundak sahabatnya itu. "Lo harus cari tau, kuncinya adalah masa lalu lo. Lo harus berusaha untuk mengingat kembali, Al. Lo anak pindahan kan? Dan itu adalah salah satu kemungkinan kalau perasaan lo itu bener. Gue pasti akan selalu mendukung apapun keputusan lo, Al."

"Gue setuju," sambung Zidan seraya meminum susu coklat kesukaan Alan.

Kedua mata Alan membelalak, melihat susu kesukaan hampir ludes diminum Zidan. "ZIDAN! SUSU GUE!" Teriaknya histeris, ia bangkit dan berlari mengejar Zidan yang masih meminum susu miliknya. "HEHEHE, ikhlaskan aja, Al. Udah mau habis nih." Balas Zidan cengengesan tak berdosa.

"Dasar bocil," bisik Farel.

✎✎✎

Di ruangan bernuansa ungu, kalian pasti tau ini kamar milik siapa. Kamar ini milik seorang perempuan cantik dengan rambutnya yang panjang gemulai nan indah, ia adalah sosok adik yang sangat diimpikan oleh para kakak laki-laki yang tinggal sebagai tetangga di sekitaran komplek yang ia singgahi.

Tak terasa hari baru sudah dimulai, semuanya melakukan aktivitas-aktivitas mereka dengan penuh semangat, meskipun hari adalah hari Minggu, tapi kesibukan akan terus menghampiri siapa saja. Termasuk Ela.

Membersihkan seluruh sudut rumah, kamar, taman, mencuci baju, dan memasak sendirian telah dirasakan oleh Ela selama 2 tahun lamanya, ia merasa kesepian setiap malamnya karena ketidakhadiran kakak nya itu. Tapi untuk sekarang, semua itu akan musnah dari hidup nya, karena Gano sudah berhasil menyelesaikan masa pendidikan nya yang sulit, ia hanya tinggal menunggu waktu untuk mendapatkan apa yang ia impikan selama ini. Menjadi pemilik perusahaan ayahnya yang berada di Australia—Mavendra.

Dan yang lebih membahagiakan perasaan Ela adalah—Gano selalu menyelesaikan semua tugas-tugas adik kesayangannya. "Hehehe, enaknya punya kakak cowok kayak lo," batin Ela seraya menyantap masakan kakaknya yang baru saja matang.

"Makan yang banyak, gue sebentar lagi mau jemur baju." Suruh Gano. Ela pun menganggukkan kepala nya cepat.

✎✎✎

"Siapa yang mau dateng kesini?" Tanya Gano yang baru saja keluar dari kamar mandi sedangkan Ela masih terbaring di kasur empuk nya.

"Kak Alan," jawabnya tanpa sadar, "Eh, bu-bukan, gue nggak tau!" Ia sontak duduk dari tidurnya. Menampakkan raut wajah gelisah.

"Kenapa lo nyuruh gue buat jadi pacar bohongan? Lo nggak ada niatan buat deket sama dia?"

"Maksud lo?"

"Lo beneran nggak tau siapa itu Alan?"

"Nggak, gue baru tau dia seminggu yang lalu, nggak akrab juga."

"Oh."

"Lo? Lo kenal sama Alan?"

"Lo kepo, hm?"

"NGGAK!"

"Nanti lo bakal tau sendiri siapa itu Alan, gue dukung lo kalau nantinya kalian ditakdirkan untuk bersatu."

"Ogah!"

Semburan kata 'tidak' terus keluar dari mulut adik perempuan itu, Gano hanya bisa bersabar dan menunggu tanggal mainnya saja. "Lo boleh ngomong 'nggak' untuk saat ini, tapi suatu saat nanti lo bakal kemakan sama omongan lo sendiri, El. Gue akan pastiin itu, gue janji."

Tbc.

HE'S ALAN Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang