05 • HE'S ALAN

77 61 4
                                    

Suasana malam hari yang sama seperti kemarin, entah malam esok hari akan tetap sama, atau mungkin tubuh ini tak bisa merasakan dinginnya malam hari lagi, itu tidak bisa dibayangkan, kalaupun bisa mending jangan. Hawa dingin malam ini begitu menyengat, rasanya seperti tembus melewati kulit dan membuat tulang linu. Tak semua orang bisa menahan hembusan angin malam yang seperti ini, mereka akan menggunakan selimut ataupun memakai pakaian yang lebih tebal.

Di malam yang sama, seorang remaja dengan tatapannya yang indah, ia memandang pepohonan yang rindang, bergoyang-goyang dengan sangat lihai karena hembusan angin sepoi-sepoi. Jalanan juga sudah tak terlihat adanya motor ataupun mobil yang melintas, mungkin terakhir kalinya ia melihat mobil yang melintasi jalan didepan rumahnya pada setengah jam yang lalu. Tapi kini sudah lenyap tak terlihat. Hening, hanya keheningan yang bisa ia rasakan saat ini, tak ada sedikit pun suara yang menggema di telinganya. Hanya suara hewan malam yang sangat kecil.

Ia duduk di tepi jendela kamar tidur yang terbuka satu, memandang indah nya bulan di tengah ribuan bintang-bintang yang mengelilingi nya. Membayangkan keindahan bulan yang sama persis seperti wajah seorang perempuan yang sedang ia kagumi saat ini. Cahaya bulan memancarkan kecantikan yang sesungguhnya. Salah satu objek yang terindah diantara yang terindah.

Remaja rupawan itu tak bisa menahannya lagi, ia tersenyum  tipis seakan-akan kalau perempuan itu benar-benar hadir di tengah-tengah keheningan yang menyelimuti malam hari ini. "Huh," desahnya lembut, ia kadang merasa nyaman bila didekat perempuan yang baru saja ia temukan. Tapi terkadang ia merasa ragu, apakah rasa nyaman ini adalah sebuah isyarat kalau ia sedang jatuh cinta? atau malah hanya rasa penasarannya?

Kalau perasaan yang sedang ia rasakan itu adalah sebuah rasa penasaran, apa ia harus mengurungkan niatnya untuk terus mengejar perempuan itu? tidak mungkin bila dirinya mendekati seorang perempuan hanya karena rasa penasaran, itu bukanlah sifat laki-laki yang benar. Di dalam lubuk hati nya yang paling dalam, ia merasakan kehadiran seorang perempuan yang selalu ada untuknya.

"Mama," bisik nya samar-samar, cinta pertama seorang anak laki-laki adalah ibunya. Kalau ia berani menyakiti hati seorang perempuan berarti ia sudah menyakiti hati seorang ibu. Dan seorang Alan tidak mampu untuk membuat seorang perempuan sakit hati.

Remaja itu tersenyum senang, kini ia tau apa yang harus ia lakukan. Dirinya akan mencoba mencari tau tentang perasaan yang sedang ia rasakan saat ini, jatuh cinta atau hanya rasa penasaran.

"Alan sayang!" teriak mamanya dari lantai bawah.

"Ayo turun, makan malamnya sudah disiapin," lanjutnya.

Alan beranjak menuju pintu, "Iya, ma."

Kalian pasti tidak asing lagi dengan keluarga yang satu ini, Alan adalah salah satu dari banyaknya anak-anak yang terlahir di keluarga kaya raya. Tapi Alan berbeda dengan anak-anak kaya pada umumnya, ia tidak suka menghambur-hambur kan uang, dirinya lebih suka menggunakan uangnya untuk berkunjung ke Gramedia, dan itu hanya sekedar hobi semata.

Alan Kavindra, anak tunggal keluarga Kavindra yang sangat dimanja. Tapi itu tidak menjadikan Alan bersifat seenaknya, dengan perlakuan orang tuanya yang selalu menuruti keinginan nya, ia memanfaatkan kesempatan emas itu untuk mendapatkan prestasi yang sangat tinggi, seperti dirinya yang saat ini.

Alan duduk di kursi yang berdampingan dengan mamanya. Ia tersenyum melihat mamanya yang sebelumnya sudah tersenyum terlebih dahulu.

"Gimana sekolahnya hari ini?" tanya sang mama, ia mengambil sebuah piring dan diberinya nasi untuk Alan.

"Aku dipilih jadi perwakilan olimpiade Internasional tahun ini, Ma."

"Wah, kerennya anak mama. Hanya sendirian?"

HE'S ALAN Where stories live. Discover now