40. Bagian Dari Keluarga

Start from the beginning
                                    

Kepalanya jauh lebih baik saat berbaring seperti ini, tetapi perutnya masih sangat mual. Adinda bersumpah, ia tidak akan minum lagi setelah ini.

Ia baru akan memejamkan mata dan memaksakan diri untuk tidur ketika mendengar pintu kamarnya diketuk. Itu jelas bukan Clara. Jadi, ia bangkit dari tidurnya, dan berjalan pelan untuk membuka pintu.

Di depan kamarnya, Gram berdiri dan menatapnya sambil tersenyum. Di tangannya, Gram membawa termos minuman berukuran sedang.

"Aku harap tidak mengganggu istirahatmu," ucap wanita itu dengan ramah.

Adinda tersenyum dan menggeleng. "Masuklah, Gram."

Mereka duduk berdampingan di tepi ranjang setelah Adinda menutup pintu dan bergabung dengannya.

"Aku membawakan ale jahe hangat untukmu. Kebetulan aku baru membuatnya sore tadi." Wanita itu membuka termos, menuangkan isinya ke tutupnya, dan menyodorkan pada Adinda. "Minumlah. Ini bisa mengurangi mualmu."

Ia menerimanya dan menggumamkan terima kasih. Saat cairan hangat dan sedikit pedas itu menuruni lehernya, Adinda mendesah nikmat.

Dentaman di kepalanya bahkan sedikit berkurang, dan ketika minuman itu habis, ia merasakan perutnya menjadi lebih nyaman.

"Apa aku boleh meminumnya lagi?" tanyanya dengan tatapan mendamba ke termos yang ada di pangkuan Gram.

Wanita itu terkekeh dan menuangkannya lagi. Adinda menghabiskannya dengan cepat, bersyukur kini rasa mual itu hampir hilang sepenuhnya.

"Terima kasih, Gram. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi padaku besok jika tidak minum ini."

Gram menatapnya dengan penuh kasih. Wanita itu selalu seperti itu. Ia menatap semua orang di sini seakan mereka adalah anaknya sendiri.

Bahkan sejak pertama kali Adinda datang kemari, ia tidak pernah dibedakan dengan Clara. Seakan ia juga adalah cucu wanita itu sendiri.

"Maafkan anakku karena telah membuatmu seperti ini."

"Gram, itu..." Adinda merasa agak sesak mendengar hal tersebut "...itu bukan karena Jesse. Aku memang ingin minum."

"Tetapi kau tidak pernah minum sebelumnya. Bahkan sebelum di sini, aku tidak yakin kau pernah mencobanya."

"Memang tidak. Karena itu aku ingin mencobanya."

Apa ia terlihat seterbuka itu hingga Gram bisa membacanya dengan mudah? Bagaimana Gram tahu ia kacau karena Jesse?

"Aku juga tidak bisa memaafkan wanita itu," kata Gram kemudian sambil mendesah lelah. "Dia adalah penyebab semua kekacauan dalam hidup anakku. Bukan berarti aku menyesali adanya Chase, tetapi jika dulu dia bertahan, aku mungkin akan lebih menyukainya walaupun jujur, sejak awal aku tidak setuju Jesse menjalin hubungan dengannya."

Saat itu Jesse masih muda dan sangat terkenal. Bisa ia bayangkan bagaimana pemberontak dan keras kepalanya Jesse. Pria itu mungkin mirip dengan Chase sekarang.

"Semua orang melakukan kesalahan," kata Adinda sambil menggenggam tangan Gram yang tidak memegang termos.

Wanita itu mendesah lelah sambil mengambil tutup termos dari tangan Adinda, dan meletakkannya di meja, sebelum kedua tangan gemuknya melingkupi tangan mungil Adinda.

Tangan Gram selalu hangat, dan digenggam seperti ini rasanya sangat menyenangkan. Seandainya saja ia sering merasakan kehangatan ini dari Mama dan ayah.

Adinda menggelengkan kepala untuk menepis pikiran itu. Sekarang bukan saatnya memikirkan mereka. Itu tidak penting.

"Jesse menyakitimu kan?" tanya Gram kemudian sambil menatap matanya. "Sejak kau pulang latihan berkuda, kau selalu tampak sedih."

"Tidak," jawab Adinda sambil tersenyum. "Kami hanya sedikit salah paham. Kau tahu bagaimana pemarahnya putramu," lanjutnya mencoba bercanda.

Namun, Gram tidak tersenyum apalagi tertawa.

"Dia menyukaimu, aku bisa melihatnya. Anakku tidak pernah terlihat sehidup itu semenjak ia sakit."

Apa Adinda bisa percaya? Mungkin bukan dirinya yang membuat Jesse seperti itu.

"Tetapi sekarang Chassidy kembali. Aku yakin dia akan lebih membuat Jesse bahagia dan kembali hidup seperti dulu. Jesse sedih karena kehilangannya."

Gram cemberut sambil melepas tangannya dengan kesal. "Anak itu begitu bodoh! Bagaimana mungkin dia bisa memaafkan wanita itu dengan mudah setelah apa yang ditimbulkannya selama bertahun-tahun? Aku tidak akan pernah merestui mereka sampai aku mati!"

"Gram..." Adinda meraih bahu Gram dan menyandarkan kepalanya di bahu wanita itu. "Jika Chassidy adalah sumber kebahagiaan Jesse, apa kau juga akan menolaknya?"

"Bukan wanita itu sumber kabahagiaannya! Kaulah orang itu!" seru Gram dengan keras kepala.

Adinda tersenyum meskipun matanya terasa memanas. Seandainya saja memang seperti itu, ia mungkin akan bisa berjuang demi cintanya.

Akan tetapi, Adinda tahu Jesse tidak memiliki perasaan sebesar itu kepadanya. Berjuang sendirian akan terasa sangat sulit, seperti yang selama ini ia lakukan untuk keluarganya.

"Aku tahu kau masih sangat muda, tetapi anakku juga tidak tua-tua amat kok. Apa kau memang tidak menyukainya sebesar itu?"

Kali ini Adinda tertawa kecil. Ia mengusap sudut air matanya yang berair dan kembali menatap wanita yang sudah sangat disayanginya ini.

"Kalau aku tidak bisa menjalin hubungan dengannya, apa aku akan dilarang pergi kemari?"

"Tentu saja tidak! Pintu peternakan selalu terbuka untukmu. Hanya saja akan lebih baik kalau kau benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini. Bukan berarti sekarang aku tidak menganggapmu keluarga, tetapi..."

Sebelum Gram menyelesaikan ucapannya, Adinda sudah memeluk wanita itu dengan sangat erat.

Dianggap sebagai bagian dari keluarga, dan benar-benar disadari kehadirannya adalah kemewahan yang sudah lama sekali hilang dari hidup Adinda.

"Asal kau menganggapku sebagai bagian dari keluargamu, itu sudah cukup bagiku, Gram. Tidak peduli Jesse akan membalas perasaanku atau tidak."

Gram balas memeluknya dan bergumam, "anak malang. Apa keluargamu telah berlaku sangat buruk padamu selama ini?"

Pertanyaan itu membuat Adinda kembali melepaskan pelukannya dan menatap Gram dengan heran.

"Clara yang mengatakan itu padamu?"

Gram menggeleng sambil mengusap pipi Adinda dengan sayang.

"Aku melihat ke dalam matamu," ucapnya kemudian dengan lembut. "Tatapanmu sama dengan milik Chase saat anak itu terluka karena penolakan ayahnya. Tatapan yang mendambakan cinta dan kasih sayang dari orang terdekatnya. Apa aku benar?"

Kali ini, Adinda tidak bisa lagi menahan air matanya. Ia menangis tersedu-sedu dalam pelukan Gram.

Rasanya menyesakkan, tetapi juga melegakan karena ada orang yang memahaminya bahkan tanpa ia perlu bicara kepada orang itu. Kenapa bukan Gram saja yang menjadi ibunya?

"Menangislah sepuasmu, Nak," ucap Gram lembut sambil mengusap-usap punggung Adinda. "Saat kau bangun besok pagi, kau akan jauh lebih baik. Dan ingatlah, apapun yang terjadi, kau akan selalu menjadi bagian dari keluarga kami, Adinda. Kau tidak sendirian. Kau punya aku, Clara, Chase, Pop, dan semua orang di sini. Kami adalah keluargamu."

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Where stories live. Discover now