Kekhawatiran Ayah

101 3 0
                                    

Bima mendapatkan kabar jika mnggu depan Amel akan tunangan, dia sangat senang mendengarkan kabar itu, namun disi lain Bima juga takut jika kondisi Askara menyrun lagi mengingat sang anak mudah sekali tumbang dan penyakit jantung Askara akhir-akhir ini sering kambuh apa lagi bersamaan dengan cuaca yang sedang ekstreme, Bima juga sangat khawatir jika membawa sang anak pulang kejakarta sedangkan Askara sedang melakukan pengobatan di Surabaya

Bima merasa bercampur aduk. Kebahagiaan mendengar kabar tunangan Amel minggu depan berbaur dengan kekhawatiran tentang kondisi Askara. Dia tahu betul betapa mudah Askara tumbang dan penyakit jantungnya yang sering kambuh, terlebih dengan cuaca ekstrem saat ini.

Malam itu, Bima duduk di samping tempat tidur Askara, dia memegang tangan sang anak yang lemah. Dia berdoa dalam hati, memohon kekuatan untuk anaknya. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan melakukan apa pun untuk membuat Askara sembuh.

Bima duduk di samping tempat tidur putranya, Askara, dengan hati yang berdebar. Ruangan itu terasa gelap, hanya diterangi oleh cahaya kecil dari lampu tidur yang tersisa di sudut ruangan. Askara terbaring dengan mata setengah terpejam, napasnya lemah, dan wajahnya pucat. Bima memegang tangan anaknya yang lemah, merasakan denyutan lemah dari nadi yang membawa kabar tentang hidupnya.

Askara adalah anugerah dalam hidup Bima. Dia adalah putra satu-satunya, cahaya mata Bima dan istrinya yang telah lama meninggal. Askara adalah anak yang ceria, penuh semangat, dan memiliki mimpi besar. Namun, Askara juga memiliki beban berat dalam hidupnya. Penyakit jantung yang dideritanya sejak lahir telah menjadi perjuangan panjang bagi Bima dan keluarganya.

Pikiran Bima kembali melayang ke masa ketika Askara lahir. Kegembiraan saat melihat wajah kecil putranya untuk pertama kali di ruang persalinan segera disusul oleh kecemasan. Dokter memberi tahu mereka bahwa Askara memiliki cacat jantung yang serius. Itu adalah berita yang hancurkan hati Bima dan istrinya, tetapi mereka berkomitmen untuk melawan bersama.

Nanda sedang menyiapkan kebutuhan Askara untuk persiapan chek-up besok sebelum membawa Askara berobat ke Cina tas rekomendasi dari Arman.

"Mas kamu lagi mikirin apa sih?" tanya Nanda.

"Aku sedang kepikiran Amel sayang," sahut Bima.

"Ada apa dengan Amel mas?" tanya Nanda lagi.

"Minggu depan adik ku akan bertunagan, sebagai kakak gak mungkin kalau akau tidak datang, tapi aku sangat megkhawatirkan kondisi Askara jika aku ajak kerumah ibu, tapi jika aku tidak mengajak Askara atau akan ku tinggal pergi anak itu pasti akan berpikir yang macam-macam, lalu aku harus bagaimana sayang?" ujar Bima

Bima terus memegang tangan lemah Askara sambil mencoba mencari jawaban atas dilema yang membebani hatinya. Pertimbangannya sangat rumit, karena dia mencintai putranya dengan tulus dan juga ingin merayakan momen penting dalam kehidupan keluarganya. Namun, ia tahu bahwa Askara membutuhkan perhatian dan perawatan khusus, terutama dalam kondisi cuaca yang ekstrem dan dengan penyakit jantung yang sering kambuh.

Nanda, yang selalu menjadi pendamping setia Bima dalam perjalanan melawan penyakit Askara, mencoba memberikan dukungan. "Mas, kita pasti bisa menemukan solusi yang baik. Kamu tahu bahwa kita selalu peduli dan merawat Askara dengan baik. Kita juga tidak bisa melepaskan momen penting seperti tunangan adikmu. Mari kita berbicara lebih lanjut dan mencari cara terbaik untuk mengatasi situasi ini."

Bima merenung sejenak, mencoba menyusun rencana yang dapat memenuhi keinginannya untuk hadir dalam tunangan Amel tanpa meninggalkan Askara dalam keadaan yang rentan. "Bagaimana kalau kita bicarakan dengan dokter yang merawat Askara? Mungkin dia bisa memberikan saran tentang bagaimana menghadapi situasi ini. Dan kita juga bisa mencari opsi lain, seperti perawatan sementara untuk Askara di Surabaya jika itu memungkinkan."

Nanda mengangguk setuju. "Itu ide yang baik, Mas. Mari kita hubungi dokter dan juga bicarakan dengan keluarga di Surabaya. Kita harus mencari solusi yang terbaik untuk semua orang, termasuk Askara."

Malam itu, setelah merawat Askara dan memastikan bahwa anak mereka nyaman, Bima dan Nanda duduk bersama untuk merencanakan langkah-langkah selanjutnya. Mereka menghubungi dokter yang merawat Askara untuk meminta saran. Dokter tersebut sangat memahami perasaan Bima dan memberikan beberapa saran yang berguna.

Dokter menjelaskan bahwa dengan perawatan yang tepat, Askara mungkin bisa ditinggalkan sebentar saat Bima menghadiri tunangan Amel. Namun, mereka harus mengatur perawatan yang baik dan memastikan bahwa ada seseorang yang dapat merawat Askara selama Bima pergi. Selain itu, mereka juga harus memantau cuaca ekstrem yang bisa memengaruhi kesehatan Askara.

Setelah berbicara dengan dokter, Bima dan Nanda juga menghubungi keluarga mereka di Surabaya untuk membicarakan kemungkinan membawa Askara ke Jakarta. Mereka ingin memastikan bahwa ada perawatan yang memadai di sana dan seseorang yang dapat merawat Askara saat Bima pergi.

Malam itu Bima mencoba berdiskusi dengan sang mertua yaitu nyonya Dewi dan sang kakak tertua Nanda yaitu Arman.

"Bu Bima mau izin untuk pulang ke jakarta," ujar Bima.

"Loh Kok kamu mau pulang dan bawa Askara kembali ke Jakarta, ibu gak setuju siapa yang akan menjaga Askara di jakarta kalau kalian berdua sering sibuk apa lagi menangani Askara tidak bisa "hanya dua orang," ujar Nyonya Dewi.

"Bukan bu, maksud Bima izin kepada ibu karena adik Bima akan melangsungkan pertunangan, tapi Bima gak mungkin Bawa Askara pulang untuk saat ini, karena kondisi Askara tidak stabil bu, apakah ibu dan kak Arman mengizinkan aku pergi kesana, Aml adalah adikku bu," ujar Bima.

"Aku belum bisa memberikan keputusan itu, sebelum kita melihat respon Askara nanti bagaimana," ujar Arman.

Keluarga di Surabaya merespons dengan baik dan bersedia membantu.

Nyonya Dewi dan Arman mulai memahami perasaan Bima yang bercampur aduk. Mereka tahu betapa pentingnya momen tunangan Amel bagi keluarga, termasuk Bima, dan mereka juga prihatin dengan kondisi Askara.

Nyonya Dewi mengangguk pelan. "Saya mengerti, Bima. Kita semua ingin merayakan momen penting dalam keluarga, tetapi kesehatan Askara adalah prioritas utama. Biarkan kita lihat bagaimana kondisinya dalam beberapa hari ke depan. Jika dokter dan Anda merasa bahwa Askara stabil, kita mungkin bisa mencari solusi agar kamu bisa pergi ke Jakarta untuk tunangan Amel."

Bima merasa lega mendengar kata-kata tersebut. Dia tahu bahwa keputusan harus diambil dengan bijaksana, dan kesehatan Askara harus menjadi pertimbangan utama.

Malam itu, Bima dan Nanda terus merawat Askara dengan penuh perhatian. Mereka berbicara dengan dokter yang merawat Askara secara rutin dan menjelaskan situasinya. Dokter memberikan beberapa petunjuk tentang tanda-tanda yang harus mereka pantau dan langkah-langkah yang harus diambil jika ada perubahan dalam kondisi Askara.

Beberapa hari berlalu, dan kondisi Askara tampak lebih stabil. Napasnya lebih teratur, dan warna kulitnya kembali normal. Bima dan Nanda merasa sedikit lega, meskipun tetap waspada. Mereka berbicara lagi dengan keluarga di Surabaya dan memutuskan bahwa membawa Askara ke Jakarta mungkin merupakan pilihan yang baik asalkan mereka memiliki perawatan medis yang memadai di sana.

Bima dan Nanda juga merencanakan dengan seksama perjalanan mereka ke Jakarta. Mereka akan membawa semua perlengkapan medis yang dibutuhkan Askara, serta kontak dokter di Jakarta jika terjadi keadaan darurat. Mereka juga akan berkoordinasi dengan keluarga di Jakarta untuk memastikan bahwa ada seseorang yang bisa membantu merawat Askara saat mereka pergi.

Saat menjelang hari keberangkatan ke Jakarta, Bima duduk di samping tempat tidur Askara. Dia memandang anaknya dengan penuh kasih sayang, merasa berat hati meninggalkannya. "Sayang, ayah akan pergi sebentar ke Jakarta untuk merayakan tunangan tante Amel. Tapi Papa akan secepatnya kembali, dan Mama akan selalu bersamamu. Mama juga akan memastikan kamu mendapatkan perawatan terbaik di sini. Harapkan Papa, ya?"

Askara tersenyum lemah. Meskipun ia tidak dapat berbicara dengan jelas karena kondisinya, ekspresinya memberikan dukungan kepada Bima. Bima mencium keningnya dengan lembut sebelum berbicara dengan Nanda.

Jodoh Untuk AyahWhere stories live. Discover now