AI-17. Efek Dari Maksiat

76 9 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Entah disadari atau tidak, maksiat itu menimbulkan resah, bimbang, kesulitan hidup, serta efek buruk lain yang terasa berat dan tiada akhirnya bagi si pelaku. Maka hapuskanlah efek buruknya dengan bertaubat dan memperbanyak membaca istighfar. Semoga dengan itu, Allah Ta'ala menurunkan rahmat-Nya dan mengampuni dosa kita semua."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

"Mas, gimana ini? Aku bener-bener udah muak lihat muka Mas Ridho setiap hari di sini. Aku mau cepet-cepet pisah sama dia, Mas. Please kamu cepet nikahin aku."

Curhatan Windi dari balik telepon membuatnya tidak fokus bekerja. Jangankan mengurusi keinginan Windi yang katanya sudah muak melihat wajah suaminya di rumah, Hilmi sendiri saat ini sedang bingung dengan bagaimana nasib rumah tangganya setelah tahu bahwa Zainab dan Yumna ternyata saling mengenal.

Ia takut, Zainab mengadukan soal ini kepada Yumna sebelum dirinya berterus terang.

Hak asuh Ameer yang menjadi pertimbangan.

Hilmi juga khawatir, putranya yang masih kecil akan tetapi cukup tanggap akan sebuah perkara itu bisa salah menafsirkan apa yang sedang terjadi jika mendengar kabar tentang hubungannya dengan Windi dari satu pihak saja.

Ia tidak mau, Ameer jadi membencinya karena berpikir ia telah mengkhianati Bundanya.

Belum lagi, tanggapan dari kedua orang tua kandung Hilmi yang sangat menyayangi Yumna semakin membuat pikirannya kacau.

Bisa-bisa ia dikeluarkan dari garis keturunan keluarga Harimurti akibat perselingkuhannya ini dengan mantan kekasihnya waktu SMA.

Berbagai persfektif negatif hilir mudik di kepala Hilmi membuat laki-laki yang berprofesi sebagai HRD di perusahaan Ayahnya sendiri kini diserang over thinking.

Kepalanya benar-benar berdenyut nyeri.

Benarlah kemaksiatan dapat membuat hati, pikiran, dan kehidupan seseorang menjadi tidak tenang.

Hal tersebut bisa dilihat pada kondisi Hilmi sekarang.

Di sisi lain, Windi yang kesal karena belum mendapat jawaban dari ucapannya sejak tadi, berniat untuk melampiaskan pada lawan bicaranya yang terhalang oleh jarak.

Dia kembali berkata.

"Mas? Sebenarnya sejak tadi kamu dengerin aku ngomong nggak, sih?"

Suara Windi meninggi dan berhasil menarik kefokusan Hilmi untuk kembali berkata di balik telepon.

Ia menghela napas. "Aku denger, Win."

"Kalo kamu denger terus kenapa kamu nggak ngasih tanggapan apa-apa, Mas? Kamu anggap aku itu radio yang udah disetel terus bisa dianggurin seenaknya gitu aja apa?"

"Bukan gitu, Win. Aku bukan nggak mau ngasih tanggapan. Tapi saat ini aku lagi kerja, dan ngebahas hal-hal kayak gini bener-bener buang waktu dan bikin aku nggak fokus tahu nggak?"

"Oh, jadi maksud kamu aku udah ganggu waktu berharga kamu ya, Mas? Aku nelpon kayak gini udah ngerugiin kamu?"

"Nggak, Win. Kamu salah nangkep. Maksud aku kita bisa bicarain soal ini nanti pas aku udah di rumah, kan? Biar kita bisa sama-sama cari jalan keluarnya dengan kepala dingin?"

Assalamu'alaikum, IslamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang