AI-31. Sisi Rapuh Sang Antagonis

78 9 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Adakalanya perkataan yang menusuk hati lebih cepat membuat seseorang sadar daripada tutur kata santun yang justru membuatnya meremehkan kebenaran. Tergantung cara manusia itu menafsirkan. Dan sebagai pengamat, kita jangan mudah menyalahkan cara orang lain saat bersyiar. Karena meskipun dilakukan dengan sedikit menusuk, akan tetapi, barang kali dengan kesakitan itu, si pelaku bisa kembali mendapatkan cahaya kebaikan di hatinya."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

Alwan mengalihkan pandangan dari layar laptopnya pada pemilik suara yang tidak asing di telinga.

Iris hitamnya memicing.

Mendapati seorang perempuan berpakaian syar'i berdiri di sampingnya seraya mengulas senyum.

Dia bertanya kaget. "Inayah?"

Perempuan pemilik nama lengkap Inayatul Husna terkekeh. Lalu duduk di kursi milik guru lain yang kebetulan kosong dan berada di sebelah meja Alwan.

Dia bertanya dengan ramah. "Kamu apa kabar, Al?"

"Alhamdulillah baik. Kamu bagaimana?"

"Alhamdulillah, sejak dulu aku selalu sehat cerdas dan ceria Al."

Sembari kembali mengalihkan pandangan pada layar, Alwan mengulas senyum. Seperti yang dikatakan perempuan berhijab warna sage, dia memang selalu terlihat ceria.

Dan untuk sekedar pemberitahuan, perempuan yang berada di sebelahnya saat ini merupakan teman sekelasnya waktu SMA. Sama dengan Indah. Dan alasan dia berkunjung ke sini mungkin untuk menemui Ayahnya. Mengingat, orang tua dari Inayah merupakan kepala sekolah di SMA Cendekia.

"Kamu sudah menyelesaikan pendidikan, Nay? Apa mau lanjut S2?" tanya Alwan kembali membuka pembicaraan.

Sembari menopang dagu, Inayah berpikir sejenak. "Kayaknya aku bakal lanjut S2 deh, Al. Soalnya cita-cita aku banyak yang belum terwujud. Aku belum bisa kayak Fatimah Al-Fihri yang bisa membangun universitas pertama di dunia, belum bisa kayak Mariam Al-Asturlabi seorang astronom yang menemukan astrolabe, belum bisa kayak Sutayta Al-Mahamali yang merupakan pakar matematika khususnya di bidang aritmatika pada abad ke-10. Aku juga belum bisa kayak Rufaidah Al-Aslamiyah yang merupakan perawat muslimah pertama sekaligus dokter bedah pertama dalam sejarah islam."

"Eh, nggak usah jauh-jauh niru mereka, deh. Mereka kan bukan berasal dari sini. Aku bahkan belum bisa meniru salah satu muslimah hebat asal Indonesia. Ibu Tri mumpuni, kamu tahu beliau, Al?"

"Ilmuwan pembangkit listrik tenaga mikro hidroelektrik, bukan? Yang mampu mengalirkan listrik di 65 desa di seluruh Indonesia?" tebak Alwan.

Inayah mengangguk membenarkan. "Heem. Aku belum bisa jadi muslimah hebat kayak mereka. Peran aku dalam dunia ini masih nol. Jadi aku akan terus ngelanjutin pendidikan sampai cita-cita aku yang ingin namanya tertulis dalam buku sejarah bisa terwujud. Ya meskipun kata tetangga, cita-cita aku ini terlalu ketinggian, sih."

"Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah sudah berkehendak, Nay. Kamu punya usaha yang kuat, dan doa yang bukan hanya hadir dari diri kamu sendiri. Bisa jadi keluarga dan orang-orang yang sering kamu bantu turut mendoakan kebaikan untuk kamu juga, kan?"

"Aamiin. By the way, ngobrol sama kamu bikin aku tambah optimis, Al. Andai kamu jadi tetangga aku. Pasti rasa pesimis itu nggak bakal muncul," seru Inayah.

Assalamu'alaikum, IslamWhere stories live. Discover now