AI-52. Masih Berpendar

85 10 3
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Tersentuh dengan ucapan seseorang yang mengatakan, "Bukankah Allah yang memiliki lautan seluas samudera? Tapi tetap saja, tangisan dari seorang pendosa yang lebih Allah cintai walau hanya setetes."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

Begitu akad dari seorang laki-laki atas perempuan yang ingin dinikahi terucap di depan wali dan saksi, maka berpindahlah segala urusan dunia serta akhirat sang perempuan saat itu juga. Dan dari segi duniawi, apa yang akan istri dan keluarganya pakai, makan, serta dijadikan tempat tinggal nantinya, semua itu menjadi tanggung jawab sepenuhnya seorang kepala keluarga. Yang mesti diusahakan dengan cara halal lagi thayib.

Maka dari itu, usai tidak diizinkan oleh seluruh keluarganya untuk mengojek dengan kondisi kesehatannya yang sekarang, Utsman mencoba membanting stir untuk mencari nafkah yang tetap bisa dilakukan di rumah dengan memanfaatkan keahlian lainnya sebagai tukang servis.

Membenarkan peralatan elektronik rumah tangga yang rusak seperti kulkas, mesin cuci, televisi maupun listrik yang konslet milik tetangga. Meskipun tidak setiap hari ada yang membutuhkan jasanya, tapi lumayan dari dua barang yang ditanganinya sejak buka, ia bisa membantu memberikan resiko rumah tangga untuk Rahma guna mencukupi kebutuhan sehari-hari.

"Assalamu'alaikum, Pak."

Pria yang tengah membenarkan regulator televisi di depan teras menoleh pada putri bungsunya yang baru pulang mengajar. Zainab hendak meraih tangan Ayahnya untuk dikecup tapi terlebih dahulu Utsman menolak.

"Tangan Bapak kotor, Zai."

Tak mengindahkan penuturan Ayahnya, Zainab tetap menarik dan mencium punggung tangan Utsman dengan khidmat. Mata yang senantiasa memancarkan aura keteduhan kini menatap Ayahnya seraya tersenyum.

"Tangan yang Bapak anggap kotor ini adalah tangan yang sama yang selalu menengadah memohon pada Allah untuk kebaikan putri-putrinya. Tangan yang meskipun sudah lelah tetap dikuatkan untuk mencari nafkah. Dan tangan yang menuntun kami saat belajar berjalan. Jadi mana mungkin aku menolak untuk menggenggam tangan penuh jasa ini dengan dalih kotor?"

Utsman terpekur. Jika ada yang harus disesali, maka seumur hidup mungkin ia akan menyesali perbuatannya yang telah mengabaikan seorang putri yang senantiasa memuliakannya dengan sikap.

Tak peduli bagaimana dulu dia diperlakukan. Zainab senantiasa memperlakukan siapapun terlebih orang tuanya seakan-akan kebaikanlah yang lebih banyak ia dapatkan dari mereka.

Padahal kenyataannya justru sebaliknya.

Semoga baktimu terhadap orang tua sekarang dibalas dengan bakti anakmu nanti kepadamu, Zai," gumam Utsman dalam hati.

"Ibu belum pulang, Pak?" tanya Zainab seraya mengeluarkan sebuah kresek kecil dari totebagnya.

"Belum. Kenapa memangnya?"

"Nggak papa. Tadi di depan sekolah ada tukang ketoprak lewat. Dan aku inget kalo Bapak sama Ibu suka makan ini. Punya Bapak mau dimakan sekarang? Aku ambilkan dulu piringnya ya."

Pria berkaos kerah lengan pendek membiarkan putrinya melakukan apapun yang dia mau. Namun saat Zainab hendak beranjak ke dalam, terdengar suara seseorang di belakangnya membuat ia langsung berbalik.

"Selamat siang," sapa Edwin pada menantu serta besannya yang nampak terkejut mendapati kehadirannya di sana.

Menetralkan kembali ekspresi wajah, Zainab mendekat lalu salim kepada Edwin. "Siang, Pi."

Assalamu'alaikum, Islamजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें