AI-15. Fakta Mengejutkan

115 11 0
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Jangan pernah menganggap remeh maksiat sekecil apapun itu. Karena entah sadar atau tidak, jika terlalu sering berbaur dengan keburukan, bisa saja hati yang semula bergetar takut untuk melakukannya dapat berubah rasa menjadi tawar. Akibat saking terbiasanya melakukan hal tersebut. Dan yang paling fatal, konon katanya, jika tidak segera ditaubati, maka lambat laun maksiat tersebut akan terus menyebar hingga dapat membuat hati pelakunya menjadi mati."

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

"Kamu sedang apa dengan motor Bapak itu Rido? Kamu mau pergi ke luar?" tanya Utsman.

Pria itu baru selesai mandi dan sudah berganti pakaian menggunakan baju khusus mengojeknya. Hendak bersiap untuk pergi ke pangkalan. Namun saat melihat sang menantu tengah mengelap motor bebeknya yang sedang dipanaskan di pekarangan rumah, membuat pria itu bertanya-tanya.

Menghentikan kegiatan, Rido menoleh. Dia tersenyum pada mertuanya yang berdiri di depannya saat ini. Berkata penuh santun.

"Ah, ini, Pak. Tadi Rido izin pinjam kunci motor ke Ibu waktu Bapak lagi mandi. Dan berhubung Rido masih di sini belum kembali ke Jakarta, untuk sementara waktu Rido dulu ya, yang mengambil alih tugas Bapak untuk mengojek. Bapak istirahat aja di rumah. Biar Rido yang pergi ke pangkalan dari pada seharian Rido cuma berdiam diri aja di rumah. Bosen, Pak," tuturnya seraya terkekeh kecil.

Mendengar itu membuat hati Utsman sungguh terenyuh. Suami dari putri pertamanya ini baik sekali. Ia rela menggantikan tugasnya untuk berpanas-panasan di luar sana demi mencari satu atau barangkali dua orang penumpang yang membutuhkan jasa angkutannya. Tak mengedepankan sedikitpun rasa gengsi.

Merasa terharu, Utsman menepuk pundak laki-laki yang postur tubuhnya tinggi semampai. Lalu berkata.

"Terima kasih Rido. Kamu benar-benar baik. Bapak jadi malu saat mengingat perlakuan kamu terhadap kami masih setulus ini. Padahal mungkin rasa sakit sudah kamu dapatkan dari salah satu putri Bapak. Bapak hanya bisa berharap, semoga Windi secepatnya bisa sadar. Bahwa memilih berpisah dengan kamu adalah keputusan yang mungkin saja bisa ia sesali suatu hari nanti. Mencoba melepaskan lelaki yang bukan hanya baik kepadanya, tapi juga baik kepada anggota keluarga yang lain. Maafkan putri Bapak, Nak. Tolong maafkan Windi," pinta Utsman dengan suaranya yang terdengar begitu parau.

Mendengar itu membuat Rido jadi merasa tidak tega. Ia berusaha menenangkan.

"Tidak apa-apa, Pak. Bapak tidak perlu meminta maaf. Rido juga minta tolong Bapak jangan salahkan Windi terus ya. Setidaknya, dengan dia masih mengizinkan Rido untuk tinggal di sini, benar-benar membuat Rido merasa sangat bersyukur. Mungkin secara tidak langsung, Windi masih memberikan kesempatan kami untuk memperbaiki hubungan, Pak. Dan, in syaa Allah, semua akan baik-baik saja. Jadi Bapak tidak perlu khawatir."

Percakapan antara Utsman dan Rido di luar sana tidak terlepas dari pendengaran Windi. Bukannya terkagum dengan kebaikan suami yang hendak mengambil alih serta meringankan pekerjaan Ayahnya, perempuan itu justru menggerutu kesal. Pembelaan yang dilayangkan Rido di depan Utsman untuknya pun tidak mampu melunakkan hati Windi yang terlanjur keras. Dia malah misuh-misuh.

"Hilih, caper banget. Kalo Mas Rido terus dipuji-puji kayak gitu gimana bisa cepet pisahnya coba?" Sembari bersandar ke daun pintu, ia bersedekap. Memutar otak kira-kira bagaimana caranya agar ia dan suaminya bisa segera bercerai dalam waktu dekat.

Ia sungguh tidak tahan.

Zainab yang baru keluar dari dapur usai berpamitan pada Ibunya yang tengah memasak bubur untuk Indah lantas mengernyit. Mendapati Windi tengah berdiri di ambang pintu dengan pandangan yang menerawang ke atas. Sungguh sangat aneh.

Assalamu'alaikum, IslamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang