AI-42. Mengungkapkan Rasa

104 10 1
                                    

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيم

"Banyak cara yang bisa ditempuh untuk menjadi istri yang saliha. Namun bagaimana caramu bertutur kata pada suami menjadi hal utama yang perlu diberikan perhatian lebih."

~Assalamu'alaikum, Islam~

-Happy reading!-

☪️☪️☪️

"Assalamu'alaikum, Islam."

Zainab tersenyum kecil usai membaca status whatsapp Arzan kemarin yang baru sempat ia lihat subuh ini. Dua kata yang menjadi pengakuan akan keislaman laki-laki itu pada khalayak ramai. Dan sejak kemarin Arzan sudah mulai menjalankan kewajibannya sebagai seorang muslim yang patuh. Salah satunya mengerjakan salat. Dia melaksanakan kewajiban dengan semangat meski dirinya masih dalam tahap belajar dan mengerjakan semampunya.

Merasa tidak ada yang menarik lagi di ponsel, ponsel bercase bening itu ia simpan kembali ke dalam saku cardigan. Cuaca subuh ini cukup dingin. Maka dari itu, setelah pulang berbelanja keperluan dapur di pasar, Arzan langsung menepikan mobilnya saat melihat pedagang teh manis hangat di pinggir jalan.

Dia meminta Zainab untuk menunggunya di dalam mobil. Sedangkan lelaki itu menghampiri pedagang itu sendirian. Sembari menunggu, Zainab memandangi punggung suaminya lewat kaca mobil yang berembun.

Tiba-tiba percakapan semalam dengan Arzan kembali terbayang. Sebuah percakapan yang tidak pernah ia sangka akan terjadi.

Di mana saat keduanya tengah duduk di tepi ranjang, Arzan menggenggam tangannya untuk berkata dengan kondisi mata mereka yang saling menatap.

"Zai, maaf ya atas keputusan yang sudah saya ambil secara mendadak ini. Saya tiba-tiba mengajak kamu untuk menikah. Dan jika kamu masih merasa kesulitan untuk menganggap saya sebagai seorang pasangan, kamu bisa memulainya dengan menganggap saya sebagai teman atau bahkan sahabat kamu. Teman curhat, teman melakukan pekerjaan rumah, teman berbagi kebahagiaan atau bahkan kesedihan, teman kamu bepergian, teman yang akan kamu pinjam pundaknya untuk bersandar ketika lelah, teman yang akan menemani setiap pergantian dari hari-hari kamu ..."

Arzan semakin erat menggenggam tangan dingin Zainab. Tenggorokannya sedikit tercekat tapi ia tetap berusaha untuk melanjutkan.

"Juga teman untuk kamu beribadah. Intinya saya ingin menjadi teman terbaik untuk kamu. Jadi kamu jangan canggung dengan status kita yang sekarang, ya. Anggap saja semuanya masih sama seperti dulu. Di mana kamu bisa leluasa mengobrol dengan santai, tertawa dengan lepas, menjalani hidup seperti biasa, tanpa merasa terganggu dengan kehadiran saya yang tiba-tiba. Karena saya akan merasa senang saat melihat kamu nyaman, dan merasa sedih jika sikap kamu yang aktif berubah pasif karena saya penyebabnya."

Saat itu Zainab langsung meneteskan air mata. Perkataan Arzan yang diucapkan begitu lembutnya justru mampu menghujam hati. Arzan yang saat siang terlihat begitu energic kini seakan hilang digantikan dengan sosok laki-laki yang nampak tidak percaya diri setelah menikahi seorang perempuan yang sudah diketahui belum mencintainya.

Entah apa yang tiba-tiba membuat Arzan berubah seperti itu? Zainab pun tidak mengerti.

Dengan lemah lembut, dia berkata sembari menatap teduh mata suaminya. "Mas, aku akan tetap menganggap Mas Arzan sebagai teman, tapi tanpa mengenyampingkan fakta bahwa Mas Arzan itu memang pasangan aku. Mas Arzan adalah suami, imam, sekaligus Ayah untuk anak-anak kita nanti. Dan tanpa diminta, aku akan tetap menjalani hari-hari aku seperti biasa. Bahkan mungkin sekarang lebih istimewa, karena sudah ada laki-laki hebat yang akan mendampingi aku di setiap langkah. Yaitu Mas Arzan."

Assalamu'alaikum, IslamWhere stories live. Discover now