Ep. 37

521 71 13
                                    

▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬

Langkah girang Dalen menyita perhatian beberapa wali murid yang sedang menjemput anaknya. Padahal, dia awalnya terlihat bersemangat akan sesuatu.

Tapi begitu ia sampai di depan sekolahnya, langkahnya terhenti dan ia tampak kebingungan. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, seakan mencari sesuatu.

"Hari ini yang jemput aku siapa, ya?"

Sembari menunggu jemputan, dia berinisiatif untuk duduk di kursi depan sekolahnya. Memang, biasanya disediakan bangku untuk para orang tua yang sedang menunggu.

Netranya mengedar, sudah biasa dia melihat pemandangan yang membuatnya iri selama 3 tahun ini. Teman-temannya yang dijemput oleh Ayahnya, disambut begitu hangat dan dihadiahi dengan pelukan.

Dalen dulu juga begitu.

Bohong jika dia tidak merindukan kasih sayang Danny, bohong jika dia tidak merasa kesepian.

"Nggak papa, Dalen udah biasa kesepian. Mama lebih kesepian daripada aku," gumamnya, memerhatikan kakinya yang berayun bergantian.

Di tangannya ada sebuah kertas, lebih tepatnya pengumuman yang ditujukan pada orang tua siswa. Sebuah lomba yang dilakukan bersama Ayah para siswa, dalam rangka memperingati hari ayah.

Kalau begini, Dalen harus merayakan apa?

Selama 3 tahun, ia menyembunyikan kertas ini dari Delmara. Dia tidak ingin membebani wanita itu dengan lomba tidak penting.

Yah, meskipun dia sangat ingin berlomba dengan Danny.

"Dalen! Kamu nanti lombanya bareng siapa? Kamu masih belum punya ayah baru, ya?"

Dalen menoleh, ada 4 orang teman sekolahnya berhenti tak jauh darinya. Anak itu menggeleng, lalu menyunggingkan senyumnya.

"Aku nggak mau lomba!"

"Loh, kok gitu? Kamu juga ikut dong, masa tiap tahun kamu selalu nonton sendirian? Nggak asik, ah!" Teman Dalen yang bernama Dicky itu berkacak pinggang, tapi teman disebelahnya menyikutnya pelan.

"Hey, 'kan Ayahnya Dalen udah meninggal. Masa dia mau lomba bareng angin?" bisiknya, tapi sayangnya masih terdengar jelas oleh Dalen.

Kepala Dalen tertunduk lesu, untuk anak seusianya tentu ucapan itu membuatnya sedih.

"Jangan sedih, Dalen. Aku punya dua Ayah, nanti aku pinjamin satu ya!"

Dicky yang mendengar itu terkejut. "Kok bisa Ayah kamu ada dua? Aku cuma punya satu, loh!"

Anak itu mengangguk bangga. "Mama aku nikah lagi, jadi Ayah aku ada dua deh! Banyak, kan?"

"Kalau gitu nanti aku suruh Mama nikah lagi, deh! Biar Ayah aku ada sepuluh, jadinya bisa main bareng!" Dicky melompat kecil kegirangan.

Berbeda dengan Dalen yang terdiam. Jangankan sepuluh, satupun dia tak punya. Yah, dari awal pun dia memang tidak memiliki orang tua. Terkadang dia berpikir, kalau dia memang ditakdirkan untuk tidak memiliki orang tua di hidupnya.

Sungguh ironis.

"Woy!" Sebuah teriakan mengalihkan atensi Dicky dan ketiga temannya. Seorang anak laki-laki yang tubuhnya sedikit lebih besar dari Dalen datang menghampiri mereka.

"Ngapain kalian ajak lomba anak yang nggak punya Ayah? Jangankan lomba, dia aja nggak bisa rayain hari Ayah!"

"Dimas, kamu jangan ngomong gitu, dong. Kasian tau si Dalen," ujar Dicky.

Dalen turun dari bangkunya dengan sedikit melompat, lalu berjalan mendekati Dimas. Wajahnya tanpa ekspresi, menatap tajam Dimas sambil memegang tali tasnya.

BEST PAPA • choi hyunsuk (sequel of Danny) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang