Lima tiga: Jangkrik

3 1 0
                                    

Hari ini Rizlan resmi menggelar pameran tunggal keduanya yang jujur saja sudah sangat ku nantikan. Aku sungguh tak sabar ingin segera memberinya ucapan selamat atas pencapaiannya. Aku tahu betul, dia sudah sangat bekerja keras.

Bersama Mama dan Papa, aku sudah berada dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang menuju gedung khusus tempat digelarnya pameran tunggal Rizlan. Artspace.

Mengagumkan. Tak ada kata lain yang dapat mewakili betapa gembiranya aku berada di dalam tempat yang dikelilingi puluhan lukisan indah yang diciptakan dari si pemilik tangan dengan skill dewa. Rizlan. Aku sungguh merasa terhormat bisa menjadi bagian dari tamu-tamu penting yang turut diundang ke tempat ini.

Dengan wajah penuh percaya diri, Rizlan berdiri di ujung koridor sana, asyik bercengkrama dengan beberapa pria dewasa yang mungkin rekan bisnisnya. Rizlan tampak paling muda diantara mereka.

"Riz, hai." Aku menyapa.

Melihatku datang, dengan sumringah Rizlan menyambutku.

"Ra, hei ... lo dateng bareng Om sama Tante?"

"Iya dong, kompak banget kan kita? Tuh, mereka di sana." Aku menunjuk dengan dagu ke arah kedua orangtuaku yang nampak begitu takjub memandang berbagai lukisan unik milik Rizlan, tak jauh berbeda denganku.

"Syukurlah ..." seraya menghela napas Rizlan tampak lega.

"Oya, sebelumnya kenalin, ini temen sekaligus kolega gue dari luar kota, Ra."

Satu persatu dari tiga orang pria itu Rizlan kenalkan padaku. Senyum ramah mereka tampilkan di hadapanku yang juga balas tersenyum.

"Nanti kita ngobrol lagi ya, ada urusan dulu sebentar ..." Dengan sopan Rizlan pamit dari ketiga temannya yang mengangguk paham.

Rizlan menghampiri kedua orangtuaku menyapa mereka penuh santun.

"Selamat sore, Om, Tante ..." Rizlan membungkuk hormat. "Terimakasih banyak sudah hadir ke pameran saya."

Senyuman manis tersungging di wajah Papaku seraya menepuk lembut bahu Rizlan layaknya sang Ayah yang bangga terhadap anak laki-lakinya.

"Sebuah kehormatan untuk Om bisa hadir di tempat ini, Rizlan. Kamu seniman yang sangat handal."

"Terimakasih, Om." Rizlan tersenyum canggung dibuatnya.

"Kamu emang keren banget, Rizlan. Lukisan-lukisan yang kamu buat selalu keliatan unik dan pastinya semuanya punya cerita tersendiri, kan? Kamu benar-benar hebat!"

Mendapat sanjungan berturut-turut dari kedua orangtuaku membuat senyuman bahagia mengembang di wajah Rizlan.

"Terimakasih, Tante."

Tak berapa lama, keluarga kecil yang selalu harmonis akhirnya tiba bersama buah hati mereka yang tampaknya semakin gemuk saja. Semakin menggemaskan.

"Zuraaa!" 

Selalu heboh. Itulah Aulia Tiffany. Mama muda itu langsung menerjangku dengan sebuah pelukan erat.

Tidak seperti saat masa sekolah dulu, di masa sekarang, menyisihkan waktu untuk sekedar berjumpa melepas rasa rindu pun terasa sangat sulit karena memang kami memiliki kesibukan masing-masing.

Aku dengan profesiku sebagai chef. Dan Olla sebagai WO. Pertemuan di antara kami terjadi tidak sesering dulu saat masa-masa putih abu-abu ataupun saat kuliah. Hanya lewat ponsel kami kerap bertukar kabar. Dan sekalinya bertemu, maka cewek itu akan langsung menerkamku dengan sebuah pelukan, persis seperti yang kerap ia lakukan sejak dulu.

"Ra, sumpah gue kangen banget sama lo!" Kalimat itu Olla ucapkan sesaat setelah ia berhenti merangkulku. "Seandainya aja gue bisa balik ke jaman kuliah dulu, mungkin kita bakal sering ketemu."

"PSYCHOPLAK"Where stories live. Discover now