Dua puluh: Hikmah

8 1 0
                                    

Hujan deras sudah mulai berubah menjadi rerintikan saja.

Tak terasa, tibalah aku dan rombongan di Posko ACT di desa B.

Rupanya, aktivitas disini tidak seperti yang ku bayangkan. Ku pikir, menjadi seorang relawan itu artinya pergi ke TKP dan mencari korban, pergi ke TKP yang notabene-nya tempatnya masih labil.

Yah, itu benar. Tetapi itu untuk tim rescue, aku dan rombongan yang hanya anak sekolah ini tidak bisa di masukkan ke dalam bagian tim rescue katanya.

Hal ini tentu saja membuatku protes. Ku hampiri Kak Jingga yang saat itu baru saja keluar dari mobil yang terpisah denganku.

"Kak, masa katanya kita gak boleh ikut ke TKP, sih? Bukannya itu tugas relawan juga?"

"Nggak dong, Ra." Kak Jingga menjawab dengan lemah lembut. "Alih-alih nyari korban, yang ada kita disana malah jadi korban berikutnya."

Aku cemberut monyong. "Tapi ini gak adil Kak, saya kan pengen ikut nolongin juga."

Ku alihkan pandanganku pada sang pembina yang bernama lengkap Aris Munandar itu.

Namun, baru saja ku hampiri, belum sempat memprotes, lelaki itu lebih dulu memerintahkan kerumunan siswa-siswi anggota PMR untuk segera berkumpul.

"Nah, anak-anak, perkenalkan, ini Kang Iciw." Pak Aris memperkenalkan lelaki paruh baya yang berdiri seraya tersenyum ramah disampingnya. "Kang Iciw ini adalah komandan di posko ini. Jadi, nanti kalau ada apa-apa, kalian bisa tanyakan pada beliau."

"Selamat datang anak-anak, perkenalkan, nama saya Iciw Sudrajat. Itu sih nama lengkapnya, kalo nama panggilannya, yah sebut saja Kang Iciw," ujarnya ramah sekali.

"Walaupun kita gak terjun langsung ke TKP kayak tim rescue, tapi jangan salah, tim ini juga gak kalah pentingnya, lho." Pak Aris berujar. "Kalau di tim rescue sasaran atau targetnya adalah korban hidup atau sudah meninggal yang harus ditemukan, maka tim kita sasarannya adalah kepada orang-orang yang jadi korban yang masih hidup. Dan tugas kita adalah memastikan orang tersebut dalam kondisi baik-baik saja. Kalian semua paham, kan?"

"Paham... Paakkk..."

Aku memusatkan perhatianku pada sesosok cowok introvert yang saat itu terlihat celingak-celinguk tidak nyaman membuatku gemas ingin menaboknya rasanya. Kenapa dia tidak enjoy saja, sih?

Tegangnya seperti seorang perampok yang bersembunyi dari kejaran polisi saja.

"Oi." Ku tepuk pelan bahunya karena merasa tak tega.

Disini, hanya akulah satu-satunya orang yang dia kenal karena memang kami sekelas.

Sepertinya kalau tidak ku jaga, cowok ansos itu akan pulang saat ini juga saking tak nyamannya berada di keramaian.

Padahal dia memiliki wajah yang meskipun aku tak sudi mengakuinya, tetapi dia cukup tampan.

Wajahnya bersih. Hidungnya bangir. Bibirnya berwarna cerah alami menandakan bahwa dia cowok yang tidak pernah menyentuh rokok. Jadi ... dengan wajah setampan itu kenapa dia mesti malu?

"Riz."

Cowok itu menoleh.

"Gak usah tegang-tegang amat bisa gak lo?"

"PSYCHOPLAK"Donde viven las historias. Descúbrelo ahora