Tiga tiga: Ambisi

2 1 0
                                    

"Ma, menurut Mama, nanti kalo udah lulus, bagusnya Zura masuk jurusan apa, ya?"

Di hari minggu yang cerah ceria ini, Mama datang berkunjung untuk menjenguk keadaan ku. Waktu itu, di hari ulang tahunku, pagi harinya Papa langsung kembali berangkat kerja, begitupun Mama, beliau berangkat di antar Papa. Dan ini merupakan kedua kalinya aku bertemu Mama.

Menyambut kedatangan Mama, aku sengaja memasak makanan yang sejak dahulu merupakan makanan favoritnya. Tom Yam cumi.

"Sejak kecil, Mama tau sendiri kan, Papa selalu bilang kalo cewek itu harus punya cita-cita, tapi beranjak remaja, makin kesini hidup Zura makin terombang-ambing, Ma. Zura gak bisa nentuin secara jelas, Zura mau jadi apa nantinya?"

Mama mengukir sunggingan manis, "Mama ngerti kok, sayang. Dulu Mama juga gitu, Mama suka sains, tapi disisi lain, Mama juga suka belajar ilmu hukum, disitu Mama mikir, kira-kira kuliah nanti Mama masuk jurusan apa, ya?" Kali ini, manik cokelat milik Mama yang serupa denganku itu terlihat menerawang. Senyuman manis masih terlukis di wajahnya. "Waktu itu, almarhumah Nenek kamu ngeyakinin Mama untuk masuk jurusan hukum aja."

"Oh, jadi Nenek yang ngeyakinin Mama?"

Mama mengangguk pasti, "Dan sekarang, Mama gak nyesel sama sekali milih jurusan itu. Masuk jurusan hukum terus jadi notaris itu benar-benar passion Mama. Mama cinta banget sama pekerjaan Mama."

"Terus, kalo Zura cocoknya jadi apa dong?" Bibirku mengerucut.

"Sebenarnya pertanyaan itu cuma kamu sendiri yang bisa jawab. Yang kamu sukai itu apa?"

"Zura tuh multitalenta lho, Ma!" Aku menjawab dengan penuh semangat. "Zura pinter masak, bisa ngajar, bisa ngobatin luka, terus juga jago la ... ri." 

Sadar, nada semangat suaraku sontak memudar sendu tatkala teringat bahwa kini jangankan berlari, untuk berdiri saja aku kesulitan jika tanpa bantuan tongkat kruk.

Ku pandang kaki kiriku yang sampai hari ini masih belum bisa di gerakkan. Masih mati rasa. Aku masih tak bisa merasakan apa-apa.

"Zura ..." Wanita yang duduk tepat disisi kiriku menyentuh lembut punggungku. "Kalau udah sembuh nanti, Mama yakin, kamu pasti bisa lari lagi kayak dulu. Maaf ya Mama gak pernah sekalipun nemenin kamu terapi. Tapi Mama janji, Mama akan berusaha meluangkan waktu Mama buat kamu."

"Gapapa kok, Ma." Aku mengulum senyum. Meyakinkan Mama bahwa aku baik-baik saja. "Zura tau, Mama pasti sibuk banget, kan? Selain kerja jadi notaris, Mama juga udah berkeluarga."

Mendengar penuturanku, Mama berhenti memegang sendok dan garpu kemudian mengalihkan pandangannya dariku. Tampak begitu sedih.

"Ma, Mama kenapa?"

Mama menoleh, menatapku terluka.

"Sebenarnya, sejak kamu masih SMP pun, Mama memutuskan untuk pisah sama Lucky, kami gak pernah menikah."

"Apa?!" Mendengar pengakuannya tersebut tentu saja mataku membelalak kaget. "Maksud Mama apa? Kok gak nikah? Kenapa? Bukannya Mama suka sama Om Lucky?"

"Sesuka apapun Mama sama dia, gak ada yang bisa ngalahin rasa sayang Mama sama kamu, Nak." Kulihat, mata Mama kini berkaca-kaca. "Mama mungkin masih bisa hidup tanpa Papa kamu, tanpa Lucky, tapi Mama gak sanggup hidup tanpa kamu, Zura. Setiap hari Mama terus mikirin kamu. Mama sadar waktu itu Mama begitu egois. Jelas-jelas Mama udah nyakitin kamu, tapi Mama pengen ngerebut kamu dari Papa kamu. Mama pengen kamu tinggal sama Mama meskipun Mama tau kalau saat itu Mama udah sangat nyakitin perasaan kamu."

"Mama gak bisa hidup sama laki-laki yang karena dia, akhirnya kamu jadi benci sama Mama. Mama bener-bener nyesel, Nak. Tapi disisi lain, terlalu gak tau malu kalau waktu itu Mama nemuin kamu lagi atas apa yang udah terjadi."

"PSYCHOPLAK"Where stories live. Discover now