Empat satu: Luka

2 1 0
                                    

Suara ketukan di pintu membangunkan ku. Membuatku terjaga.

Namun, terlalu sulit bagiku untuk membuka mata saking bengkaknya. Mataku seakan saling melekat satu sama lain.

Entah pukul berapa aku tertidur karena kelelahan menangis. Bangun-bangun, hari sudah pagi saja. Dan aku bahkan belum sempat menutup gorden. Mentari sudah menyapaku dari balik jendela kamar.

"Non? Non Zura gapapa kan, Non? Maaf kalau Bibi ganggu, tapi dari semalem Non Zura belum makan, lho. Ini Bibi udah siapin sarapan."

"Nanti aja, Bi." Aku berteriak dari dalam kamar. Terlalu malas rasanya bahkan untuk sekedar mengisi perut mendamaikan lambung.

Bi Yusi sepertinya sudah pergi setelah tadi ku teriaki.

Aku menyingkap selimut hangat dari tubuhku, mengucek pelan mata bengkak ku, kemudian beringsut duduk.

Aku menghela napas berat. Membuka mata sepenuhnya masih terasa seberat ini. Netraku bergulir ke arah laci samping tempat tidur. Saat ku buka, ada gantungan terbuat dari gypsum dengan bentuk monyet yang dulu sengaja ku buat untuk Rifai. Sayang sekali aku belum sempat menyerahkannya. Dia sudah terlanjur pergi. Mataku memanas lagi.

Di dalam laci paling atas, ku raih kotak perak berhias batu kristal yang di dalamnya berisi liontin berbentuk capung. Ku genggam erat-erat liontin itu dengan tangan gemetar sambil mengingat hari saat tangan besar Rifai dengan lembut memasangkannya di leherku. Netraku bergolak lagi.

Aku meletakkan di atas kasur dua benda yang mengingatkan ku pada sosok Rifai, kemudian menyungkup wajah dengan kedua tangan. Gulungan kertas putih lembut berserakan tak karuan di atas lantai. Berapa banyak lagi tisu yang harus ku habiskan untuk menyeka air yang meleleh dari mata sebagai ungkapan atas rasa sedihku?

Sungguh, aku tidak tahu bahwa berpisah dengan Rifai ... akan terasa semenyakitkan ini.

Aku cukup bahagia meskipun memang hari-hariku terbilang monoton. Tetapi Rifai ... kehadirannya dalam hidupku telah memberikan warna yang berbeda.

Menghela napas dalam-dalam lalu menghembuskannya secara perlahan. Aku berusaha menenangkan diri.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 06:30 pagi.

Ponsel sedari tadi terus mendengungkan notifikasi. Ada belasan chat dari Olla. Dia menungguku di sekolah. Memintaku untuk segera datang.

Tak sempat mengompres mataku yang bengkak dengan es batu, aku bergegas mandi.

Tak ingin membuat semua orang khawatir akan kondisiku, aku bergegas menuju ke sekolah di antar sopir.

Namun, rupanya datang kesini bukanlah ide yang bagus. Sejauh mata memandang, semua area di sekolah ini mengingatkanku pada Rifai.

Tepat di halaman belakang sekolah, jurang merupakan basecamp tempat aku dan Rifai biasa menyiksa dan menghitung berbagai jenis binatang hasil buruan kami.

Pohon jambu biji mengingatkanku pada moment saat Rifai dengan sangat lihai memanjatnya mengalahkan sesosok beruk.

Pohon mangga menuntunku pada moment saat Rifai menghadiahiku seonggok jenglot tepat di hari ulang tahunku.

"PSYCHOPLAK"Where stories live. Discover now