Tiga delapan: Ingkar

2 1 0
                                    

Cat yang di dominasi warna putih, aroma khas obat-obatan yang menyeruak menghalau penciuman, single bed ramping, cairan infus ... Tidak salah lagi, pasti ini di rumah sakit. Tetapi, kenapa aku bisa ada disini, ya?

"Zura ... syukurlah kamu sudah sadar ..."

"Om Bayu?"

Om Bayu berulangkali mengusap lembut dadanya sendiri tampak begitu lega melihatku yang kini membuka mata.

"Zura kenapa ada disini?" tanyaku lemah.

"Zura ... kamu ..."

Om Bayu terbata-bata. Aku berinisiatif mencari tahu sendiri. Ku sentuh secara perlahan sesuatu yang terasa membalut kepalaku. Kurasa ini kain kasa. Ada nyeri yang berdenyut tepat di dahiku membuatku mendesis ngilu.

"Maafin Om ya, Zura ... Om gak bisa ngejagain kamu ... ini salah Om ... Om benar-benar minta maaf ..."

Om Bayu bicara apa, sih? Kenapa beliau terlihat begitu sedih?

"Tapi percaya sama Om, mulai hari ini, gak bakal ada yang gangguin kamu lagi di sekolah, anak-anak itu sudah dikeluarkan. Om pastikan, gak akan ada satu sekolah pun yang mau nerima mereka. Gak bakal ada yang ngebully kamu lagi. Om janji, Om akan melindungi kamu. Kalo perlu, Om akan siapkan bodyguard untuk kamu supaya kamu selalu ngerasa aman."

Bully?

Ah iya, aku baru ingat. Luka di kepalaku ini diciptakan oleh dua orang yang telah menyiksaku. Dewi dan Zeroun.

Sesaat sebelum aku nyaris tewas, seseorang mendobrak pintu lalu menghajar mereka secara brutal dan aku dibawa pergi.

Sudah pasti Rifai lah yang membawaku kesini.

"Rifai mana, Om?"

"Rifai?" Om Bayu mengernyit. "Mungkin di rumahnya?"

"Abis nganterin Zura kesini, dia langsung pergi gitu aja?" Aku merengut.

"Pergi apanya? Dia nungguin kamu berhari-hari lho disini. Makan, ngemil disini. Main game juga disini. Selain dia, ada banyak teman sekelas yang datang jengukin kamu."

"Hah? Dalam sehari, semua orang jengukin Zura?" Mataku membola.

"Kamu gak sadar selama lima hari, Zura."

Mataku kembali membola tatkala mendengar penuturan Om Bayu.

Apa saja yang sudah terjadi saat aku tak sadarkan diri?

Aku sungguh tidak menyangka bahwa ternyata butuh waktu lima hari lamanya hingga akhirnya kini aku bisa kembali membuka mata.

Situasi ini mengingatkanku akan hari dimana aku di rawat di rumah sakit karena kecelakaan motor dan koma.

Saat ini, bangun dari tidur panjang, aku sungguh merasa sangat bahagia dan bersyukur. Tuhan masih memberiku kesempatan untuk melihat indahnya dunia. Berbeda dengan waktu itu, bangun dari koma dan mendapati kakiku tak bisa digerakkan, aku justru berharap untuk mati saja.

Aku sudah sadar sekarang. Hidup adalah anugerah. Masih dapat bernapas setelah di aniaya sedemikian kejamnya, ini merupakan keajaiban yang patut disyukuri.

Ini kesempatan dari Tuhan agar aku bisa lebih menghargai hidup.

Tak akan ku sia-siakan semua kesempatan yang berharga ini.

Aku akan hidup dengan baik.

"Kamu mau minum?"

Aku mengangguk lemah. Om Bayu dengan sigap membawakan air putih untukku minum. Tenggorokanku terasa sangat kering memang. Membasahi tenggorokan dengan segelas air putih sungguh menyegarkan dahaga.

"PSYCHOPLAK"Where stories live. Discover now