• PART 39 •

146 3 0
                                        

Menjelang Ujian Akhir Semester, selama beberapa hari ini kelas kami lebih sering lenggang. Beberapa guru mengatakan bahwa materi-materi yang kami pelajari terakhir kali adalah materi terakhir. Jadi, kami disuruh mempelajarinya lagi sendiri.

Jam kosong sekarang dimanfaatkan oleh beberapa kelompok Bahasa Indonesia untuk berlatih drama karena sudah mendekati hari penilaian, yaitu minggu depan.

Drama kelompokku hanya bercerita tentang siswi-siswi SMA biasa yang ada sedikit konflik dengan teman baru yang akhirnya menjadi teman baik.

"Sejak kapan lo berteman sama si Cupu ini?" tanya Vina angkuh pada Dila.

"Emangnya kenapa, Zora? Dia, kan, satu kelas sama kita. Emangnya gak boleh temenan?" tanya Dila.

"Kenapa lo gak ngomong dulu sama gue dan yang lain?"

"Apa Aul harus izin dulu sama Zora kalau mau berteman sama yang lain?"

"Y ... ya, nggak juga, tapi setidaknya kita harus tau kalau lo ngajak orang lain."

"Ini hak dan kebebasan Aul, Zora. Aul gak suka, ya, dikekang." Dila memperlihatkan ketidaksukaannya.

"Siapa yang ke—"

"Udah, udah, jangan ribut. Ini bukan permasalahan yang pantas dibesar-besarkan. Apa salahnya kalian juga ikut temenan sama gue?" Aku langsung angkat suara karena sudah jengah daritadi hanya menjadi penonton. "Gue lapar. Ke kantin, yuk, Aul."

Aku baru mau beranjak pergi, tapi aku teringat sesuatu. Aku pun menatap Vina kembali.

"Oh, iya. Mata gue minus, makanya pakai kacamata. Bukan cupu."

Aku menarik salah satu tangan Dila untuk kuajak ke kantin bersama. Namun, di saat yang bersamaan ada yang menahannya. Aku dan Dila pun sama-sama kebingungan.

"Vina, ini gak ada dalam naskahnya. Yang benar itu nanti lo nyusul gue sama Runi ke kantin, terus minta maaf, dan baru, deh, kita semua mulai temanan. Masa lo lupa?" tegur Dila.

"Eh? Oh, iya, sorry, sorry. Gue refleks. Soalnya akting kalian bagus banget. Gue sampai lupa adegan berikutnya," puji Vina.

"Ah, nggak, kok, Vin. Biasa aja," kataku.

"Malah merendah. Coba ikut casting film, deh, Run. Pasti lo langsung dipilih," saran Sasa.

"Nggak, ah. Gue gak mau jadi artis."

"Kenapa? Sayang banget bakat lo disia-siain."

"Gue tau," celetuk Rena. "Kalau nanti jadi sama Iftah, kan, gaji dokter udah lumayan banget. Jadi, Runi gak mau ikutan sibuk juga kalau sampai mereka jarang ketemu."

Aku membelalak tanpa sadar. Bagaimana bisa Rena memiliki pemikiran sampai ke situ?

"Oh, jadi gitu, ya? Kalau itu alasannya, gue terima." Vina mengacungkan jempolnya.

Aku melambai-lambaikan tanganku di depan mereka tidak menyetujui pernyataan Rena. "Nggak, nggak kayak gitu. Itu, kan, katanya Rena, bukan kata gue."

"Nggak usah malu gitu, Run. Kita bukan orang lain, lho," ucap Sasa.

"Iya, kayak kita gak tau aja," goda Vina.

"Udah, ah. Break dulu, yuk. Kasihan, tuh, mukanya Runi merah gitu. Kalau tambah merah gimana? Habis kita sama Iftah," canda Rena.

"Aduh, takut," cicit Sasa pura-pura.

"Ke kantin aja, yuk. Latihan drama bikin gue lapar," ajak Vina.

"Sama," balas Sasa dan Rena bersamaan.

Never Gone ✔️Where stories live. Discover now