Di jam istirahat ini, aku, Elsa, dan Dila makan di kantin. Kami tidak setiap hari pergi ke kantin. Karena entah bagaimana, aku dan Elsa memiliki kesamaan. Kami sama-sama sering tidak berselera makan. Karena aku pun yang juga selalu sudah makan pagi sebelum pergi ke sekolah, jadi kadang aku masih kenyang sampai jam istirahat.
Tapi, kali ini tiba-tiba aku merasa sangat lapar. Padahal aku sudah makan pagi tadi. Akhirnya aku mengikuti ajakan Dila untuk ke kantin—yang sering kutolak, untuk mengisi perutku. Dan tidak lupa Elsa yang pasrah saja digiring oleh Dila agar mengikuti kami.
Kami bertiga sudah duduk anteng di kursi dengan pesanan masing-masing yang tersedia di depan kami. Aku dan Dila sama-sama memesan bakso dan pop ice rasa mangga. Sedangkan Elsa hanya memesan air es. Iya, air putih dengan es batu seperti biasa ketika kami ke kantin. Walau kadang dia juga memesan makanan, tapi minumnya selalu air es. Entah akan jadi sedingin apa lagi dirinya bila terus mengonsumsi air es itu.
"Lo gak pesen makanan, El?" tanya Dila sambil menyuap potongan bakso ke dalam mulutnya.
"Kenyang."
Aku menambah beberapa sendok saus cabai ke dalam mangkokku. Yang sebelumnya belum terasa pedas di lidahku.
"Astaga!" heboh Dila. "Sepuluh sendok tadi masih kurang, Run? Nggak ada rasa? Wah, gila. Gue dua sendok aja udah nyerah gak bisa ngabisin."
"Belum kerasa tadi. Ini baru kerasa," kataku setelah mencoba kuahnya.
"Masih pagi ini, jangan makan pedas banyak-banyak. Sakit perut entar," nasihat Dila.
"Iya, tenang aja. Ini keahlian gue, kok."
Dari kecil aku suka makanan pedas. Makan apapun itu harus ada yang pedas. Padahal kedua orangtuaku tidak tahan dengan yang namanya pedas. Entah bagaimana bisa aku berbeda dengan mereka.
Lalu, ketika kelas dua SMP aku sempat mendapat operasi usus buntu. Namun, aku tetap tidak kapok. Lagian karena hal itu yang membuatku jadi berpikir saat makan tidak perlu memusingkan batasan dalam memakan makanan yang pedas lagi.
"Makan es batu nggak bikin kenyang kali, El," ujar Dila.
"Gue gak makan, gue minum air."
"Ya, iya, sama aja. Minum air gak bikin kenyang."
"Bisa."
"Mana buktinya?"
"Gue."
Aku sedang tidak ingin ikut campur dalam perdebatan mereka kali ini. Karena aku sedang dilanda lapar, aku hanya ingin fokus mengisi perutku. Sehari mereka tanpa berdebat sepertinya ada yang kurang. Jadi, biarkan saja.
Aku memasukkan potongan terakhir baksoku ke dalam mulut. Rasanya benar-benar lega rasa laparku sudah hilang. Lalu, aku meminum pop ice-ku untuk menetralkan rasa pedas di lidahku.
Setelah selesai makan, kami bertiga berniat kembali ke kelas. Sambil berjalan, kami membahas berbagai hal.
Tiba-tiba ada kehebohan dari arah belakang kami.
"Eh, minggir-minggir!"
"Minggir, woi! Jangan di tengah jalan!"
Aku, Elsa, dan Dila langsung menepi di koridor. Belum sempat aku melihat ke belakang, seseorang tidak sengaja menyambar bahuku. Aku yang terdorong sedikit karenanya, membuat punggung tanganku tergores duri kaktus yang ada di dekatku.
Aku meringis. Lukanya kecil, tapi perih. Untung aku bukan orang yang punya fobia akan darah. Jadi, tidak apa-apa bila mendapat sedikit luka.
"Lo gak apa-apa, Run? Gue liat tadi, tuh, orang nabrak lo," tanya Dila.
Aku tersenyum kecil. "Nggak apa-apa. Luka kecil doang."
"Ih, kurang ajar banget mereka. Seenaknya nyuruh minggir, ngomongnya pakai teriak-teriak, nabrak orang lagi dan gak minta maaf. Emangnya mereka robot apa?" Dila jadi kesal sendiri.
Aku terkekeh. "Udah, biarinlah. Males nyari ribut, tapi apa hubungannya sama robot?"
"Robot, kan, gak punya perasaan, sama, tuh, kayak mereka. Kalau punya, pasti bakal balik minta maaf."
Elsa menghentikan salah satu siswi yang sepertinya juga tergesa-gesa ke suatu tempat yang membuat orang-orang menjadi heboh tadi.
"Ada apa?" tanya Elsa.
"Iya, bener, ada apa? Ada kebakaran? Ada kecelakaan? Ada yang jatuh dari lantai du—"
"Bukan. Ada yang berantem," kata siswi itu sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
"Kirain ada apa. Yang berantem dua orang, yang heboh satu RT. Lagian orang berantem diliatin, bukannya dilerai. Dasar manusia."
"Lo juga manusia," sahut Elsa.
"Balik kelas aja. Udah mau bel,"ujarku.
Akhirnya kami kembali ke kelas. Melanjutkan pelajaran Kimia di siang hari yang membuat ubun-ubunku tambah terbakar.
"Ini cara ngerjainnya gimana, sih? Daritadi gue perhatiin Ibu Mila, kok, tapi gak ngerti-ngerti, ya?" Dila bersuara.
"Masalahnya otak lo," ujar Elsa.
"Otak gue masih ada, kok, baik-baik aja. Gak ada masalah," ucap Dila dengan polosnya.
Aku juga tidak paham dengan soal Kimia yang diberikan ini. Sebenarnya juga Kimia adalah musuhku. Mau berapa kali pun seseorang menjelaskannya padaku, tetap aku sulit memahaminya. Alhasil nilai Kimiaku selalu yang terendah di raport. Hmm ....
"Tanya Iftah aja, yuk, Run?"
"Eh?" ajakan Dila yang tiba-tiba, membuatku sedikit terkejut. Aku segera menggeleng. "Nggak. Lo aja. Gue tetap gak paham dijelasin ulang."
"Hm, yaudah, deh. Bentar, ya?"
Aku tidak ingin membuang-buang waktu seseorang untuk menjelaskan lagi padaku yang akhirnya tetap tidak bisa aku pahami. Ya, aku sudah lama menyerah untuk pelajaran yang satu ini. Aku hanya selalu melakukan sebisaku saja.
Dua setengah jam sudah berlalu. Waktunya pulang sekolah. Aku memasukkan semua alat tulisku ke dalam tas, lalu berdiri.
"Gue duluan, ya? Mau nunggu Randi di depan kelasnya. Bye," pamit Dila.
"Gue juga duluan." Gantian Elsa.
Dan akhirnya, tanpa menunggu balasanku mereka berdua pergi begitu saja. Hmm, ya sudahlah. Aku berjalan keluar kelas sendiri.
Belum lama aku berjalan, seseorang memanggilku. Aku pun berbalik.
Aku terkejut dan bingung di saat yang bersamaan. Karena orang itu adalah Iftah.
"Boleh gue minta tangan kiri lo?"
Aku gagal paham. "Hah? Maksudnya?"
"Pinjem tangan kiri lo bentar."
Aku masih tidak mengerti. Apa yang mau Iftah lakukan dengan tanganku? "Buat apa?"
"Bentar aja," yakinnya.
Akhirnya, ragu-ragu aku mengangkat tangan kiriku di hadapannya. Lalu, dengan pelan dia membalikkan telapak tanganku menjadi punggung tanganku yang di atas. Dan detik berikutnya dengan cepat dia menempelkan sebuah plester di luka gores yang kudapatkan waktu istirahat tadi.
Aku kehilangan kata-kata. Dari mana Iftah tahu lukaku? Ah, bukan. Kenapa dia peduli dengan lukaku?
"Jangan terluka lagi," katanya sembari tersenyum tipis.
Aku tidak bersuara sama sekali. Bahkan aku masih tidak berkutik di tempat sampai Iftah sudah hilang dari pandanganku.
VOUS LISEZ
Never Gone ✔️
Roman pour Adolescents⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- "Aku tidak pernah pergi ... dan tidak akan pernah kemana pun." Aku menyukainya tanpa alasan, tapi tidak terlalu mengharapkan balasan. Meski begitu, aku...
