Hari Minggu ini aku hanya di rumah. Tidak melakukan sesuatu yang spesial atau apapun itu. Hanya melakukan hal-hal yang setiap Minggu biasa kulakukan. Ya, aku tahu pasti membosankan hanya melakukan itu-itu saja, tetapi karena sudah terbiasa, lalu kenapa?
Setelah dari pagi membantu mama dalam pekerjaan rumah dan sebelum Dzuhur sudah selesai. Sekarang aku sedang berbaring di tempat tidurku ketika orang-orang akan memilih tidur siang.
Sebuah kertas kuangkat di atas wajahku. Masih memikirkan orang yang dimaksudkan dalam kertas itu. Ya, aku membawa pulang kertas kemarin dan menyimpannya. Aku bingung. Di satu sisi aku merasa pernah melihat tulisan ini, tapi di sisi lainnya seperti tidak pernah melihatnya.
Aku membuang napas panjang, lalu bangun memosisikan diriku untuk duduk. Kubuka laci nakas di samping tempat tidurku, lalu kusimpan kertas itu di sana. Tidak usah terlalu dipikirkan. Siapapun itu, aku berharap bukan orang jahat. Ya, aku sedikit was-was.
Tiba-tiba pintu kamarku dibuka dari luar. Sebelum kepalanya menyembul, sudah kuduga dia adalah Rumi. Karena selain mama dan papa, hanya Rumi yang tidak pernah mengetuk pintu kamarku terlebih dahulu sebelum masuk.
"Kakak!" Rumi mendekat setelah dia menutup pintu kembali.
"Kamu gak tidur siang?" tanyaku saat Rumi naik ke tempat tidurku dan berbaring di sisi lain.
"Belum. Rumi mau cerita sama Kakak."
Aku menautkan alis, bingung. "Cerita apa?"
"Rumi kemarin dapat teman baru."
"Oh, ya?" Aku sudah sepenuhnya duduk menghadap Rumi. Aku siap mendengarkan ceritanya sambil memainkan tangan dan jari-jari mungilnya itu. Imut sekali. "Tapi, kok, bisa ada anak baru? Kan, udah mau naik kelas."
Rumi menggeleng menatapku. "Bukan anak baru, Kak, tapi teman baru."
"Emang apa bedanya?"
"Teman baru Rumi udah sekelas dari lama, tapi baru teman sekarang."
"Kenapa gak pernah ngajak berteman?"
"Kakak diam dulu. Kan, Rumi belum cerita," protesnya.
Hmm, udah pintar ngomong sekarang dianya.
Seperti perintah Rumi, aku menurutinya untuk diam. Hanya telingaku yang aktif mendengarkan. Dan juga dengan tanganku yang masih aktif memainkan tangan dan jari-jarinya.
"Namanya Ivana, Kak. Ivana temanan sama Siti, Tari, dan Milan. Rumi cuma gak berani ngajak berteman karena Ivana udah punya banyak teman. Terus, kemarin itu pas Rumi pulang Mama belum jemput. Rumi tungguin lama banget. Jadi, Rumi duduk di bangku depan kelas dan ada Ivana di sana. Ivana juga nunggu jemputan. Kita awalnya cuma diam-diaman, sampai jemputannya Ivana datang Rumi kira Rumi bakal tinggal sendiri. Ternyata Ivana sama yang jemput Ivana nungguin Rumi sampai Mama datang. Ivana ngajak Rumi ngobrol, Ivana bilang yang jemput Ivana itu Kakaknya. Kakak Ivana baiiik banget, Kak. Kakak Ivana juga ganteng hehe," kekeh Rumi setelah selesai bercerita.
Tapi, aku sedikit heran dengan Rumi. Sejak kapan dia mulai pintar bicara lancar begini? Padahal baru kelas 2 SD. Wajar atau tidak, ya? Karena dulu waktu seumuran Rumi, aku tidak pernah bisa bicara lebih dari lima kata.
"Baik gimana? Baru ngajak ngobrol emang bisa langsung dibilang orang itu baik?" tanyaku.
"Kakak Ivana beliin Rumi cokelat, buat Rumi temanan sama Ivana, suka senyum, bilang Rumi cantik, pokoknya baik, deh, Kak," cetusnya dengan wajah berseri.
Gerakanku terhenti. Aku merasa ada yang janggal. Yang dikatakan Rumi seperti ciri-ciri ...
... penculik anak?! Jangan-jangan modus dekatin Rumi sebagai korban berikutnya?!
"Rumi, kamu jangan pernah ngobrol lagi sama orang yang kamu nggak kenal. Kalau dia nyamperin kamu, kamu langsung pergi cari Ibu guru. Biar nunggu Mama sama Ibu guru aja, ngerti?" ujarku.
"Kenapa? Kan, Kakak itu Kakaknya Ivana. Bukan orang lain," sanggah Rumi.
"Tetap aja nggak boleh. Kamu harus ingat kata-kata Kakak. Ngerti, 'kan?"
Rumi memasang wajah sedih, tapi ini demi kebaikannya. Kalau suatu hari aku bisa memastikannya sendiri, barulah aku bisa tenang. "Iya, Kak."
Rumi tidak berbicara lagi. Tidak lama kemudian dia terlelap. Aku ikut berbaring di sampingnya. Rasa kantuk mulai menyerangku. Dan tidak lama juga aku ikut ke alam bawah sadar.
Lalu, sekitar jam lima sore, aku duduk di teras bersama papa. Sudah lama juga aku tidak memiliki waktu bersama papa seperti ini.
Papa menyeruput teh hangatnya. Papa bukan penyuka kopi dan lainnya yang mengandung kafein. Jadi, hanya akan meminum teh atau sesekali susu.
"Gimana sekolah kamu, Runi? Maaf, Papa belum pernah tanya kamu ini setelah kita pindah ke sini," ujar papa.
Aku menggeleng pelan, tidak menyetujui ucapan papa. "Nggak apa-apa, Pa. Runi ngerti, kok. Sekolah Runi baik-baik aja. Temannya juga baik-baik. Runi, kan, udah pernah ke ultah teman. Jadi, Papa gak perlu khawatir kalau Papa pikir Runi susah beradaptasi. Toh, sama-sama manusia, Pa."
Papa terkekeh. "Baguslah kalau kamu baik-baik aja. Papa takut kamu tidak suka di sini karena sudah biasa sekolah dari TK di Yogya."
"Runi sekolah di mana aja nggak masalah, Pa. Asal Runi, Mama, dan Rumi selalu bareng Papa." Aku tersenyum hangat.
Papa mengelus rambutku sambil membalas tersenyum. "Sejak kapan putri Papa sudah sebesar ini?"
Aku hanya terkekeh. Melihat papa tersenyum selalu membuat hatiku menghangat. Papa tidak pernah marah. Atau bisa dibilang tidak pernah menunjukkan amarahnya. Ketika marah, papa hanya akan diam. Setelah amarahnya mereda, barulah papa bersikap seperti biasa.
Kadang aku berpikir, seseorang pasti selalu ingin mengeluarkan amarahnya. Sesabar-sabarnya seseorang, setahan-tahannya seseorang. Suatu hari pasti amarah itu akan meledak. Yang berujung entah melampiaskannya pada benda-benda di sekitarnya ataupun pada orang lain.
Namun, selama mengenal papa belum pernah sama sekali aku melihat papa yang benar-benar marah. Bukannya aku ingin papa marah, hanya saja aku heran. Bila maksud papa ingin menyimpan amarahnya dan tidak ingin melampiaskan pada siapapun atau apapun. Maka aku kagum pada papa. Papa bisa menahannya dengan baik sampai titik ini. Aku jadi ingin punya pasangan seperti papa. Karena bila dipikir-pikir, kalau pasangan yang suka marah-marah nanti malah cepat tua. Iya, 'kan? Kalau bisa menahannya pasti bisa seperti papa, awet muda. Hehe.
"Runi, kamu punya pacar?"
Seketika aku terbatuk-batuk saking kagetnya dengan pertanyaan tiba-tiba dari papa.
"Ng-nggak ada, Pa. Pacar dari mana? Kok, tiba-tiba nanya itu, Pa?" Aku berusaha menjawab dengan tenang. Lagipula seharusnya, kan, aku biasa saja karena memang tidak punya seseorang yang disebut pacar, tapi kenapa malah jadi gugup seperti ini? Sudah seperti aku sedang disidang karena melakukan hal yang salah.
Papa mengulum senyum. "Papa cuma pengin tahu kehidupan percintaan putri Papa kayak gimana, selain tentang belajar. Apalagi putri Papa, kan, cantik, pasti waktu jadi siswi baru banyak cowok yang naksir."
"Pa ...," tegurku. "Tapi, terimakasih atas pujiannya sekaligus gombalannya, Papaku."
Papa tertawa, setelah itu papa menerawang ke depan. "Masa-masa SMA adalah masa-masa paling indah, itu menurut Papa. Masa di mana kamu mulai mengetahui dan memahami sesuatu, tapi ada satu yang sulit dipahami ..., yaitu cinta. Kamu tidak tahu kapan tepatnya kamu merasakannya dan juga tidak tahu kapan tepatnya kamu berhenti merasakannya. Semuanya muncul dan hilang secara tiba-tiba. Maksud Papa, kalau kamu suka, jujur saja. Meskipun dia tidak suka kamu, yang penting kamu sudah jujur. Karena kita tidak bisa menebak isi hati seseorang. Dan kalau ada yang suka kamu, apalagi dia tulus. Pertahankan. Karena kita tidak tahu sampai kapan dia bisa tetap mempertahankan rasa sukanya ke kamu, selagi kamu tidak peduli. Ingat, Runi. Allah Maha Membolak-balikkan Perasaan. Jangan sampai menyesal bila suatu hari orang itu tidak ada di sampingmu lagi."
Setelah percakapanku dengan papa sore itu, aku jadi terus memikirkan kalimat demi kalimat yang papa katakan padaku. Sampai akhirnya aku sadar dan tahu harus bagaimana sekarang.
YOU ARE READING
Never Gone ✔️
Teen Fiction⚠️ Jangan memplagiat ceritaku.. Sudah kuperingatkan dengan baik-baik, ya :) -------------------- "Aku tidak pernah pergi ... dan tidak akan pernah kemana pun." Aku menyukainya tanpa alasan, tapi tidak terlalu mengharapkan balasan. Meski begitu, aku...
