• PART 2 •

227 4 1
                                        

"Kenapa lo gak iyain ajakannya Iftah tadi?"

Aku, Elsa dan Dila sudah berjalan di koridor menuju gerbang sekolah. Sekarang sudah waktunya pulang.

Walaupun sedikit kaget atas pertanyaan itu, aku menjawabnya dengan tenang. "Gue gak—"

"Gak mau ngerepotin?" Elsa memotong kalimatku.

Aku tidak membantah. Karena memang itu faktanya. Aku tidak ingin merepotkan Iftah. Apalagi memberinya harapan yang aku sendiri tidak memiliki perasaan apapun padanya.

"Jawaban andalan cewek kalau lagi nolak tawaran seseorang," celetuk Dila.

"Runi 'udah' nolak, gak 'lagi' nolak."

"Sama aja. Pas Iftah tawarin, kan, Runi nolak. Berarti 'lagi' nolak," balas Dila tidak mau kalah.

"Nggak sama. Katanya aja udah beda," ujar Elsa.

"Ya, memang katanya beda. Siapa yang bilang sama?"

Aku menghela napas pendek. Aku sudah terbiasa dengan perdebatan kecil mereka.

"Intinya gue nolak, oke?" selaku, mengangkat suara. Bisa-bisa mereka tidak berhenti sampai besok.

"Iftah itu baik, pintar, ganteng, ramah, dapat diandalin, tapi kenapa lo gak suka sama dia?" tanya Dila.

Ya, Iftah adalah sosok yang memang mendekati kata sempurna, tapi apa seseorang yang memiliki kriteria seperti itu selalu disukai oleh semua orang? Bukan berarti aku tidak menyukainya atau membencinya sebagai teman. Aku hanya tidak memiliki perasaan khusus padanya. Apa tidak memiliki perasaan itu harus ada alasannya? Aku rasa setiap orang punya hak untuk suka atau tidak suka pada seseorang.

"Karena orang yang gue suka Kak Nata."

Mungkin itu satu-satunya jawaban yang bisa memberi penjelasan atas pertanyaan Dila. Ya, mungkin.

"Belum suka aja," kata Elsa.

"Maksudnya?"

Tiba-tiba Dila menjentikkan jarinya. "Oh, gue tau! Biasanya orang yang gak kita suka karena kita suka orang lain, tapi dia suka kita, sering dalam hubungan yang rumit, sih. Lama kelamaan bisa kita suka dia tiba-tiba tanpa kita sadari."

"Teori dari mana?" tanyaku.

"Bukan masalah teorinya, tapi memang benar adanya, Run."

Kami berhenti di dekat gerbang sekolah. Karena tadi di kelas Dila meminta aku dan Elsa untuk menunggunya yang sedang menunggu Randi--pacarnya untuk pulang bersama, jadi aku dan Elsa pasrah saja. Kami berdua tidak ingin menjadi saksi bagaimana Dila akan merengek.

"Tapi, pasti gak semuanya kayak gitu. Kan, tergantung dari yang punya perasaan itu sendiri."

Dila mengangguk-anggukkan kepalanya. "Iya, sih, tapi kita gak tau, 'kan, kasus lo bakal sama atau beda," kekehnya.

Aku tidak menanggapi lagi. Aku tidak ingin memikirkan hal lain tentang perasaanku selain Kak Nata. Sekarang aku hanya harus memikirkan kapan aku akan memulai semua ini. Bila terus ditunda, perasaanku mungkin hanya akan berakhir sia-sia. Setidaknya itulah yang baru saja aku pahami.

"Dua menit lagi gue pergi," ujar Elsa.

"Yaah, El. Tunggu bentar lagi. Tadi di kelas Randi bilang gak lama, kok, urusannya. Please," bujuk Dila.

"Gue mau tidur, bukan jadi patung di sini."

Aku tertawa mendengarnya. "Coba lo chat atau telepon, deh, Dil."

"Oke, oke. Bentar." Dila langsung mengambil ponselnya dari saku roknya, hendak menghubungi Randi. Namun, belum sampai ponselnya sampai ke telinga. Randi dan motornya sudah berhenti di depan kami.

"Maaf, Dil. Udah lama?" tanya Randi dengan wajah tanpa ekspresinya.

Dila menggeleng cepat sambil tersenyum lebar. "Nggak, kok. Ini baru nyampai."

"Bohong," ucap Elsa.

"Ih, apa, sih, El? Orang baru nyampai juga."

"Ayo naik," ujar Randi.

"Eh? Iya, iya." Dila menatapku dan Elsa. "Makasih, Run, El, udah mau nemenin gue. Padahal gue bisa nunggu sendirian, kok."

Aku menatap Dila yang sudah duduk di jok belakang motor Randi. "Maksud lo? Lo sengaja?"

Dila tertawa geli. "Jarang-jarang, 'kan, kita barengan ke gerbang, jadi sekali-sekalilah."

Aku hanya bisa tersenyum tanpa minat. Itulah Dila. Polos dan punya pemikiran yang ajaib. Apalagi yang membuatku takjub adalah sudah punya satu sahabat yang dingin, tapi punya pacar yang dingin juga. Mungkin perbedaan yang menonjol antara mereka memang cocok bersama.

"Kita duluan," pamit Randi singkat.

"Bye, El, Run."

Sepeninggalan Dila dan Randi, aku dan Elsa melanjutkan langkah kami yang sudah daritadi berniat untuk pulang.

"Lo pulang naik apa?" tanyaku pada Elsa.

"Taksi. Mau bareng?" tawar Elsa.

"Oh, nggak, nggak. Nggak usah."

Selama berjalan aku memikirkan keluarga Elsa pasti kaya. Buktinya Elsa mengatakan dia akan pulang dengan taksi. Bila dipikirkan lagi, selama ini Elsa juga tidak pernah memberitahu aku dan Dila dia akan pulang dengan apa setiap kali kami bertanya. Dan, ya, ini pertama kali Elsa memberitahu. Namun, hanya aku.

Elsa yang lebih tertutup dariku membuatku selalu penasaran dengannya. Banyak pertanyaan di otakku yang ingin kutanyakan, tapi aku tetap memendamnya karena semua pertanyaan itu bersifat pribadi.

"Udah jadi kebiasaan ternyata," ucap Elsa tiba-tiba.

Aku menoleh bingung. "Maksudnya?"

Beberapa detik terlewati, tetapi Elsa tak kunjung menjawab. Sudah kubilang Elsa itu selalu membuatku penasaran. Diam saja aku tidak berhenti bertanya-tanya tentangnya pada diriku sendiri. Apalagi kalau sudah angkat bicara.

"Gue duluan."

"Eh, tapi El—"

Aku tidak bisa melanjutkan kalimatku karena Elsa sudah menyeberangi jalan lebih dulu. Dari tempatku berdiri aku melihat Elsa sudah masuk ke dalam salah satu taksi. Pikirku yang hendak menanyakannya besok di sekolah, tidak jadi. Karena berdasarkan pengalaman, Elsa bagai teka-teki. Dia tidak akan memberitahu maksud atas ucapannya yang membuat bingung. Jadi, harus cari sendiri maksudnya ataupun tidak usah.

Aku kembali melangkah menuju pangkalan ojek. Tiba-tiba ada yang mengganggu pikiranku. Ucapan pamit Elsa. Setelah kuingat-ingat kalimatnya sama seperti Randi tadi.

Aku mendengus geli. Ciri khas orang dingin dan tidak banyak berbicara.

Never Gone ✔️Where stories live. Discover now