• PART 15 •

203 3 0
                                        

Sudah satu minggu lebih aku tidak bertemu ataupun berkomunikasi dengan Kak Nata. Alasannya karena satu bulan lebih lagi, kelas XII akan menghadapi Ujian Nasional. Jadi, selain penambahan bimbingan belajar di sekolah. Sudah dipastikan Kak Nata juga akan mulai benar-benar fokus belajar di rumah. Dan aku tidak mempermasalahkannya. Selama aku masih bisa melihatnya di sekolah, itu sudah cukup.

Aku tersentak kaget saat ada yang menepuk bahuku. Aku pun menoleh.

"Lo ngelamun? Astaga. Pantesan gue panggil-panggil gak nyahut," keluh Dila.

"Kenapa?"

"Itu, punya lo udah jadi belum? Mau gue lihat."

Aku memandangi benda yang ada di tanganku. Sebuah gelang biasa, tapi terlihat cantik di mataku--karena aku yang membuatnya, sudah selesai kubuat dari beberapa menit yang lalu. Namun, karena teringat Kak Nata aku sampai larut dalam lamunanku.

"Udah, nih." Aku memberikannya pada Dila.

"Waah, bagus, Run. Gue jadi punya inpirasi nih pas lihat punya lo."

Aku menatapnya bingung. "Hah? Maksudnya daritadi lo belum buat?"

Dila terkekeh tanpa dosa. "Iya, nih. Gue bingung. Gue butuh contoh dulu baru bisa buat."

Aku menghela napas panjang. Dengan cepat kurebut kembali gelang buatanku dari tangan Dila. Tentu saja aku langsung tahu maksud dari 'contoh' yang dikatakannya.

"Nggak. Enak aja."

Dila cemberut. "Gue ngikut setengah aja, ya? Ya, ya, ya?"

Aku menggeleng tegas. "Di google pasti banyak contohnya. Jangan ngikut punya gue."

"Dil," panggil Elsa yang daritadi hanya diam karena sedang fokus dengan kerajinan buatannya. Kalau tidak salah dia membuat sebuah mahkota. "Kerja sendiri kenapa, sih?"

"Gue emang mau kerja sendiri, kok. Cuma butuh contoh doang."

"Contoh yang lo maksud dengan meniru, gitu? Lo tadi sendiri yang bilang mau ngikut. Sama aja mau tiru."

Dila menatap Elsa tidak terima. "Kan, gue bilang setengah doang. Gak semua juga."

"Runi udah bilang nggak boleh. Lo masih aja maksa. Lagian kalau lo gak bisa gunain otak lo buat mikir sendiri, kan, masih ada ponsel lo. Contohnya lebih banyak dan lebih bagus juga di google. Percuma ada otak sama ponsel, sama-sama gak berguna."

Sadis. Pedas. Tajam. Itu kesanku terhadap ucapan Elsa yang begitu menusuk. Meski bukan ditujukan untukku, tapi jujur aku yang mendengarnya juga merasa sakit hati. Aku benar-benar ingin mengenalnya lebih dalam, tapi Elsa terlalu tertutup. Sulit bagiku maupun Dila tahu lebih jauh tentangnya.

"Udah, El. Biar gue bantu aja. Mau, 'kan, Dil?" ucapku menengahi.

"Iya, deh, mau." Dila menatap Elsa. "Omongan lo jahat banget, sumpah. Tau, ah. Gue bete sama lo." Lalu dia menggeser tubuhnya mendekat padaku.

Sedangkan Elsa tidak menggubris perkataan Dila. Dia melanjutkan pekerjaannya.

Aku hanya menghela napas dan mulai membantu Dila membuat kerajinannya. Aku menyuruhnya melakukannya sendiri dengan arahan dariku dan sesekali aku akan turun tangan bila dia tidak mengerti-mengerti juga arahanku.

Hari Minggu ini, rumahku dijadikan sebagai tempat untuk mengerjakan tugas Prakarya yang diberikan Ibu Dita minggu lalu. Hanya tujuh orang yang datang ke rumahku. Sisanya mereka berpencar ke rumah yang lainnya. Karena sekelas sudah sepakat untuk mengerjakannya hari ini.

Never Gone ✔️Where stories live. Discover now