Guilt

2.7K 262 8
                                    

Daniel berjalan gontai ke rumah tiga lantai yang jadi tempat ia tinggal selama berkuliah. Lelaki itu naik ke tangga dengan pikiran penuh di kepala.

Bagaimana kalau begini, bagaimana kalau begitu. Semua seperti memenuhi kepalanya.

Pembicaraannya dengan Gwen berakhir dengan beberapa poin yang bisa ia garis bawahi. Pertama, mereka harus lebih banyak menghabiskan waktu bersama di depan publik. Kedua, mereka harus berakting sedemikian rupa bahwa mereka sudah dekat sejak masih SMA. Ketiga, tidak boleh ada perempuan lain selama perjanjian ini dijalankan.

Bagi Daniel, ia tidak punya keberatan bagi poin pertama. Laki-laki mana yang tidak ingin menghabiskan waktu dengan Gwen. Tetapi, dua poin lainnya terasa begitu... berat.

Berpura-pura berteman sejak SMA? Bahkan mereka tidak pernah mengobrol kecuali ketika Gwen menolong Danisa. Dan poin ketiga, Ammy. Ia masih tak tahu harus bicara apa dengan perempuan satu itu.

Baru membuka pintu kamar kos-nya, mata Daniel lagi-lagi tertumbuk pada perempuan dengan blus biru muda yang tengah duduk di atas kasur. Perempuan itu melirik dan langsung berdiri saat itu juga.

Daniel mendesah pelan. Ia menatap ke arah perempuan itu dengan sorot lelah.

"Lo ke mana? Tadi katanya habis bantuin Pak Yudi, lo langsung cabut gitu aja." Kalimat sambutan dari Ammy membuat Daniel mendesis kecil.

Daniel tak menjawab. Ia malah mendudukan diri di atas kursi belajar alih-alih di kasur.

"Niel?" tanya Ammy lagi. Tak biasanya wajah Daniel ditekuk begitu. Kecuali, Daniel habis punya masalah besar. Dimarahi orangtua, biasanya. "Lo habis ke rumah? Atau ke mana?"

Daniel menggeleng. "Lo tumben ke sini. Nggak lagi cari pelarian lagi, kan?"

Begitu mendengar kalimat tersebut, Ammy berdecak. "Emangnya gue nggak boleh ke sini?" Ia berkata dengan nada ketus yang dibuat-buat. "Emang ke sini harus ada masalah?"

Yang bisa Daniel lakukan hanya menghela napas keras-keras. Sejatinya, Ammy dan Daniel hanya bertemu jika membutuhkan satu sama lain. Jadi, kedatangan Ammy tanpa membawa masalah menjadi pertanda sesuatu yang aneh.

"Gue khawatir sama lo." Ammy berkata lagi. Mengaku tentang alasan kedatangannya.

Seketika, Daniel menengok. Ia menatap Ammy yang kini duduk dengan kaki menggantung di kasur.

"Kemarin, gosipnya kenceng banget. Semua orang nanyain tentang lo, nggak ada yang berhenti ngomongin lo. Gue yakin, di kelas pun, ada yang ngomongin walaupun bisik-bisik, kan?" Ammy berucap lirih. "Are you okay? Gue takut lo kenapa-napa."

Daniel menggeleng. Dia sendiri tidak tahu arti gelengannya. Apa ia baik-baik saja? Apa ia sedang tidak baik-baik saja?

"Lo sampai deactivate semua sosmed lo, Niel. Hujatan semua ke mana-mana. Ketikan orang bener-bener jahat banget!" Satu helaan napas terdengar dari mulut Ammy. Ia menelan ludah. Bingung harus berbuat apa.

"My..."

"Kemarin habis lo anterin gue, gue bilang lo buat ke apartemen gue, tapi lo hilang. Cuma ngabarin kalau lo butuh waktu sendiri. Hari ini, pas gue tanya lo di mana, lo jawab bantu ngajar, tapi pas gue samperin, lo udah pergi kayak ninja!" gerutu Ammy. "Gue khawatir woy! Please! Lo kenapa? Biasanya kalau ada masalah, lo nggak akan simpen sendiri. Lo pasti cerita sama gue..."

"Dan end-up di ranjang?" kelakar Daniel yang sama sekali terdengar tak lucu tapi nyata adanya. 

"Niel! Gue serius!" pekik Ammy.

Daniel tertawa. Ammy memang teman yang menyenangkan untuk diajak bercerita juga bercinta bersamaan. Namun, untuk pertama kalinya, Daniel tak ingin melakukan keduanya pada Ammy.

OUT AND OUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang