Disaster as Hell

3.1K 247 6
                                    

Daniel merogoh kantong untuk mengambil dompet dan mengeluarkan sebuah kartu berwarna putih. Ia kini berada di depan unit apartemen Ammy. Sebagai anak rantau dari Surabaya, orangtua Ammy membelikan gadis itu satu unit apartemen yang sangat dekat dengan kampus. Katanya, sekalian investasi juga agar mereka lebih mudah menginap jika berkunjung.

Yang orangtua Ammy mungkin tidak tahu, setiap sudut apartemen ini adalah saksi bisu percintaan mereka. Dari kamar hingga sofa ruang tamu hingga meja makan hingga balkon, tak ada yang luput dari kegilaan dua manusia itu.

Satu jam yang lalu, ketika Daniel baru saja keluar dari rumahnya, lelaki itu sudah menelepon Ammy. Menanyakan keberadaan gadis itu. Jadi, Daniel yakin ketika ia masuk nanti, Ammy sudah ada di apartemennya.

Benar saja, tepat ketika Daniel membuka pintu, gadis itu tengah duduk dengan bath robe di atas sofa. Ia menggulirkan ponsel dengan khusyuk seolah tengah membaca doa.

"Habis mandi lo?" tanya Daniel sambil menutup pintu.

Ammy melirik sekilas dan kembali menggulirkan ponselnya. "Ada masalah apa lo?" tembak perempuan itu langsung.

"Uhuh?" Daniel pura-pura bodoh sambil meletakan tasnya di atas meja lalu membanting tubuhnya di sebelah Ammy. Ia meletakan kepala di sandaran sofa sambil menatap langit-langit. Ia bahkan tidak repot-repot kembali ke kos. Rasanya benar-benar lega ketika Daniel bisa keluar dari rumah yang penuh tekanan tersebut.

Daniel melongok ke arah ponsel Ammy. Di layar, tampak video Gwen yang menampar Arlo. Topik itu benar-benar jadi gosip panas akhir-akhir ini.

"Semua orang lagi ngelihatin video tampar menampar itu, deh!" sindir Daniel.

"Di rumah lo juga?" Ammy menengok. "Gwyneth menampar Arlo di screening film terbaru mereka. Ini gila!"

Daniel mengalihkan pandangan. Sesaat, tampilan Gwen setengah telanjang memenuhi benaknya. Ia ke sini untuk menuntaskan stress dengan Ammy, tetapi, Gwen lagi-lagi bermain di kepalanya.

"Kata lo, adik lo pacaran sama adik dari mantan pacarnya Gwyneth, kan?" Ammy bertanya lagi.

"Iya, makanya di rumah gue juga jadi rame banget soal ini. Males bahasnya!" Daniel berkata ketus.

Sebenarnya, di rumah, pembahasan itu hanya berlangsung antara Danisa dan Samudera. Daniel hanya membual agar bisa mengenyahkan Gwen dari pikirannya.

"Gantian gue yang tebak. Lo... habis dimarahin karena IPK lo turun nol koma nol sekian?" ejek Ammy sambil tertawa terbahak. Ia mengunci layar ponselnya dan meletakan gawai itu di atas meja.

Daniel hanya memasang tampang sinis. Ia memutar bola mata, tak menjawab pertanyaan Ammy. Lawan bicaranya memang paling tahu apa yang terjadi. Kalau Ammy selalu dipermasalahkan akibat jurusan yang ia pilih, maka Daniel dipermasalahkan akan nilainya yang harus selalu sempurna.

"Terus, lo bilang apa ke bokap nyokap pas balik ke sini? Emangnya, mereka nggak tahu kalau kita lagi libur semester?" tanya Ammy lagi.

Daniel memutar bola mata. "Gue kan ada kegiatan kemahasiswaan, My," kilahnya.

"Maksud dari kegiatan kemahasiswaan lo itu, nge-band?" ejek Ammy. "Bukan biasanya lo bolak-balik Jakarta-Tangerang kalau yang kayak gini gini? Lo bener-bener menghindar dari bokap lo, ya?"

Daniel mendesis. Cukup sekali ia berada di rumah. Tahun lalu, IPK nya berada di angka 3.8. Ia dengan bangga pulang ke rumah. Tetapi, bukannya disambut dengan hangat, topik makan malamnya selalu sama: "3.8 itu kecil untuk kampus swasta, harusnya kamu bisa dapat 3.9 atau 4 sekalian."

Sinting! Apakah memang semua lulus perguruan tinggi negeri selalu merasa perguruan tinggi swasta semudah itu? Karena nyatanya, tingkat kesulitan di sana juga tak jauh berbeda.

OUT AND OUTWhere stories live. Discover now