Switched 🍁 3

59 16 10
                                    

"Dhemiel! Coba kau konsentrasi dan keluarkan sihirmu! Buatlah seekor kupu-kupu!" Perintah Mareil, guru sihir Dhemiel di sekolahnya.

Dhemiel pun melakukan apa yang Mareil suruh. Dengan mudah, Dhemiel mengeluarkan ribuan kupu-kupu hitam dengan aura putih di sekelilingnya. Mareil terkesiap saat melihat sihir Dhemiel yang bisa dibilang tak wajar.

Murid yang satu ini memang berbeda, pikirnya. Tapi dia tidak bisa menuduh Dhemiel itu iblis karena sifat Dhemiel sendiri sudah melebihi malaikat teragung saking baiknya dia.

"Kenapa Mareil? Sihirku menyeramkan, ya?" Air mata mulai keluar di sudut mata Dhemiel. Mareil menggeleng.

"Tidak, bukan begitu Dhemiel. Anak sepertimu terlalu langka dan aku bahagia bisa menjadi gurumu," hibur Mareil. Dhemiel pun mengusap air matanya yang nyaris jatuh.

"Kalau begitu, tolong ajari aku sihir baru! Aku ingin bisa memanggil senjata!" Pinta Dhemiel antusias. Mareil mengangguk dan mulai mengajari Dhemiel sihir baru.

Bahkan hatinya terlalu lembut untuk seorang iblis berusia 15 tahun, Mareil kembali membatin. Dia pun kembali memfokuskan matanya ke perkembangan sihir Dhemiel.

"Mareil! Lihat! Aku mengeluarkan sebuah panah yang keren sekali!"

Rahang Mareil seakan terjun bebas dari tengkoraknya. Panah hitam yang Dhemiel keluarkan bukanlah panah biasa.

Panah hitam dengan ukiran antik dan beberapa ukiran tengkorak yang hanya bisa dilihat oleh orang bermata tajam. Besarnya hampir setinggi Dhemiel sendiri. Anak panahnya pun setajam pisau tertajam yang pernah dibuat seluruh makhluk di dunia. Dhemiel pun membidik target di hadapannya dengan panahnya.

Kembali, rahang Mareil menganga. Panah yang Dhemiel lepaskan mengenai target dan tembus ke belakang, mengenai seekor burung elang yang langsung jatuh tak berdaya. Dhemiel seketika menjatuhkan panahnya dan menghampiri burung malang tersebut.

Air mata mengalir di pipi Dhemiel. "Maafkan aku, kumohon jangan mati."

Tiba-tiba sinar hitam mengelilingi elang itu dan lukanya sembuh seperti sediakala. Dhemiel tersenyum dengan polosnya saat sang elang itu kembali terbang tinggi ke langit.

"Dhemiel, bagaimana kau melakukannya?" Tanya Mareil bingung.

Dhemiel menggidikkan bahunya. "Aku tidak tahu. Mungkin keajaiban? Mama bilang keajaiban bisa datang kapan saja pada siapa saja. Dan kurasa elang itu mendapat keajaibannya."

Mareil pun berusaha menepis pikiran negatif di kepalanya dan mengambil sebuah bibit. Dia menanam bibit itu di tanah dan menyiramnya. Dhemiel yang melihat Mareil menanam bibit pun penasaran dan menanam biji apel yang tadi dia makan.

Tepat saat dia mengubur biji apelnya, tiba-tiba sebuah pohon besar dengan buah besar yang ranum tumbuh. Mareil sudah tidak mengerti lagi. Dia hanya berusaha menutupi rasa bingung dan keingintahuannya yang semakin besar. Dhemiel memetik apel merah terbesar di pohon itu dan memberikannya pada Mareil.

"Ini untuk Mareil karena sudah mengajariku banyak hal," ucap Dhemiel lugu. Mareil mengambil apel dari tangan Dhemiel dan terpaku.

Dia menggigit apel tersebut. Manis. Sangat manis. Bahkan lebih manis dari madu termurni sekalipun. Air mata sampai terjatuh dari matanya. Dia melihat Dhemiel memetik apel di pohon tersebut. Apel yang baru saja dipetik secepat kilat langsung tumbuh kembali dan bahkan lebih manis dari sebelumnya. Setelah karung Dhemiel penuh, dia berlari ke aula utama sekolahnya dan kembali ke tempat Mareil.

"Apa yang akan kau lakukan dengan apel-apel itu?" Tanya Mareil. Dia menggigit apelnya lagi.

Dhemiel tersenyum tulus. "Aku meminta kepala sekolah untuk mengantar apel-apel tersebut ke manusia yang kesulitan. Aku yakin, mereka pasti menginginkan sebuah hadiah sebagai penyemangat hidup mereka."

Air mata kembali terjatuh dari mata Mareil. "Cukup, anak ini bukanlah iblis!" Bisiknya tanpa suara sedikit pun, membuat Dhemiel bertanya-tanya kenapa guru kesayangannya menangis.

"Jangan menangis Mareil, apelnya masih banyak, kok," hibur Dhemiel. Mareil cepat-cepat menghapus air matanya.

"Aku tidak menangis. Bagaimana kalau kita mempelajari teknik pengobatan?"

"Mau! Aku akan mengambil peralatannya!"

Dhemiel pun berlari kecil dan masuk ke sekolahnya untuk mengambil peralatan medis. Sementara itu, Mareil terpaku. Air mata mengalir deras di pipinya.

"Aku bahkan tidak pernah berpikiran sepertinya saat aku kecil! Benar-benar seorang malaikat!"

*****

"Aletta, keluarkan seekor anjing!"

"Hm, terlalu mudah untukku, dasar guru bodoh!"

Raungan seketika memenuhi sekolah iblis di mana Aletta belajar. Aula yang tadinya sepi langsung porak-poranda selayaknya diterpa badai. Karena bukannya anjing yang Aletta keluarkan, melainkan Cerberus berwarna putih dan beraura hitam.

"Aletta! Hentikan!"

"Kenapa? Kau tidak menyukai peliharaanku yang imut ini?" Aletta pun mengelus kepala Cerberus di hadapannya. Seketika Cerberus itu menghilang.

"Kau! Ini sudah keterlaluan! Aku memintamu mengeluarkan anjing, bukan Cerberus! Minggu kemarin aku memintamu mengeluarkan ikan dan kau mengeluarkan siren! Kemarin aku meminta singa dan kau mengeluarkan Chimera! Lalu aku memintamu untuk mengeluarkan elang dan kau mengeluarkan seekor Griffin! Apa maumu sebenarnya?! Apa ada masalah di otak kacangmu itu, hah?!" Hardik Frishka, sang guru sihir killer di sekolah Aletta. Aletta dengan santai meletakkan tangannya di belakang kepalanya.

"Aku mau menjadi Ratu Iblis terkuat dan kau akan tunduk padaku!" Pekik Aletta. Seketika tubuh Frishka menjadi kaku. Aletta tersenyum licik, menyeringai tepatnya. Dia berhasil mengendalikan Frishka.

"Bye, Frishka! Dan otakku tidak pernah sebesar kacang!"

Mata Frishka melebar. Seketika darah terciprat kemana-mana, mengenai semua murid yang ada. Murid-murid bersorak.

"Woah! Kau keren Aletta!"

"Kau baru saja membunuh guru killer kita!"

"Hehe, itu bukan apa-apa," ucap Aletta sombong. Dia dengan cepat mengambil tasnya dan berlari secepat kilat ke rumahnya.

"Mama! Aku pulang!" Pekiknya. Kini suaranya tidak secempreng dulu. Sekarang sudah lebih halus dan manis, untuk ukuran iblis tentunya. Urisha pun menyambut Aletta dengan pelukan hangat.

"Ah, sang Ratu Iblis sudah pulang! Bagaimana harimu di sekolah, hm?" Sapa Urisha.

"Frishka menyebutku otak kacang," desisnya. Kemarahan seakan memuncak di kepala Urisha.

"Kau bilang apa?! Frishka menyebutmu otak kacang?! Mana diaㅡ"

"Woa, woa, tenanglah, ma! Aku baru saja membunuh guru tak tau diuntung itu. Jadi sekarang mama bisa santai," potong Aletta. Secercah senyum kembali menghiasi wajah Urisha.

"Itu baru anak Mama."

*****










- Al🐱

SWITCHED Donde viven las historias. Descúbrelo ahora