"Kau sudah selesai makan, Anak manis?"

Adinda menunduk untuk mengusap surai Honey dengan lembut. Ia sudah jatuh cinta kepada kuda ini sejak pertama kali menaikinya, dan Adinda tahu ia akan sedih jika harus pergi dari sini nanti. Sedih karena harus berpisah dengan Honey, dan juga Jesse.

Kepalanya kembali terangkat untuk mengamati Jesse, dan ia melihat pria itu berjalan mendekat kepadanya. Adinda menelan ludahnya dengan gugup. Bahkan dari cara berjalannya yang sangat mantap itu, Jesse memancarkan hawa panas yang membuatnya meleleh.

Ia tahu kenapa dirinya tidak bisa jatuh cinta pada Chase. Karena pria itu tidak memiliki aura seperti yang dimiliki Jesse. Pria itu bisa saja seorang tuna wicara, tetapi ada keistimewaan lain dalam dirinya yang tidak dimiliki pria manapun yang bisa bicara.

Jesse sampai di hadapannya hanya dalam hitungan menit, dan selama itu, tidak ada yang bisa Adinda lakukan selain mengamati tubuh seksi dan tegap itu mendekat. Bahkan sekarang, saat Jesse sudah ada di hadapannya, Adinda masih membeku, tidak mampu melakukan apapun.

Senyum yang Jesse berikan padanya membuat jantung Adinda bergemuruh, dan kupu-kupu yang jumlahnya ribuan itu beterbangan di perutnya dalam waktu yang bersamaan. Seharusnya ada peraturan yang melarang Jesse untuk tersenyum seperti itu atau para wanita di dunia ini akan terkena serangan jantung.

Pria itu mengangkat kedua tangannya, bersiap untuk 'bicara' dengan Adinda.

'Apa kau berbohong padaku? Kau terlihat seperti penunggang kuda professional dan bukannya seorang amatir.'

Tawa gugup lolos dari bibir Adinda. "Mungkin ini karena keajaiban yang Honey berikan padaku. Dia sangat luar biasa."

Jesse mengangguk setuju. 'Aku sudah melihatnya sejak Honey lahir. Dia memang sangat istimewa.'

Sama seperti dirimu, lanjut Adinda dalam hati.

'Aku rasa, kita harus membiarkannya merumput lebih lama dan minum di danau sebelum melanjutkan latihanmu.'

"Kau benar. Aku juga sudah sangat kelaparan."

Tadi, Adinda hanya sarapan sedikit karena merasa terlalu gugup. Sekarang, setelah semua rasa gugup itu lenyap, ia malah merasa sangat lapar.

Jesse mendekat, dan mengulurkan tangan untuk membantu Adinda turun. Sama seperti tadi, saat tangan mereka bersentuhan, api yang sangat panas itu kembali membakarnya tanpa ampun, hingga membuatnya ingin melepaskan genggaman tangan Jesse.

Namun, tentu saja itu tidak berhasil. Jesse memegang jemarinya dengan erat dan tidak membiarkannya lepas, bahkan hingga kedua kaki Adinda berpijak dengan aman di tanah. Pria itu masih menggenggam tangannya, sekarang keduanya, dan mata mereka saling menatap.

Honey berjalan menjauh untuk mencari kesenangannya sendiri, tetapi Adinda dan Jesse tidak mau repot-repot menoleh. Pandangan mereka seakan terkunci satu sama lain, dan tidak bisa lagi menatap ke arah lain.

Satu tangan Jesse melepaskannya hanya untuk meraih pinggangnya dan menarik Adinda lebih dekat lagi hingga tubuh mereka saling menempel. Api itu semakin membesar dan mengancam akan membakar habis seluruh tubuh Adinda.

'Apa aku sudah bilang jika kau sangat seksi dalam pakaian berkuda seperti ini?'

Adinda menggeleng tanpa bisa mengalihkan pandangan atau membuka mulut.

'Ya, kau begitu seksi dan sangat cantik, membuatku ingin selamanya melihatmu seperti ini.'

Apa ini adalah balasan perasaan Jesse untuknya? Tidak ada kata C yang terlontar, tetapi rasanya hampir menyerupai. Atau mungkin tidak. Mungkin, sama seperti dirinya, Jesse hanya sangat bergairah?

"Kau juga," Adinda akhirnya bisa membuka mulutnya walaupun suaranya terdengar parau. "Kau begitu panas."

Mata Adinda berpindah dari wajah Jesse, mengamati bahunya yang lebar, otot yang menyembul di balik pakaian yang dikenakannya, pinggang rampingnya, juga bayangan bokong pria itu yang sangat seksi.

"M...mungkin, kita harus makan siang sekarang," bisik Adinda lagi dengan gugup.

Jika terus seperti ini, Adinda mungkin akan melupakan norma dan moral tempat dirinya dibesarkan dan menciumi Jesse hingga seluruh panas di tubuhnya ini menghilang.

'Kau lapar?'

Lapar akan dirimu!, jeritnya dalam hati, sementara kepalanya menggeleng dan mengangguk bergantian. Ia memang lapar, tetapi dengan Jesse di hadapannya, semua rasa lapar itu seakan berada di urutan ke sekian dari puncak daftar kebutuhannya.

Jesse tertawa tanpa suara saat melihat gerakan kepala Adinda, dan sebelum ia sempat protes atau mengatakan apapun, Jesse menutup jarak di antara mereka, dan menciumnya.

Adinda terkesiap dengan ciuman itu. Napasnya keluar dengan cepat, tetapi itu malah membuat Jesse semakin memperdalam ciumannya. Tangannya yang besar menopang bagian belakang kepala Adinda dengan sangat kukuh, sementara lidahnya mengeksplorasi mulut Adinda dengan ahli.

Setiap ciuman, jilatan, dan sentuhan bibir pria itu membuat Adinda menggeliat. Ia tidak mampu bergerak selain mencengkeram bagian kerah kemeja Jesse. Pria itu menggoda dan menyiksa Adinda dengan mulutnya.

Bibir Jesse berpindah ke rahangnya hingga membuat Adinda bisa bebas mendesah. Ia mendongakkan kepala saat lidah Jesse berpindah ke lehernya. Kepala Adinda terasa pening oleh tumpukan gairah yang sangat tiba-tiba itu. Jesse membuka bibirnya, dan giginya menggigit bagian leher Adinda yang berdenyut hingga membuatnya memekik kecil.

Kaki Adinda terasa goyah, dan ia merasakan dirinya meleleh seperti mentega yang sedang dicairkan. Jika saja tangan Jesse tidak berpindah untuk menopang tubuhnya, Adinda pastikan ia akan jatuh ke tanah.

Tangan Adinda bergerak turun untuk menyusuri tubuh Jesse. Membelai setiap otot yang panas dan kuat itu, dan berhenti di ban pinggang celana ketatnya. Jesse mendesaknya, dan Adinda bisa merasakan gairah pria itu yang membesar untuknya.

Adinda merasa panas dan ingin melucuti pakaiannya sendiri. Tangannya bergerak dengan berani di sepanjang pinggang ramping Jesse, dan sebelum ia sempat menyusupkan tangannya ke balik celana ketat itu, cengkeraman kuat Jesse menghentikan gerakannya seiring dengan berhentinya ciuman yang pria itu berikan.

Adinda mengeluarkan erangan protes sementara Jesse menempelkan kening mereka dan bersusah payah mengatur napasnya yang terengah-engah. Bersamaan dengan napas yang semakin teratur, Adinda merasakan gairah pria itu menyusut, dan ia seperti baru saja diguyur air dingin.

Ketika Adinda mundur untuk menjauhkan diri dari Jesse, pria itu tidak menahannya, dan berbalik agar tidak menatap Adinda. Lagi, penolakan itu membuat jantung Adinda seperti teriris. Apa Jesse menyesal karena telah menciumnya dan bergairah padanya?

"Jesse?"

Pria itu menoleh dan bicara dengan cepat tanpa suara, 'Maafkan aku. Itu tidak akan terjadi lagi. Aku benar-benar minta maaf.'

Dan sebelum Adinda sempat memberikan respon apapun, Jesse berbalik, lalu melangkah menjauh darinya tanpa menoleh lagi.

Sorry, I Love Your Daddy! (TAMAT)Where stories live. Discover now