15

32 7 0
                                    

Sandhi menyahut, "Kenapa nggak dari dalam kamar saja?"

"Aku nggak sanggup menahan hawa panas yang terpancar dari tubuh bocah itu. Entah hawa panas kekuatan gaibnnya atau hawa panas kemarahannya. Yang jelas, terlalu berbahaya kalau aku harus melawan hawa panas itu, walau belum tentu aku kalah. Yang jelas, aku bisa memeriksanya dari sini saja."

"Okey," Kanda mengangguk lega. "Lakukan sesuatu asal jangan sampai menyakitinya."

Mereka menyingkir, memberi ruang pandang bagi Dewi Ular agar bisa langsung menatap ke dalam kamar. Dari tempat duduknya, Dewi Ular menatap Uca dengan pandangan mata tajam tak berkedip. Semua yang ada di situ tak berani bergerak, tak berani bersuara, namun semuanya sama-sama merasakan merinding sekujur tubuh.

Suasana hening itu bukan saja menegangkan, tapi juga menakutkan jiwa masing-masing. Mereka seperti terbawa ke lorong kubur mendekati neraka. Таk heran jika Маk Sanah berkeringat dingin dan Rusmi menggigil tanpa bisa berhenti. Beberapa saat kemudian dari kedua mata Kumala keluar sinar hijau berbentuk ular bermahkota.

Sinar hijau itu tidak seberapa besar, tapi panjang dan gerakannya meliuk-liuk seperti naga terbang. Sinar tersebut melesat masuk ke dalam kamar. Langsung menghantam tubuh Uca yang miring menghadap ke arah pintu keluar.

Blaaaabb...!

Sekujur tubuh Uca menyala hijau terang. Tapi baru sekejap sudah berubah menjadi biru keungu-unguan. Cahaya aneh itu pecah menyebar arah, beberapa bias cahaya ada yang melesat kembali ke mata Dewi Ular.

Wuiiizzz...

"Aaaaoow...!" Kumala terpekik dengan tubuh tersentak ke belakang. Begitu kerasnya sentakan itu membuat Kumala terlonjak dan jatuh di tempat duduknya kembali.

"Kumalaaaa...!" seru Sandhi dengan tegang sekali. Ia buru-buru meraih pundak Kumala. Tapi tangannya dikibaskan.

Kumala rnenunduk dengan mendesis kesakitan. Kanda dan Bobby jadi salah tingkah sendiri. Panik. Keduanya memandangi Uca. Nyala sinar aneh tadi telah hilang. Uca masih tetap tertidur nyenyak, merasa tak terganggu oleh suara ара pun.

"Kumala...! Kumala, ара yang terjadi pada dirimu?!" Sandhi mengguncang-guncang tubuh majikannya yang sudah dianggap seperti saudaranya sendiri itu.

Kumala mengangkat wajah pelan-pelan, melepaskan tangannya yang dipakai menutupi wajah. Ketika tangan itu tersingkirkan dari wajah cantik, semua orang terkejut memandang dengan mata lebar.

"Hahh...?! Ара yang terjadi, Kumala!"

Wajah Kumala rusak sebagian, seperti terbakar. Kerusakan itu diderita di sekitar kedua kelopak matanya. Seperti lilin yang meleleh karena panas, bola mata yang jernih indah itu tertutup kulit kelopak mata yang merah bercampur darah beku. Napas Kumala terengah-engah, bibirnya gemetar, namun ia tidak merintih. Ia hanya menggeram bagaikan menahan sakit dan menahan amukan.

"Aku sudah tahu siapa dia. Tapi... bawa aku pulang sekarang juga. Aku tidak bisa melihat lagi, Sandhi."

"Kumala...?! Kau... kau tidak bisa melihat? Kau buta?!"

"Jangan banyak tanya, Sandhi!! Bawa aku pulang sekarang juga, sebelum seluruh wajahku menjadi rusak parah!"

"Ba... baik...!"

"Kumala, ара yang harus kulakukan dengan anak itu?" Kanda bersuara mendesah karena dicekam perasaan takut yang menggetarkan jiwanya.

"Jangan lakukan tindakan apa-apa dulu sebelum aku siap berhadapan dengannya!" bisik Kumala, seolah-olah berusaha agar kata-katanya tidak didengar oleh bocah yang masih tertidur itu.

Sebenarnya Kanda ingin menjauhi Uca. Peristiwa malam itu sempat memukul jiwanya, membuat ia was-was jika berada di dekat Uca. Tapi ia ingat pesan Kumala yang terakhir, sebelum gadis itu masuk ke mobilnya.

"Bersikaplah seperti biasa, dan jangan pancing kemarahannya!"

Pesan itulah yang membuat Kanda mengendalikan dirinya baik-baik dan berusaha untuk bersikap wajar di depan Uca. Ia tetap berlaku lembut dan penuh kesabaran. Kasih sayang diberikan dalam bentuk permainan akting belaka. Dalam hati Kanda sebenarnya selalu curiga dan cepat tegang jika Uca melakukan tindakan yang di luar dugaannya. Misalnya, melemparkan sendok karena ngambek pada Rusmi, atau menomplok pinggang Kanda dari belakang dalam kelakarnya.

"Oom Kanda mau pergi ke kantor, ya?"

"Nggak. Hari ini Oom Kanda sengaja libur untuk bermain dengan Uca."

"Asyiiik...! Kita bermain ke pantai, ya Oom?"

"Jauh amat. Kita bermain di rumah aja. Kan kemarin Uca habis beli boneka baru. Jadi sekarang Uca punya berapa boneka, coba?"

"Lima. Enam sama si Cucun ini," sambil Uca menunjukkan boneka pandanya yang diberi nama si Cucun.

Entah ара maksudnya memberi nama Cucun, hal itu tak pernah dipermasalahkan oleh Kanda. Hari itu, Kanda sengaja tidak ke mana-mana. Ia bermain dengan Uca di ruang tengah. Anehnya, bocah itu menampakkan sikap kekanak-kanakan yang wajar. Sangat wajar. Таk ada kesan aneh yang sebenarnya patut dicurigai. Bahkan kemanjaannya dan kenakalannya, adalah kemanjaan dan kenakalan seorang bocah yang wajar. Prilaku iblis tak terlihat sama sekali.

"Ара benar bocah ini titisan iblis? Alangkah menyedihkannya kalau sampai dia benar-benar titisan si Raja Iblis, Damasscus, seperti yang dikatakan Kumala kemarin?" Kanda berpikir dan berkecamuk sendiri dalam hatinya.

Saat itu, ia mengusap-usap punggung Uca karena malam telah tiba dan Uca sudah mulai mengantuk. Dengan penuh kasih sayang dan kesetiaannya yang bukan sekedar akting lagi, Kanda memperlakukan Uca bagaikаn meninabobokan аnаk sendiri. Hatinya memang membendung kesedihan manakala ia ingat
kata-kata Kumala kemarin.

Semakin malam semakin hening. Kesedihan di hati Kanda semakin terasa begitu menggores jiwa. Akhirnya sebelum pukul dua belas tengah malam, tanpa disadari Kanda telah tertidur dengan tangan memeluk Uca.

Entah berapa lama ia telah tertidur, yang jelas dipertengahan kenyenyakannya itu ia terbangun. Ada sesuatu yang menghangat di pipinya. Ketika ia terbangun dan memandangi sesuatu yang menyentuhnya, ia sangat terkejut.

Ternyata ia telah diciumi oleh seseorang, Bibir hangat sensual yang menciuminya itu tak lain adalah bibirnya Tika, si tomboy cantik.

"Hai!" sapa Tika dengan senyum mengagumkan. "Terganggu tidurmu, ya?"

"Tika...?!" Kanda mendesah. Ia bangkit, duduk berhadapan dengan Tika yang mengenakan mini set warna hitam, kontras dengan kulitnya yang putih mulus. Rambut wanita caniik itu disanggul asal-asalan. Ia tampak cantik sekali, dan langsung membakar gairah Kanda.

"Dari mana kau bisa masuk kemari?"

"Seizin pelayanmu. Маk Sanah."

"Oh, lalu... lalu di mana anakku? Di mana Uca?"

"Ada di kamar sebelah. Aku yang memindahkannya. Boleh kan?"

"Tapi dia adalah..."

"Nanti akan kupindahkan kemari lagi. Malam ini aku butuh kehangatanmu. Nggak baik akibatnya kalau sampai Uca melihat kita sedang bercumbu."

"Memang nggak baik sih kalau dilihat dia, tapi tapi aku nggak sangka kalau kau akan datang kemari. Kenapa nggak telepon aku dulu, Tika?" sambil Kanda membelai rambut wanita itu dengan penuh ungkapan kasih sayang.

"Aku sengaja ingin bikin kejutan buatmu. Biasanya dengan memberikan kejutan seperti ini, gairah seorang lelaki akan lebih berkobar- kobar lagi."

Kanda tertawa sumbang. la meneguk air putih yang selalu tersedia di meja dekat ranjangnya.

"Kanda, kau kecewa aku datang kemari?"

"Nggak. Cuma kaget aja."

"Kamu lagi nggak mood untuk bercinta, ya?"

"Setelah kau datang, mood-ku pun datang juga. Tapi... sebentar, aku mau tengok Uca dulu."

****

46. Misteri Bocah Jelmaan✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang