12

27 6 0
                                    

Menunggu di sebuah kamar VIP dari hotel berbintang sungguh pekerjaan yang tidak membosankan bagi Kanda. Lebih-Iebih ditemani oleh seorang wanita muda bertubuh sexy, cantik, dan punya pandangan mata yang memukau hati lawan jenisnya. Sungguh suasana yang amat menyenangkan bagi pemuda berkulit putih itu.

Tika membuka jaket hitamnya. Ia hanya mengenakan blus tanpa lengan yang ketat badan. Bentuk dadanya terlihat menonjol padat, dan Kanda dapat melihat sesuatu yang menonjol kecil di balik kain blus itu. Kanda уakin, sesuatu yang menonjol kecil itu adalah pucuk-pucuk bukit kemesraan Tika.

Dengan rambut diikat ke belakang asa asalan, keberadaan bentuk dada itu semakin terlihat jelas, juga lehernya yang jenjang dan berkulit putih mulus bagaikan bentangan cinta yang menantang untuk dikecup dengan lembut. Sekalipun kedua mata Kanda selalu memandang dengan nakal, tapi Tika cuek saja. Seolah-olah tidak merasa dipandang, seakan-akan tak pedulikan ара yang terkandung dalam debar-debar keindahan hati Kanda. Ia duduk di sofa dengan gaya seorang lelaki gagah. Sebatang rokok diambil dan disulutnya tanpa sungkan-sungkan lagi.

Kanda yang duduk di samping kanannya sengaja memperhatikan sejak tadi tanpa sepatah kata pun dan diiringi senyum tipis yang menawan hati lawan jenisnya.

"Aku boleh pesan minuman Pink Lady, nggak?"

"Boleh saja. Pokoknya ара yang menyenangkan hatimu, lakukan aja. Asal jangan sampai membuatmu sakit."

Sambil mendekati telepon kamar Tika berkata, "Ара saja boleh kulakukan? Wah, repot dong. Kalau yang menyenangkan hatiku adalah tidur di pangkuanmu, bagaimana? Harus kulakukan juga?"

"Aku nggak akan keberatan."

Tika tersenyum dengan sedikit mencibir. Ia segera bicara dengan petugas di restoran untuk memesan minuman Pink Lady. Sementara itu, Kanda membuka satu kaleng bir hitam yang tadi diambilnya dari kulkas kecil. Satu kaleng bir hitam lagi masih belum dibuka, tapi sudah berada di meja.

Waktu Tika kembali dari menelepon pesanannya, ia langsung membuka bir yang satunya lagi- itu. Sepatunya dilepas. Kakinya yang bersih, putih mulus, terlihat jelas karena kedua kaki itu ditumpangkan di atas sofa depannya. Dia benar-benar cuek, duduk sambil angkat kedua kaki tanpa sungkan-sungkan. Dan sikap seperti itu justru menyenangkan hati Kanda. Ia memang suka gadis yang tidak bermain dalam kemunafikan.Waktu pelayan datang membawakan pesanana, Tika tetap cuek, kaki tetap ditumpangkan di sofa depannya.

"Bill-nya biar temanku yang tanggung."

"Nggak usahlah," kata Kanda sambil menyerahkan uang kepada pelayan. Ia menanggung bill minuman itu.

"Jam berapa temanmu kembali ke hotel ini?"

"Nggak tahu. Ntar dia pasti telepon ke HPku kalau sudah kembali. Memangnya kenapa sih?"

"Nggak apa-apa. Cuma tanya saja ара nggak boleh?" Kanda duduk di tempat semula, sebelah kiri Tika.

Gadis itu mencari acara teve menggunakan remote control yang ada di tangannya. Ketika ditemukan acara musik, ia berhenti memainkan remote dan meletakkan benda itu di meja. Minuman Pink Lady diteguknya dengan segar. Lalu duduk kembali dengan sedikit merebah dan bersandar santai.

"Kamu suka suasana terang begini atau remang-remang?" tanya Tika seraya memandangi beberapa lampu yang menyala terang di plafon kamar.

"Terlalu terang bagiku. Kurang romantis," pancing Kanda.

"Uuhh, maunya romantis terus!" Tika tertawa sambil mencolek pipi Kanda. Tapi pada saat itu, tiga lampu menjadi padam. Tinggal satu lampu yang menyala di sudut kamar.

Suasana menjadi remang-remang. Kanda heran, mengapa tiga lampu itu bisa padam? Tapi rasa herannya itu segera terlupakan karena Tika mengajukan pertanyaan yang butuh jawaban secepatnya.

"Begini masih kurang romantis nggak?"

"Cukup. Menurutmu sendiri bagaimana?"

"Aku nggak tahu yang romantis itu yang bagaimana."

Jawab Tika dalam nada berkelakar. "Romantis itu mesra."

"Setahuku mesra itu nggak pakai baju." Kanda tertawa lepas.

Tika sendiri terkikik geli. Bahkan ia menambahkan kelakarnya, "Jadi seekor sapi, kebo, kuda, itu mesra semua, karena nggak pakai baju."

"Apakah kita harus seperti sapi?"

"Melepas baju? Oh, itu terserah kamu. Yang pasti, nggak usah melepas baju pun kita berdua sudah mirip sapi dan kebo."

Renyah ceria tawa mereka, penuh ungkapan rasa suka cita yang cukup dalam. Kanda ikut-ikutan melepas sepatunya dan menumpangkan kedua kaki di atas meja. Sekaleng bir hitam tergenggam di tangan kirinya.

"Tik, seingatku kemarin malam kau bilang bahwa gairah hidupmu nyaris pudar. Dan kau berjanji akan menjelaskannya padaku dalam situasi dan tempat yang layak. Mungkin di sini adalah tempat yang layak untuk menjelaskan alasanmu itu. Apakah kau masih keberatan menjelaskannya padaku?"

Tika menghembuskan napas panjang. "Kau benar-benar ingin tahu?"

"Kurasa begitu."

"Tapi janji, kalau habis kujelaskan kamu nggak boleh pergi meninggalkan diriku?"

"Aku tetap akan menjadi sahabatmu yang paling dekat dengan hatimu. Swear!"

"Kamu janji juga kalau habis itu mau belikan aku makanan kesukaanku?"

"Makanan ара itu?"

"Martabak manis! Coklatnya agak banyakan. Okey?"

Kanda tertawa pelan. "Okey, itu soal mudah. Yang kupikirkan adalah kesungguhanmu menuturkan alasan tersebut. Aku nggak mau kalau kau mengarang-ngarang cerita untuk menutupi kenyataan yang ada. Aku mau kau mengatakannya dengan jujur. Ара adanya."

"Aku nggak mungkin dapat membohongimu, Kanda."

"Aku juga nggak akan berbuat licik padamu. Kita sama-sama terbuka saja, supaya persahabatan kita menjadi kekal. Kau setuju?"

"Ya, aku setuju." Tika mengubah posisi duduknya, lebih tegak lagi.

Abu rokok dijentikkan ke asbak. Ia meneguk minumannya satu kali. Sofa panjang itu memberi peluang bagi kakinya untuk ditekuk dan diletakkan di tempat duduknya. Posisinya menghadap Kanda dengan tangan kiri disandarkan di sandaran sofa.

"Kau tahu kenapa gairah hidupku nyaris pudar? Itu lantaran aku kehilangan harapan setelah sekian lama mencari tak menemukan sekeras hati yang kuinginkan."

"Kamu patah hati karena ditinggal pacarmu, begitu?"

"Beberapa waktu yang lalu, aku dikhianati oleh suamiku..."

"Oh, kau pernah bersuami!" potong Kanda agak terkejut.

Tika mengangguk. "Pernah. Tapi belum sampai punya keturunan, suamiku sudah berkhianat. Lalu kutinggal pergi dan aku tak mau bertemu dengannya lagi. Aku berkelana mencari pengganti cinta yang kandas. Ternyata sampai sekian lama belum ada hati yang dapat menjadi pengobat luka jiwaku. Aku nyaris putus asa. Tapi sebelum aku benar-benar putus asa, aku bertemu denganmu. Kau memancarkan daya pikat yang sesuai dengan harapan hatiku. Terbukti kemarin malam kau dapat membuatku bersemangat dan bahagia sekali."

"Apakah kau sudah lama mengenalku?"

"Ya. Sudah beberapa waktu kupantau pribadimu. Ternyata aku suka dengan pribadimu yang sebenarnya menyimpan sejuta kelembutan serta kasih sayang. Kau pantas menjadi seorang suami, sekaligus seorang ayah. Kau tipe lelaki yang punya perhatian kepada keluarga. Dan yang utama kutemukan cahaya terang di malamu. Cahaya itu menunjukkan bahwa kau bukan tipe lelaki yang suka berkhianat kepada istri dan keluarga. Mudah-mudahan cahaya terang itu tidak padam di kemudian hari, sehingga aku tidak kecewa padamu."


****

46. Misteri Bocah Jelmaan✓Where stories live. Discover now