10

27 5 0
                                    

Kanda makin mendesah jengkel. Bobby bersifat mendesaknya agar datang ke cafe. Pasti urusan itu memakan waktu lama. Таk mungkin hanya satu jam. Kalau harus membawa Uca, terlalu malam nantinya. Lagi pula gadis kecil itu sejak tadi sudah menguap berkali-kali. Sambil duduk di sofa panjang depan teve, Uca yang sudah berpakaian rapi itu menunggu keputusan Kanda.

"Tuan, Non Uca kayaknya udah ngantuk tuh," kata Rusmi.

Kanda mendesah lagi. Serba salah jadinya."Ya, udah... suruh tidur aja deh. Besok aja perginya," kata Kanda.

Meski Rusmi sudah menyuruh Uca tidur, tapi gadis itu belum mau beranjak dari sofa. Terpaksa Kanda yang membujuknya, barulah Uca mau pindah ke ranjang.

"Oom Kanda mau ke rumah Tante Kumala sendiri?"

"Nggak. Kita tunda besok aja rencana pergi ke rumah Tante Kumala. Oom harus ke warung tenda, ada yang harus diselesaikan malam ini,Uca. Makanya, Uca nggak usah ikut, ya? Udah ngantuk dan mata Uca udah merah tuh."

"Uca di rumah aja deh, Oom. Tapi jangan lupa pulangnya bawa martabak manis yang banyak coklatnya, ya?"

"lya. Oom akan bawakan martabak, asal Uca nggak ke mana-mana."

"He'eh!" Uca mengangguk, lalu menguap lagi.

"Маk," kata Kanda kepada pelayannya. "Tungguin anak ini sampai aku kembali. Jangan ada yang tidur. Kalau perlu, nonton teve pakai teve dalam kamarku aja sana. Ngerti?"

"Mengerti, Tuan," jawab Маk Sanah dengan patuh.

Kanda bermaksud pergi ke cafenya menggunakan taksi. Tapi ketika dia coba sekali lagi untuk menstarter mobilnya, ternyata mesin mobil dapat hidup dengan mudah, seperti tidak mengalami kerusakan sedikit pun, Kanda jadi menggerutu sendiri.

"Brengsek! Tadi nggak mau hidup, sekarang giliran mau ke cafe bisa hidup dengan mudah. Dasar mesin brengsek!"

Feroza Hijau itu pun meluncur ke arah monas. Dalam perjalanan itu Kanda sempat menghubungi Kumala melalui HP-nya.

"Sorry, aku nggak jadi datang malam ini, besok malam aja deh."

"Kenapa? Diganggu olehnya, ya?"

"Ada yang harus kuselesaikan di cafe sekarang juga."

"Oh... kirain kamu diganggu oleh si kecil Uca itu."

Terperanjat Kanda mendengar kata-kata itu. Sadar akan kemungkinan tersebut. Tapi ia tak berani memastikan diri bahwa ngadatnya mobil tadi adalah gangguan halus dari Uca.

"Kalau ingat kata-kata Kumala, bahwa Uca bukan bocah sembarangan, dan punya kekuatan, gaib hitam pada dirinya, memang bisa saja ia membuat mobil ini nggak bisa hidup mesinnya lantaran gangguan kecil darinya. Uca mengganggu dengan саrа begitu, karena ia kurang setuju diajak bertemu Kumala. Hmm, tapi ара benar begitu kenyataan yang ada?"

Bergidik merinding tengkuk Kanda membayangkan hal itu. Menurutnya, jika Uca benar-benar bisa mengganggu dengan cara seperti tadi, maka besar kemungkinan bocah itu akan melakukan gangguan gaib yang lebih parah lagi dari yang tadi. Mungkin saja bisa membuat mobil Feroza Hijau itu meledak sewaktu-waktu.

"Ah, itu hanya khayalan buruk aja!" Kanda menetralisir diri sendiri. Pikirannya segera difokuskan pada cafe begitu ia memasuki area, Taman Monas. Ia sempat terperanjat melihat banyak mobil yang diparkir tak jauh dari cafe tendanya. Dari kejauhan pun dapat dilihat banyak pengunjung yang memadati cafenya, sementara di cafe-cafe tenda lainnya tampak sepi. Hanya dua-tiga pengunjung yang ada di sana.

"Menyolok sekali. Bisa menimbulkan kecemburuan kalau begini caranya. Orang sangka aku dan Bobby pakai dukun dari Gunung Kawi. Pasti issue nggak sedap mulai menyebar di kalangan pemilik cafe." Celoteh hati Kanda berhenti begitu mobilnya diparkir di tempat biasa.

Saat ia turun dari mobil, seseorang segera memanggilnya dari balik pohon. "Kanda...!" Orang itu bergegas menghampirinya.

"Hei, Tika...?! Kau sudah ada di sini sejak tadi, ya?"

"Nggak. Hampir barengan dengan mobilmu masuk sini tadi."

"Sama siapa kamu?"

"Sama temanku. Tapi dia nggak mampir ke sini, dia mau langsung ke rumah pamannya. Mungkin nanti malam-malam baru bisa kemari menjemputku. Kalau nggak dijemput, ya pulang sendiri."

Tika diperkenalkan kepada Bobby. Dalam pembicaraan masalah tempat baru, Tika tidak ikut ambil bagian. Ia duduk menyudut sendirian, di belakang counter makanan. Sesekali membantu pelayan menunjuktan tamu yang butuh pelayanan. Setelah urusan cafe baru bisa diselesaikan, Kanda kembali menghampiri Tika yang dengan sabar dan penuh pengertian menunggu selesainya kesibukan Kanda.

"Kok nggak pesan makanan atau minuman? Ayo dong! Mau makan ара kamu, Tik?"

"Nggak usah. Aku cuma mau sedikit ngerepotin kamu kalau kamu sudah nggak sibuk."

"Ngerepotin apaan?"

"Mau antar aku nggak?"

"Ke mana?"

"Ke Roxan Hotel."

"Maksudmu ke Coin Diskotek lagi?"

"Itu sih soal nanti. Kalau mood ke sana, ya ke sanalah kita. Kalau lagi nggak mood ya nggak usah ke sana. Yang penting, ada teman lamaku baru datang dari Canberra. Dia bermalam di Roxan Hotel. Tadi kutelepon, dia bilang nggak bisa keluar karena sedang lakukan urusan bisnis dengan kliennya. Aku dimintanya datang ke sana malam ini. Kamu mau nggak temani aku ke sana?"

"Boleh aja," sambil Kanda manggut-manggut dengan senyum ceria mekar di bibir. Hati pun berdesir-desir, kembali ditaburi bunga indah seperti kemarin malam.

"Tapi selesaikan dulu kesibukanmu di sini, Kanda. Kalau udah nggak sibuk, baru kita ke sana."

"Okey, aku bicara dulu sama Bobby deh."

Ketika Bobby mendengar penjelasan dari Kanda, ia mencibir dalam canda. "Kamu pasti mau check-in sama cewek itu!"

"Sumpah! Dia minta ditemani karena mau menemui temannya yang baru datang dari Canberra!" Kanda agak ngotot.

Akhirnya Bobby merasa tidak keberatan ditinggal Kanda. Tika pun meluncur ke Roxan Hotel dengan didampingi Kanda. Tika mengeluarkan handphone dari jaket hitam yang malam itu dikenakannya dan menambah penampilannya
semakin tomboy lagi. Ia bicara dengan temannya yang dari Canberra itu memakai bahasa Inggris dengan lancar dan fasih sekali. Kanda menyimpulkan bahwa Tika pasti pernah tinggal di luar negeri cukup lama. Percakapan dalam bahasa Inggris sama sekali mirip percakapan orang bule asli.

"Yaah, dia sedang keluar dengan kliennya tuh. Kita disuruh menunggunya. Gimana nih?" kata Tika selesai bicara melalui HP.

"Yaah, terserah kamu. Kalau harus menunggu, terlalu lama nggak waktu menunggunya?"

"Dia cuma bilang beberapa saat, gitu. Tapi dia suruh kita menunggu di salah satu kamar. Oia sudah buka kamar khusus buat kita menunggu."

"Kamar?" gumam hati Kanda semakin berdebar-debar. Terbayang olehnya banyak hal yang dapat dilakukan dua pasang manusia berlain jenis dalam satu kamar hotel. Mungkinkah dirinya dapat melakukan sesuatu yang lebih indah dari pertemuan malam kemarin?

Bingung juga Kanda memutuskan sikapnya. Haruskah ia menjaga sikap dengan berlagak sopan, supaya tidak dikecam sebagai cowok hidung belang? Atau... harus terus terang terhadap ара pun yang dikehendaki hati kecilnya?

"Bagaimana kalau di dalam kamar itu nanti aku bergairah padanya? Ntar dia sangka aku cowok kurang ajar, nggak bisa menghargai nilai sebuah persahabatan sejati?!" pikir Kanda dengan gelisah.

****

46. Misteri Bocah Jelmaan✓Where stories live. Discover now