3

37 12 0
                                    

"Lalu uang siapa yang kau masukkan ke dompetku ini?"

"Lalu uang siapa yang kau masukkan ke dompetku ini?"

"Uangku sendiri, Bego!" geram Kumala agak jengkel, tapi masih menahan rasa geli. "Coba kamu check aja rekeningku di ATM, pasti sudah berkurang sejumlah harga gaun dan parfum."

"Kenapa kamu lakukan begitu? Kau pikir aku nggak ikhlas membelikan gaun dan parfum itu?"

"Ikhlas. Aku percaya, kamu pasti ikhlas. Tapi... aku nggak tega kalau harus menguras isi dompetmu. Aku bukan cewek matre!"

"Kenapa kamu tadi minta aku yang beliin?"

"Sekedar ingin tahu saja, seberapa besar kesanggupanmu yang katanya ingin menyenangkan hatiku."

"Ooo, begitu? Lalu, kalau sudah begini. kesimpulan ара yang kau peroleh dari diriku?"

"Nggak tahu. Aku belum ambil kesimpulan apa-apa, soalnya aku lagi lapar!" jawab Kumala dengan konyol, lalu menikmati hidangannya.

Niko ingin protes atas sikap Kumala yang tidak mau berterus terang dengan kesimpulan hatinya, tapi niatnya tertunda akibat kemunculan seorang pemuda yang dikenalnya. Pemuda itu muncul bersama seorang gadis cilik yang cantik dan memeluk boneka Panda. Kaki Niko buru-buru menyentuh kaki Kumala, memberi isyarat agar Kumala memperhatikannya.

"Lihat tuh, siapa yang baru masuk kemari."

Tepat pandangan mata Kumala melirik ke arah pemuda itu, si pemuda pun sedang menatap ke arahnya. Senyum lebar penuh keramahan segera mekar di kedua belah pihak.

"Eeeh... kamu, Da?! Sama siapa?"

"Berdua saja, sama si Uca nih," ujar pemuda itu yang tak lain adalah Kanda.

"Aduh, cantiknya. Anak siapa ini, Da?" tanya Kumala sambil mencubit dagu Uca.

"Anak gue dong."

"Uuhh, ngaku-ngaku anak orang!" cibir Niko, karena ia tahu bahwa Kanda belum pernah menikah.

"Namanya siapa, Sayang?" Kumala menghentikan makannya, wajahnya tampak gembira sekali menyambut kehadiran Uca dan Kanda.

"Uca, ditanya Tante Kumala tuh, namanya siapa?"

"Uca," jawab gadis kecil itu menunduk malu.

"Uca udah sekolah ара belum?"

"Belum," jawabnya lirih sekali.

"Ini oom-nya Uca apa papanya Uca?" tanya Niko.

"Oom Uca." Gadis itu pun mengangkat wajah dan menatap Kumala. Ia berkata lagi. "Papa Uca nggak ada."

"Lho, kok nggak ada? Ke mana papanya?"

Uca menggeleng. Kanda menjelaskan secara singkat tentang anak temuan itu. Tapi sebelum Kumala dan Niko membahas tentang orangtua Uca yang sampai saat ini belum ada kabar mencarinya, Uca sudah ribut minta dibelikan humberger, seperti yang dimakan Niko.

"Sini, sini... beli sama Oom Niko, sini!" Niko segera membawa Uca ke counter.

Kanda duduk di bangku kosong depan Kumala. Ia sempat berseru kepada Niko, minta dibawakan ayam goreng dan kentang. Kumala mengikuti dengan senyum ceria. Tapi setelah Kanda mengeluh kelelahannya akibat mengikuti Uca berjalan-jalan mengelilingi Mall, tiba-tiba Kumala berkata dengan nada datar dan pelan, pandangan matanya masih memperhatikan Uca dan Niko.

"Hati-hati dengan anak itu."

"Maksudmu?!"

Kumala menatap Kanda, melanjutkan makannya pelan-pelan. "Ada getaran aneh pada diri anak itu. Sudah berlama lama ikut kamu?"

"Hampir sebulan ini. Maksudmu, getaran aneh yang bagaimana?"

"Sulit kujelaskan. Tapi aku merasakan getaran aneh itu saat mencubit dagunya."

"Masa sih?" gumam Kanda ragu-ragu. seperti kurang percaya dengan kata-kata Dewi Ular.

"Aku tahu kau sangat sayang padanya, bukan?"

"Ya, memang begitu. Aku sangat sayang dan kasihan sekali padanya. Masa sampai sekarang orangtuanya tidak berusaha mencari anak itu? Padahal dia sangat membutuhkan perhatian dan kasih sayang dari orangtua."

"Sebenarnya dari soal itu saja kamu sudah bisa ambil kesimpulan, bahwa ada keanehan dalam diri anak itu. Kalau dia memang bukan gadis kecil yang punya keanehan, pasti sudah dicari oleh orangtuanya."

"Ah, kamu jangan mendramatisir nasibnya, Kumala."

"Sorry. Anggap saja itu hanya pendapatku secara pribadi. Jangan dimasukkan hati. Siapa tahu pendapatku itu meleset," kata Dewi Ular buru-buru menetralisir ucapannya sendiri. Sebab pada saat itu ia mendengar suara menggerutu dari dalam hati Kanda. Suara gerutu tersebut segera dipahami sebagai rasa kurang suka Kanda terhadap pandangan buruk seseorang tentang Uca.

Sebagai seorang sahabat, Kumala berusaha untuk tidak mengecewakan hati Kanda. Ia tidak ingin suasana persahabatan menjadi rusak hanya karena perbedaan pendapat yang memang tidak mudah dipahami oleh orang awam seperti Kanda itu.

"Yang jelas, beberapa waktu lagi kamu akan melihat perkembangan aneh gadis itu. Mungkin lima hari lagi, atau paling lama sepuluh hari lagi, Uca akan menampakkan keganjilannya."

"Kamu jangan nakut-nakuti aku, Kumala."

Kumala memaksakan tertawa walau terasa hambar. Tapi ia segera ingat percakapannya dengan si kecil Uca beberapa hari yang lalu. Percakapan itu terjadi pada saat Uca mau tidur. Kanda menemani sambil mengusap-usap punggung gadis kecil yang cukup manja terhadap dirinya itu.

"Uca betah nggak tinggal bersama Oom di sini?"

"Betah. Uca senang tinggal di sini bersama Oom Kanda."

"Nggak kepingin pulang?"

"Nggek, ah. Uca mau di sini aja seterusnya."

"Uca nggak kangen sama papa-mama?"

"Nggak. Papa-mama nggak kayak Oom Kanda sih."

"Maksudnya nggak kayak Oom Kanda itu bagaimana sih. Ca?"

"Nggak sayang sama Uca. Suka marah- marah. Kalau Uca mau tidur, disuruh tidur sendiri. Nggak diusap-usap begini, nih..."

"Mungkin karena papa dan mama Uca caреk bekerja seharian penuh. Tapi sebenarnya papa dan mama Uca pasti sangat sayang sama Uca."

"Bohong. Papa dan mama Uca nggak sayang sama Uca. Makanya, Uca nggak kepingin dijemput papa dan mama."

"Kalau ternyata papa dan mama besok-besok datang dan ingin membawa pulang Uca, bagaimana?" pancing Kanda ingin tahu perasaan lugu si gadis kecil itu.

"Itu nggak mungkin. Papa dan mama nggak mungkin jemput Uca."

"Lho, kok Uca bisa tahu begitu, dari mana?"

"Nggak dari mana-mana," jawabnya polos. "Pokoknya Uca nggak mau dijemput dan dibawa pergi sama siapa saja. Uca mau tinggal sama Oom Kanda saja sampai Uca besar nanti."

Tersentuh perasaan Kanda, seolah-olah ia sedang menerima pengaduan dan curahan hati dari anaknya sendiri. Usapan tangannya masih dilakukan dengan penuh kelembutan. Uca masih memunggungi oom angkatnya sambil
memeluk boneka Panda.

"Sebenarnya Uca ingat nggak sih nama papa atau mama?"

"Nggak," jawabnya pendek, sepertinya kesal diajak bicara terus soal papa dan mamanya. Kanda semakin prihatin melihat seorang bocah yang sudah memiliki rasa benci terhadap orangtuanya.

"Sudah berapa kali Uca diajak papa-mama pergi ke cafe Oom?"

"Sering. Tapi lupa, berapa kali. Pokoknya Uca sering lihat Oom Kanda bicara-bicara sama tamu-tamu di tenda itu."

"Uca sama siapa kalau sedang lihat Oom Kanda menjamu tamu-tamu di tenda?"

****

46. Misteri Bocah Jelmaan✓Where stories live. Discover now