Prolog

65 17 14
                                    

Petir menggelegar, kilatnya tampak menyeramkan di tengah kegelapan malam yang menelan kota kecil ini.  Langit tampaknya mengamuk, memuntahkan air hujan dan berteriak-teriak seolah ingin perhatian. Angin juga tak kalah heboh, bertiup amat kencang hingga pepohonan bergerak-gerak ke sisi kanan.

Di salah satu sudut kota yang jauh dari pemukiman, di bawah pohon asem tinggi besar, jeritan kesakitan yang bersaing dengan guntur terdengar menyeramkan. Pukulan demi pukulan batu dihantamkan seseorang yang seluruh tubuhnya dibungkus jubah segelap langit malam pada sosok perempuan yang dia tindih di bawah tubuhnya. Topeng hantu dengan mulut menganga warna putih dia kenakan, menyembunyikan wajah penuh amarahnya dengan sangat baik.

"KENAPA?!" Tanpa menghentikan pukulan, orang bertopeng itu berteriak kencang, mengatakan kata serupa dengan beberapa saat lalu. "KENAPA?!" Lagi. Dia tetap meneruskan tanya itu secara berulang.

"KENAPA LO BUNUH DIA?!"

Batu dihantamkan lebih keras, pukulan yang sukses meniadakan teriakan dari gadis yang disiksanya. Tangan berlumur lumpur dan darah gadis itu bergerak-gerak kecil, suara lirihnya yang menggumamkan permintaan tolong teredam oleh suara alam dan pukulan.

Tangan orang bertopeng berhenti setelah batu dia hantamkan pada akar pohon asem. Mencengkeram pipi perempuan di bawahnya kencang, dia mendekatkan wajah bertopengnya pada wajah perempuan itu sebelum berteriak, "JAWAB GUE! KENAPA LO BUNUH DIA, HAH?!" Suaranya tak terdengar normal. Meski dengan setengah kesadaran, si gadis tahu bahwa suara itu dirubah dengan alat pengubah suara. Khas sekali kebiasaan seorang peretas yang meneror lembaga-lembaga tertentu di dalam film.

"To-tolong..." lirih perempuan itu. Pipinya yang dicengkeram membuat suaranya nyaris tak keluar. "Se-selamatin gue..."

Menghempaskan wajah si perempuan, orang bertopeng kembali mengambil batu seukuran dua kepalan tangan orang dewasa, memukul wajah berlumur darah korbannya tanpa belas kasihan. "Ini karena lo bunuh dia. Dia harusnya nggak mati, Anjing!"

Setelah puas, batu itu dia lemparkan ke sembarang, bangkit berdiri, lalu pergi begitu saja. Meninggalkan si perempuan yang nyawanya sudah berada di tenggorokan.

Dari celah dahan dan dedaunan pohon asem, hujan mengguyur tubuh tak berdaya perempuan dengan cardigan kuning jagung itu. Rasa sakit yang terasa tak mampu terdefinisikan, dia benar-benar tahu kalau kematian sudah ada di depan mata.

Dalam gelap, seorang diri, di tengah hawa dingin yang menusuk sekaligus mencekam, air matanya tak berhenti keluar. "Bu..." gumamnya bergetar. "I-Ibu...." Sakit sekali, tubuh dan hatinya benar-benar remuk tak tertahankan. Bisakah, bisakah dia segera mati saja? Ketakutan dan rasa sakit ini terlalu sulit kalau harus dia tahan barang sedetik lagi.

•••

24.07.2023

I Need Your LifeOù les histoires vivent. Découvrez maintenant