24. Marah

119 15 0
                                    

Ayolah, Gitaya tolong sadar. Kamu hanyalah pemeran pembantu dalam kisah cinta menyenangkan antara Kamelia Melody dan Jenardian Wahyu. Mau dilihat dari ujung Monas hingga menara Eiffel sekali pun, kamu tidak ada apa-apanya dengan mereka.

Kalimat itu terus berdengung di telinga Gitaya sepanjang sisa konser berlangsung. Memantul-mantul di kepala sendiri karena itulah suara hati seorang Gita. Pada saat puncak acara pun, dia lebih banyak diam dan tak sebahagia sebelum Jeje naik ke atas panggung dan berduet bersama Melody.

Gitaya Handayani sangat iri. Mengapa dia tak bisa berada di posisi Melody? Mengapa dia tak seterkenal gadis itu? Mengapa dia tak seberbakat ketua cheers tersebut? Kenapa Gitaya adalah Gitaya?

Ribuan pertanyaan bercokol di kepala. Memenuhi liang-liang telinganya menjadi bisikan bak mantra halus yang berakhir merendahkan diri sendiri. Kamelia Melody memang sesempurna itu, wajar Jenardian suka, justru aneh jika laki-laki tersebut malah menyukai Gitaya yang kosong bak cangkang ditinggal siput.

Sejak Jeje mulai berduet dengan Melody, diam-diam Ayudya mengelus punggungnya, meminta dia agar bersabar menghadapi pemandangan yang menguras hati tersebut. Tak usah dielus sekali pun, Gitaya sudah jago mengendalikan perasaan cemburu tersebut. Dia sadar diri, perbandingan antara Melody dan dia seperti langit ke tujuh dan bak sampah penuh belatung

"Mereka tuh emang cocok, ya," kata Yola sambil tersenyum bahagia selayaknya ibu melihat sang putra tengah jatuh cinta. Mata gadis itu juga ikut berbinar seakan dialah yang berada di posisi Melody.

"Hehe iya." Jawaban itu diberikan oleh Ayudya dengan tawa terpaksa. Gitaya tahu, Ayu hanya tak ingin menyakiti hatinya sekaligus tak membiarkan orang lain tahu tentang perasaan Gita pada Jeje.

"Yol, gue sama Gita mau beli minum dulu. Kita tinggal pergi bentar, ya." Tiba-tiba saja Ayu berpamitan pada Yolanda. Sepertinya ada sesuatu yang hendak gadis itu bicarakan dengannya.

"Oh oke, tinggal aja gak apa-apa. Lo buruan balik, bentar lagi konser puncak."

"Sip."

Cepat-cepat sosok bernama Shintya Ayudya itu menggeret dirinya menjauh dari area konser. Entah menuju kemana, yang pasti jauh dari riuh gemuruh publik. Ia hendak menciptakan suasana nyaman dan sepi untuk mereka.

"Sumpah lo gak apa-apa?" tanya Ayu dengan heboh, bahkan ia memeriksa seluruh anggota tubuh Gitaya seakan ada yang lecet.

"Minimal lo tanya ke diri sendiri dulu," sahut Gita menyinggung kedekatan antara Genta dan Thera pada hari ini.

"Dia profesional, tenang aja."

"Lo bohong banget sih, Yu. Meskipun gak ada hubungan apapun, ya wajar kali kalau kita sedih lihat cowok yang kita suka deket sama cewek lain." Kalimat sok bijak Gita layangkan. Sok menasehati Ayudya padahal dia sendiri pun juga berusaha menampik fakta jika sebenarnya dia pun patah hati.

"Third wheel kayak kita nih bisa apa sih emangnya? Kalau gak patah hati ya makan hati." Dua gadis itu menertawakan nasib miris mereka sebagai pemeran figuran dalam kisah cinta orang lain.

"Kapan ya kita bisa ngerasain jadi Thera atau Melody meskipun cuma sehari aja?"

...

"Cie ... Melody ...." Entah sudah ke berapa kali Thera menggodanya hari ini. Ingin sekali dia memukul kepala gadis itu, lalu bergantian menjambak rambutnya agar dia segera sadar jika dia sangat menyebalkan.

"Thera, please, lo bisa diem gak? Gue lagi fokus baca." Melody menunjukkan komiknya tepat ke muka si Panthera Hanaraya.

"Cie, Melody." Bukannya diam, Thera malah makin menjadi-jadi.

Hundred MilesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang