1. Lapangan

444 23 0
                                    

Jenardian menerima tantangan Juanda—adik kelas yang tak memiliki akhlak padanya itu. Perlukah ditekankah bahwa ini loh Jenardian, ini loh Jeje, si ketua organisasi Batavia angkatan ke 23. Namun, bukannya takut, si Juanda malah terang-terangan menantangnya untuk mencari pacar. Jika berhasil, maka akan diberi semangkuk mie ayam dan bakso setiap hari dalam dua minggu. Iming-iming yang kurang ajar. Apakah menurutnya harga diri Jeje sebatas bakso dan mie ayam saja? Iya, benar.

Tantangan yang ia berikan sebetulnya sangat mudah, meninggat posisi dan ketenaran Jeje di sekolah setara lagu Hati-Hati di Jalan milik Tulus yang setiap istirahat selalu mengalun pada speaker. Bukannya sombong, Jeje tahu bila ada banyak gadis di sekolah yang diam-diam menyukainya, iya diam-diam sebab sejauh ini tak ada yang terang-terangan yang mengatakan rasa suka padanya. Entahlah, mungkin terlalu segan karena jabatan yang ia pegang. Mengingat menjadi ketua Batavia benar-benar memberi Jeje popularitas baik di dalam maupun di luar sekolah.


"Lo kenapa suka banget cari muka, sih?" tanya Jeje pada teman sekelasnya, Bima.

Bima mengajaknya ke lapangan untuk menebar pesona pada adik kelas yang sedang melakukan kegiatan di sana. Jeje ikut saja, sebab ia bosan. Dia sendiri enggan melakukan tebar pesona, takut bila ada yang kepincut lalu minta dipacari, alhasil ia pun memenangkan tantangan dari Juanda. Rasanya tidak etis memacari seorang gadis hanya karena semangkok bakso dan mie ayam.

"Mata lo cari muka! Ini namanya menikmati masa muda." Bima mengelak tentu saja.

Lapangan sekarang terbagi menjadi dua, sisi kanan diisi oleh anak-anak cheerleader yang sedang berlatih, sedangkan di kiri ada ekstrakurikuler dance yang sedang menarikan lagu salah satu girl group Korea terkenal. Terlihat anak cheers mendengus karena pengeras suara yang digunakan ekskul dance mengganggu latihan mereka. Bunyi kencang yang dihasilkan membuat volume suara pemandu sorak jadi teredam akibat lagu hit beberapa tahun lalu.

"Helena, kecilin dikit dong musiknya!" Suara cempreng Melody si ketua cheerleader mengisi telinga kedua laki-laki yang sedang menyusuri lorong tersebut.

"Ini udah kecil, Mel. Mau sekecil apa lagi?" Gadis yang dipanggil dengan nama Helena itu membalas tak terima.

"Ini tuh kenceng banget. Coba lo ke parkiran basement, pasti suara lagunya masih kedengeran."

Bima menyenggol pundak Jeje dengan penuh semangat melihat perdebatan tersebut. "Je, Je, ada drama tuh, yuk nonton!" Tanpa menunggu jawaban si ketua, laki-laki bertubuh tinggi itu menyeret Jeje seperti sedang menyeret kambing yang hendak disembelih.

Sejujurnya Jeje tak mau ikut campur, karena dia tahu perdebatan itu akan berakhir pada pertengkaran, yang mana membuat ia harus kemisahkan kedua ekstrakurikuler yang rata-rata diisi oleh perempuan tersebut. Bayangkan saja rasanya memisahkan para gadis yang kekuatan utamanya adalah tarik menarik rambut, jangan harap rambut indah Jeje bisa selamat setelah ini.

Usai menggeret Jeje secara tidak manusiawi, Bima mengajak laki-laki itu ke taman bunga yang letaknya berada tepat di depan mereka berlatih. Kedatangan kedua orang itu disadari oleh para ketua yang saat ini sedang berdebat, tetapi mereka tak peduli sebab menjadi pemenang dalam perdebatan ini adalah tujuan utama.

"Suara speaker gue emang kaya gini."

Jeje yang awalnya tak minat dengan perdebatan itu malah dibuat penasaran dengan hasilnya. Pasalnya, dua gadis ini memiliki argumen yang sama kuat dan benar, Melody yang terganggu latihannya dan Helena yang tidak bisa berbuat apa-apa karena memang seperti itulah pengaturan speakernya.

Sebetulnya si ketua Batavia itu juga heran mengapa pengeras suara milik ekskul dance bisa sekeras itu. Pernahkah pergi ke acara dangdut pantura Sagita atau New Pallapa? Speaker itu memiliki kualitas suara yang sama, padahal dari ukuran saja jauh berbeda. Tak tau lah, Jeje tak mau ikut campur.

Hundred MilesWhere stories live. Discover now