Ruqyah yang ke 2

929 69 0
                                    

Amira merindukan rumahnya setelah sehari semalam menginap di Puskesmas. Akhirnya siang ini ia bisa menghirup udara juga.

"Sana istirahat di kamar." Suruh Bu Halimah saat Amira mendudukkan dirinya di sofa.

"Bosen Bu, masa baring terus." Jawab Amira lalu menyalakan televisi.

"Ya sudah terserah kamu. Tapi kalau ngantuk tidur di kamar, jangan di sofa." Bu Halimah kemudian berlalu ke dapur untuk meletakkan buah-buahan yang semalam Rania bawa.

Ponsel di atas meja bergetar. Ada pesan masuk dari Ustadz Zami. Mengatakan jika akan datang ke rumahnya untuk meruqyah rumah dan dirinya.

"Kok aku jadi takut gini ya." Gumamnya sambil memegang dadanya.

Itu bukanlah Amira yang takut melainkan jin yang ada dalam tubuhnya. Jin itu merasa terusik jika tahu Amira akan di ruqyah lagi. Karena itu tandanya, jin-jin itu dalam keadaan tidak aman sekarang. Dan mereka akan belingsatan jika Ustadz Zami sampai tahu di mana letak persembunyian mereka jika rumah Amira sampai ikutan di ruqyah.

Amira menggeliat gelisah. Perasaannya tidak enak lagi. Hal inilah yang ia benci. Sedetik pun mereka tidak pernah memberinya rasa tenang, selalu di hantui was-was berlebihan. Ia ingin kehidupannya seperti dulu lagi, tenang tanpa kepikiran apa-apa.

Amira kemudian menyandarkan punggungnya. Membaca istighfar dan sholawat nabi berkali-kali untuk menenangkan pikiran kalutnya. Bagaimana ia tidak depresi jika setiap detik, menit, jam dan hari selalu di takut-takuti mereka.

"Nih, ibu bawakan teh hangat." Bu Halimah meletakkan gelas di depannya. Amira kembali menegakkan tubuhnya.

"Bu, hari Sabtu Ustadz Zami bakal kemari." Kata Amira.

"Lusa?" Tanya Bu Halimah.

"Iya, Ustadz Zami juga nyuruh kita beli ikan lele."

"Buat apa beli ikan lele?"

"Katanya untuk aku makan. Di goreng garing." Ia juga tidak tahu kenapa harus makan ikan lele segala.

"Berapa banyak?"

"Dua aja, cukup kayaknya." Jawab Amira.

"Cuma ikan lele saja, tidak ada yang lain?" Tanya Bu Halimah.

"Itu aja sih isi pesannya." Jawab Amira sambil melihat pesan yang Ustadz Zami kirim tadi.

"Semoga setelah ini kehidupan kamu tenang ya Nak. Tidak ada gangguan mereka lagi." Bu Halimah mengelus kepala Amira.

Dalam hati Amira menjawab "Amin."

                                     🍁

Hari Sabtu tepatnya pukul setengah satu siang. Ustadz Zami beserta sang istri dan Ustadz Salim tiba di rumah Amira. Mereka disambut ramah oleh Pak Hadi dan Bu Halimah.

Amira juga tak kalah sopan saat mencium tangan Umi Hasna, istri Ustadz Zami. Pak Hamid dan Nindi juga tak ketinggalan berada di sana.

"Mari silahkan masuk." Ucap Pak Hadi selaku tuan rumah.

Mereka duduk saling berhadapan. Dengan Amira berselebahan dengan Nindi dan Bu Halimah.

"Saya dengar dari Mas Hamid, Mbak Amira beberapa kali reaksi lagi ya?" Tanya Ustadz Zami.

"Iya, Ustadz." Jawab Amira.

"Katanya juga, saat pulang dari klinik kita. Nasi dan ayam goreng kalian dikerubungi belatung?" Suara Umi Hasna.

"Anda kok bisa tahu?" Tanya Bu Halimah.

"Mas Hamid yang menghubungi kami waktu itu." Jawab Umi Hasna. Bu Halimah mengangguk paham.

"Iya Bu. Waktu itu hendak saya panaskan lagi, tapi saat saya buka. Belatung sudah mengerubungi nasi dan ayam gorengnya. Saya pun kaget karena makanan yang saya masak itu selalu bersih. Dan baru kemarin itu terjadi."

"Bisa jadi itu ulah mereka karena tidak terima. Katanya Pak Hadi masih menyimpan keris peninggalan alm. Ayah anda. Boleh anda ambil kerisnya?" Pinta Ustadz Zami.

Selagi Pak Hadi mengambil keris, Ustadz Salim meminta Amira untuk menunjukkan kedua telapak kanannya. Ustadz Salim mengamati garis-garis di tangan Amira dengan seksama. Nindi dan Amira sangat penasaran karena setelah mengamati garis tangan itu Ustadz Salim hanya diam.

"Mbak Amira ini orangnya suka emosian ya?" Tanya Ustadz Salim setelahnya.

"Iya Ustadz." Amira sedikit malu.

"Kurang-kurangi ya Mbak emosinya, karena emosi itu tidak baik bagi kesehatan tubuh."

"Kalau ada apa-apa jangan di pendam sendiri. Cerita ke ibu atau ayah, atau sahabat yang menurut Mbak Amira bisa dipercaya. Jangan di simpan sendirian dan ujung-ujungnya malah bikin stres. Mbak Amira di diagnosa mengalami depresi ringan ya? Kenapa, cerita sama saya?" Pinta Ustadz Salim.

"Saya nggak kuat sama bisikan mereka Ustadz. Mereka mengatakan jika saya bakal mati. Jika berada di keramaian kepala saya sering pusing, rasanya ingin pecah. Saya juga sering mimpi buruk. Terakhir kali saya mimpi saya sedang hamil. Tapi yang paling saya takuti itu, katanya saya bakalan mati. Saya sampai takut ngapa-ngapain. Baca Qur'an saja rasanya gemeteran."

Amira bercerita dengan mata berkaca-kaca. Ia menumpahkan semua beban yang ia rasa kian berat. Di hantui kematian adalah momok yang paling ia takuti. Jika bisikan itu datang, tubuhnya menjadi dingin wajahnya juga pias.

"Mbak Amira jangan percaya. Mereka seperti itu karena ingin melemahkan iman Mbak Amira. Mereka ingin Mbak Amira jauh dari Allah SWT. Jika iman Mbak Amira goyah, mereka akan semakin kuat. Dan seterusnya Mbak Amira akan menjadi orang yang merugi. Ingat mati itu baik, bahkan dianjurkan oleh rasulullah. Akan tetapi ingat mati yang baik dan cerdas yang sesuai Sunnah Rasul adalah meningkatkan semangat kita dalam beribadah dan beramal sholeh di dunia ini. Tapi jika ingat mati malah membuat hati kita cemas, takut dan gelisah tidak karuan, itu sudah jelas datangnya dari setan. Saya percaya Mbak Amira ini orangnya kuat."

"Ini Ustadz, kerisnya." Pak Hadi mengulurkan benda peninggalan ayahnya kepada Ustadz Zami.

"Mau kamu apakan pusakaku?" Tanya Amira tiba-tiba. Hingga membuat mereka semua menoleh pada Amira.

"Jadi ini punyamu?" Tanya Ustadz Zami.

"Kembalikan pusakaku." Hendak menyaut benda itu tapi Ustadz Zami jauhkan.

"Apa pusaka ini kekuatanmu? Jika iya. Harus di musnahkan." Kata Ustadz Zami.

"Berani kamu membakarnya! Aku bunuh kalian semua!"

"Kami tidak takut. Justru kamu yang akan kami binasakan."

Dada Amira kembang kempis menahan amarah dan bersiap untuk menerjang Ustdaz Zami.

"Lepaskan." Berontak Amira ketika kedua tangannya di pegang oleh Nindi dan Bu Halimah. Amira menatap nyalang Bu Halimah dan Nindi dengan mata melotot tajam.

"Segera kita bakar saja." Kata Ustadz Salim dan Ustadz Zami mengangguk.

Ustadz Salim berjalan ke depan bersama Pak Hamid dan Pak Hadi untuk membakar benda pusaka itu. Sementara Ustadz Zami meruqyah Amira karena jin dalam tubuh Amira tidak terima pusakanya dihancurkan.

Amira menjerit dan berteriak. Tetangga kanan-kiri dan depan rumah sampai berhamburan keluar untuk melihat apa yang terjadi. Mereka saling bertanya-tanya. Siang bolong begini Amira kenapa lagi?

.

.

.
12 Juli 2023
















Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now