Cicak (mata-mata)

1.2K 77 0
                                    

"Aduh.. bangun tidur kenapa badan pegel semua."

Amira memukuli punggungnya. Rasanya semua badannya terasa sakit, harusnya bangun tidur itu merasa segar tapi ini justru kebalikannya. Dengan malas ia berjalan ke kamar mandi untuk berwudhu lalu menjalankan sholat subuh.

Usai sholat Amira melangkah ke dapur melihat sang ibu yang tengah meracik bumbu nasi goreng.

"Tadi malam kenapa pulang? Tengah malam lagi?" Omel Bu Halimah sambil menoleh sekilas lalu kembali mengiris bawang.

"Bu, tahu nggak?" Amira celingak-celinguk terlebih dahulu sebelum melanjutkan kalimatnya. Tidak peduli dengan omelan yang ia dapat.

"Tahu apa?"

"Semalam aku di datangi Bu Rani, Bu. Beliau manggil-manggil nama aku." Bisik Amira.

"Kamu yakin?" Bu Halimah yang hendak menyalakan kompor seketika terhenti.

Amira mengangguk mantap. "Beliau memakai pakaian pas kita jenguk untuk terakhir kalinya itu, rambutnya disanggul terus mukanya pucat. Tapi tersenyum pas manggil namaku." Tiba-tiba bulu kuduk Bu Halimah berdiri.

"Amira.. kamu jangan nakutin ibu dong Nak." Bu Halimah percaya jika orang yang sudah meninggal arwahnya masih berseliweran sampai 40 hari ke depan.

"Ibu aja takut apalagi aku. Aku aja sampai teriak. Terus nih ya Bu, sebelum Bu Rani menampakkan dirinya. Semerbak bunga melati datang terlebih dahulu. Hiihhh.. makin merinding kan."

Amira semakin menakuti ibunya membuat Bu Halimah memukul lengannya.

"Beruntung ibu tidur sama ayahmu. Lah kamu tidur sendiri."

"No no no. Aku juga bakal tidur sama kalian." Amira tidak mau kalah.

"Mau nyempil gitu kamu." Ucap Halimah sambil memasukkan bumbu ke dalam wajan. Amira mengerucutkan bibirnya.

"Bu, kok aku bisa lihat yang nggak kasat mata ya. Apa aku ini indigo?" Tanya Amira.

"Mungkin saja." Sahut Bu Halimah sembari menuangkan kecap ke atas nasi kemudian mengaduknya kembali.

"Kok jadi gini sih hidupku." Amira merosotkan bahunya. Serasa hidupnya dihantui keanehan yang terjadi, membuatnya semakin tak tenang saja. Karena rasa was-was dan gelisah selalu muncul tiba-tiba dalam dirinya.

"Lebih baik kamu mandi. Nanti kesiangan berangkat kerjanya." Bu Halimah sudah selesai membuat nasi goreng tinggal menyajikan di meja makan.

"Iya." Dengan lesu Amira menjawab. Bu Halimah menatap punggung putrinya yang sudah menjauh.

"Ibu juga sedih Nak sama kelebihan yang kamu miliki itu." Lirihnya.

                                  ***

"Nin, nanti makan siang di warung bakso yuk." Ajak Amira.

"Traktir ya. Lagi bokek nih." Ucap Nindi.

"Kebiasaan." Cibir Amira. Nindi hanya cengengesan tidak jelas.

"Maklum Ra, ini kan tanggal tua."

"Alesan. Bilang saja duitmu abis keseringan belanja online." Amira tahu kebiasaan Nindi yaitu hobi sekali belanja pakaian atau barang-barang yang menurutnya lucu lewat aplikasi belanja yang sekarang banyak sekali di media sosial.

"Haha.. tahu aja kamu. Nanti kalau udah gajian, gantian aku deh yang traktir kamu." Ucap Nindi.

"Iya, harus itu."

Chek chek chek chek.. terdengar suara cicak di dinding ruangan itu. Amira yang tadinya fokus pada pekerjaannya mengalihkan pandangannya kepada hewan tersebut. Amira menatap tidak suka pada cicak yang diam di dinding itu. Matanya menatap tajam.

Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now