Tempat makan (penglaris)

828 68 0
                                    

"Nggak jelas kamu Ra. Denger orang ngaji kok malah nggak fokus. Yang ada tuh malah bikin kita adem." Sahut Ali, orang yang menyetel murottal itu geleng-geleng kepala. Dan mendapat anggukan setuju dari yang lain.

Nindi memperhatikan gerak-gerik Amira seperti orang tidak nyaman saat alunan ayat suci itu mengalun indah di pendengaran.

"Matiin ya. Beneran, aku nggak bohong?" Amira memelas sambil menghapus air matanya akibat berkali-kali menguap.

"Matiin aja Mas Ali. Lain kali kita dengarkan lagi." Ucap Nindi.

Nindi seperti menangkap sinyal jika Amira dalam keadaan tidak baik-baik saja. Sebelum sesuatu itu terjadi. Nindi harus bisa mencegahnya.

"Nggak asyik kamu Ra. Biasanya juga biasa-biasa aja kalo dengar murottal ini." Terpaksa Ali menghentikan lantunan itu dari ponselnya.

Suasana ruangan itu menjadi hening meski beberapa teman yang lain sempat protes. Amira tersenyum cerah dan ia kembali melanjutkan pekerjaannya dengan selamat.

"Selamat.. selamat.." Nindi mengelus dadanya lega. Setelah diberitahu jika sahabatnya itu di sukai jin. Nindi langsung berselancar di dunia maya mengenai ciri-ciri orang yang di sukai jin. Dan itu cukup menegangkan karena ciri-cirinya sangat menyeramkan bagi dia yang notabene seorang wanita. Dan salah satunya adalah emosinya tidak stabil atau sering marah.

Nindi ingin sekali bertanya kepada Amira mengenai salah satu ciri yang ia baca. Tapi jika ia bertanya secara langsung takut Amira nanti tersinggung. Lain kali saja ia bertanya hal satu itu sambil menunggu Amira bercerita sendiri kepadanya.

🍁

Jam makan siang pun tiba. Nindi mengajak Amira makan di salah satu rumah makan yang sangat ramai. Tempat itu terkenal akan makanannya yang sangat menggugah selera. Amira yang penasaran menyutujui ajakan Nindi meski sebenarnya Amira ingin sekali makan soto lamongan. Tapi sebelum pergi mereka melaksanakan sholat dhuhur terlebih dahulu.

"Ini tempatnya?" Tanya Amira sambil melepas helm. Begitu sampai di rumah makan yang menjadi kandidat makan siang mereka.

Nindi mengangguk setelah memasukkan kunci motornya ke dalam tas slempang.

"Lihat, rame kan? Aku jamin, setelah kamu makan di sini kamu bakal ketagihan." Nindi mengacungkan jari jempolnya.

Amira memperhatikan tempat itu dengan seksama. Pengunjungnya memang ramai bahkan terlihat semua meja sudah penuh. Tapi yang mengganjal di penglihatan Amira adalah tempat makan itu memiliki aura negatif dalam penglihatannya.

"Ayo masuk, malah bengong." Interupsi Nindi.

"Yakin kita makan di sini?" Amira ragu untuk masuk ke dalam.

"Yakin lah. Ayo buruan? Mumpung masih ada meja kosong." Nindi menyeret Amira yang berjalan ogah-ogahan.

Setelah duduk, Amira memperhatikan sekelilingnya. Ia mencari sesuatu yang menurutnya harus ia pastikan kebenarannya.

"Nyari apa Ra, dari tadi celingak-celinguk?"

Hingga mata Amira menangkap sosok hitam berdiri di atas langit-langit. Kecurigaannya benar bahwa tempat makan yang mereka kunjungi ini ada campur tangan dari makhluk tak kasat mata untuk mengundang orang-orang awam agar makan di tempat tuannya. Tak habis pikir memang. Mau tempatnya laris tapi menggunakan jasa penglaris yang jelas dilarang dalam agama.

Mumpung Nindi belum memesan makanan apa-apa. Amira menarik tangan Nindi keluar.

"Lho, mau ke mana Ra? Kita kan belum pesen makanan?" Pertanyaan Nindi membuat beberapa pengunjung lain beralih menatap mereka.

"Kita cari makan di tempat lain aja." Jawab Amira pelan.

"Tapi kenapa?" Kening Nindi mengernyit. Perutnya sudah keroncongan. Cacing-cacing di dalam perutnya sudah pada demo minta segera diberi makan.

Salah satu pramusaji yang akan menghampiri mereka menatap dengan heran. Baru juga hendak bertanya mau pesan apa. Mereka sudah keburu pergi.

"Nanti aku ceritakan. Tapi kita harus pergi dari sini." Jawab Amira.

"Cerita apa sih Ra?" Tanya Nindi setengah kesal.

Amira mengulurkan helm kepada Nindi yang masih ngedumel tidak jelas.

"Sambil jalan aja aku cerita. Sini kunci motornya." Amira menadahkan tangannya.

Nindi memberikannya dengan tampang memberengut. Amira tidak peduli karena ini demi kebaikan sahabatnya yang tidak tahu apa-apa.

"Kita makan soto Lamongan ya?" Ajak Amira, mengendarai motor milik sahabatnya itu.

"Hmm." Jawab Nindi malas.

"Nin, maju dikit duduknya. Biar denger omonganku." Pinta Amira.

"Apaan? Cepetan ngomong." Jawab Nindi setelah mepet dengan tubuh Amira.

"Tempat makan tadi menggunakan penglaris. Ada sosok hitam yang bertugas menarik minat beberapa orang agar makan di tempat itu." Ucap Amira.

"Serius Ra?" Mata Nindi membulat sempurna.

"Iya. Makanya aku langsung narik kamu keluar. Aku nggak mau makan di situ. Tadi juga aku mencium bau bunga kenanga. Kamu nyium juga nggak?" Tanya Amira.

"Enggak kayaknya." Geleng Nindi.

"Eh, tapi beneran Ra? Tempat tadi menggunakan penglaris?" Sekali lagi Nindi bertanya.

"Beneran. Ngapain juga aku bohong. Kan aku bisa lihat yang nggak bisa orang lihat." Jawab Amira.

Sampai juga mereka di warung soto Lamongan.

"Tapi aku pernah makan di sana? Gimana dong Ra?" Nindi memegang lengan Amira panik.

"Ya nggak gimana-mana. Cuma makanan yang dijual di sana sudah terkontaminasi sama lidah makhluk tersebut." Jawab Amira.

"Terkontaminasi gimana maksudnya?"

"Makhluk tersebut memutahkan air liurnya di makanan itu." Jawab Amira.

Perut Nindi mendadak mual. Nindi ingin muntah sekarang juga.

"Huwek."

"Kamu nggak apa-apa Nin?" Amira yang khawatir menepuk-nepuk punggung Nindi.

"Antar aku ke toilet." Pinta Nindi sambil membekap mulutnya.

Amira bertanya kepada pemilik warung di mana letak kamar mandinya. Segera Amira menuntun Nindi ke sana. Nindi memuntahkan isi dalam perutnya meski hanya sedikit yang keluar.

"Ra.. lain kali kalo aku mau makan di tempat makan, lebih baik aku ngajak kamu aja." Ucap Nindi. Tidak ingin kejadian itu terulang lagi.

Amira tersenyum lalu mengajak Nindi duduk setelah memesan dua porsi soto sama es jeruk.

"Ya nggak semua tempat makan pakai cara itu juga." Jawab Amira.

"Tapi kan kamu bisa lihat mereka ada atau nggak ada." Balas Nindi.

Sesaat kemudian pemilik warung mengantarkan pesanan mereka sambil tersenyum ramah.

"Udah ayo makan. Biar nggak telat kita baliknya." Sela Amira.

Di meja lain, Rama melihat Amira. Laki-laki tampan itu meninggalkan temannya sejenak untuk menyapa Amira. Sudah ada seminggu lebih ia tidak berjumpa dengan gadis itu. Amira juga tidak pernah membalas pesannya yang berkali-kali ia kirimkan.

"Amira.." Sapa Rama membuat Amira tersedak.

"Uhuk.. uhuk.."

"Eh, hati-hati. Maaf saya tidak sengaja." Rama segera mengulurkan segelas es jeruk dan langsung di minum Amira hingga separuh.

"Bisa nggak sih. Nggak bikin orang kaget!" Amira bernada galak.

Rama meringis melihat sifat jutek itu keluar lagi.

"Ra.. jangan gitu." Tegur Nindi.

.

.

.
25 Juni 2023















Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Där berättelser lever. Upptäck nu