Pusing di keramaian

802 68 2
                                    

"Ra, keluar yuk. Malam minggu nih." Nindi menghampiri Amira di dalam kamar tengah berbaring sambil bermain ponsel.

"Males ah, Nin." Jawab Amira.

"Aku bela-belain nginap di sini buat kamu lho, Ra. Tapi kamu gitu banget?" Nindi pura-pura sedih.

Karena tidak tega, akhirnya Amira menyetujui ajakan Nindi keluar.

"Ya udah. Ayo kita keluar. Tapi mau ke mana?" Amira bangkit dari berbaringnya dan mematikan ponselnya.

Nindi bersorak senang. "Ke alun-alun aja gimana?"

"Terserah kamu lah yang penting kamu happy." Jawab Amira sambil membuka lemari. Mencari pakaian yang akan ia pakai pergi demi menuruti kemauan Nindi.

"Tapi nanti di sana aku juga ketemuan sama calon suamiku. Nggak papa kan?" Tanya Nindi, memoles wajahnya dengan bedak dan pemerah bibir.

"Nah kan, ujung-ujungnya aku jadi obat nyamuk lagi." Amira menyindir. Sudah dua kali ia menyaksikan sahabatnya kencan.

"Ya nggak papa. Sekalian kamu belajar gimana orang pacaran itu." Nindi terbahak membuat Amira berdecih tidak suka.

"Walau aku jomblo. Aku udah tahu ya, rasanya pacaran itu gimana?" Amira menggeser tubuh Nindi untuk berhias juga.

"Yang kamu maksud pangeran mimpimu itu. Yang kamu di ajak pacaran? Itu kan ji__" Nindi langsung membekap mulutnya tidak jadi melanjutkan kalimatnya.

"Sorry, nggak sengaja." Nindi mengangkat jari telunjuk dan jari manisnya. Tidak bermaksud menyinggung.

Amira memutar malas bola matanya. "Iya, santai aja." Jawabnya.

"Eh, hubungi Rania dong. Kita ajak malam mingguan juga, biar kamu ada temannya pas aku tinggal pacaran."

"Nggak usah lah Nin, percuma juga kita ajak tuh anak. Nggak bakalan mau dia."

Rania sekarang dengan yang dulu sudah berubah. Setelah mengenal Arumi, remaja itu tidak pernah bermain ke rumahnya, berkirim pesan saja sudah tidak lagi. Mungkin gadis itu sudah melupakannya.

"Kenapa?" Kening Nindi menyatu.

"Rania udah nggak ingat aku lagi, Nin. Aku juga denger, Rama sekarang tengah dekat dengan perempuan lain. Cantik lagi orangnya." Amira menjawab pelan.

"Serius kamu?" Nindi seolah tidak percaya. Pasalnya seminggu lalu saat bertemu dengan laki-laki itu di warung soto. Rama terlihat menggombali Amira.

Amira mengangguk lemah.

"Tapi Rama kan sukanya sama kamu. Kenapa bisa dekat dengan perempuan lain?" Mengejutkan memang laki-laki itu.

"Ayahnya menyuruhnya untuk segera memiliki pendamping hidup. Mungkin Rama juga udah lelah mengejarku." Amira menjawab seadanya.

"Iya juga sih." Nindi mengangguk membenarkan. "Eh, tapi kok kamu kayak sedih gitu. Jangan-jangan kamu?" Nindi menggantung kalimatnya.

"Ya, aku cemburu. Aku cemburu Nin lihat Rama bahagia saat bersama Arumi." Jujur Amira sambil mengingat kebersamaan dua orang itu.

Nindi membekap mulutnya. Antara percaya dan tidak percaya. Mata Nindi pun berbinar.

"Aaaa, Amira.. itu artinya kamu sembuh sedikit demi sedikit."

Nindi memeluk erat sahabatnya. Ia senang sekali, itu tandanya Amira sudah bisa membuka hatinya untuk menerima laki-laki lain agar masuk ke dalam hidupnya. Dan kemungkinannya, jin yang menyukai Amira sudah melemah berkat ruqyah yang dijalani Amira.

"Semoga." Amira tersenyum.

Nindi melepas pelukannya. Harapannya sangat besar untuk kesembuhan Amira.

"Kalian mau ke mana?" Tanya Bu Halimah ketika Amira dan Nindi terlihat rapi. Keluar dari kamar.

Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now