Amarah

1.6K 96 0
                                    

Di dalam ruang tamu Amira duduk dengan perasaan dongkol. Ingin sekali berteriak. Kenapa harus dijodohkan segala, sudah berapa kali dirinya menegaskan bahwa belum siap menikah. Harusnya kedua orang tuanya itu mengerti perasaannya. Mengerti keinginannya.

"Sabar sabar.." Amira mengusap-usap dadanya menetralisir rasa amarah yang datang.

"Huftt.." Amira membuang nafas pelan. Berusaha meredakan emosinya.

"Ngebayangin punya suami aja aku udah merinding, apalagi di suruh nikah. Hii..." Tubuhnya bergidik ngeri.

Benar-benar tidak habis pikir memang. Padahal ia sudah menolak mentah-mentah setiap kali ada laki-laki yang ingin melamar dirinya. Tapi ini dengan mudahnya sang ayah malah punya niatan menjodohkan.

Tidak lama kemudian Ayah dan ibu menghampiri Amira.

"Kenapa kamu nggak mau? Ibu dengar dia juga suka sama kamu?" Ibu duduk di samping Amira.

Hubungan keluarga Amira dengan keluarga Rama terjalin sangat baik.

"Bu.. tolong ngertiin aku. Aku bilang nggak mau ya nggak mau? Jangan paksa aku Bu.." Amira memelas sambil berkaca-kaca.

"Menikah itu menyempurnakan separuh agama Nak." Sahut Ayah.

Mendengar itu, air mata Amira mengalir di kedua pipinya.

"Yah, memang apa baiknya jika aku menikah sekarang. Sedangkan aku sama sekali belum siap." Amira menghapus kasar buliran air mata di kedua pipinya.

Ayah dan ibu saling pandang.

"Yang ada malah bikin aku tertekan Yah, Bu. Terus ujung-ujungnya aku bakalan minta pisah sama suamiku." Ucap Amira lagi.

"Ya Allah Nak, jangan ngomong sembarangan kamu!" Ibu tidak suka. Belum apa-apa Amira sudah merencanakan ingin bercerai.

"Ya makanya, jangan desak aku menikah. Aku Bu yang nantinya bakal ngejalanin, bukan kalian."

"Amira, bicara sama orangtua yang sopan!" Tegur Ayah.

Amira melirik tajam kedua orang tuanya. Dadanya kembang kempis menahan amarah. Amira melipat tangan di dada sambil membuang muka.

"Ayah dan ibu cuma ingin yang terbaik untuk kamu, Nak." Ungkap Ibu.

"Itu untuk kalian, bukan untuk aku." Ketus Amira.

Hilang sudah rasa hormatnya. Entah kenapa jika membicarakan perihal pernikahan, Amira tidak akan terima. Ia akan melawan lawan bicaranya biarpun orang itu yang sudah tua sekalipun.

"Apa seperti ini Ayah dan Ibu mendidik kamu? Kamu semakin tidak sopan sama orangtua, Amira!" Ayah juga marah.

Amira menatap wajah ayahnya dengan pandangan menusuk. Sama sekali tidak takut dengan kemarahan ayahnya. Amira seperti menantang balik. Ibu menepuk pelan punggung tangan Amira agar menghentikan tatapan tajamnya sambil menggeleng.

"Assalamu'alaikum.." Terdengar suara laki-laki mengucap salam dari luar.

"Wa'alaikumsalam." Sahut ibu, beranjak menghampiri tamu yang datang itu.

"Eh, Nak Rama silahkan masuk Nak."

Panjang umur sekali lelaki itu. Baru juga disebut namanya, orangnya sudah hadir di depan rumah. Rama mengangguk lalu menyalami tangan Ibu.

"Assalamu'alaikum paman." Sapa Rama sopan sambil menyalami tangan ayah Amira.

Ayah tersenyum. "Wa'alaikumsalam Rama." Ayah menepuk bahu Rama pelan. Dan mempersilahkan pemuda itu duduk.

Amira membuang muka saat Rama tersenyum ke arahnya. Ayah dan ibu yang melihat itu hanya bisa menghela napas pelan.

"Apa kabar Amira?" Tanya Rama sekedar basa-basi.

"Hmm, baik." Jawab Amira jutek. Rama tersenyum tipis melihat sikap acuhnya Amira.

"Bu, tolong buatkan Nak Rama minuman!" Perintah Ayah.

"Eh, tidak usah repot-repot Bi." Cegah Rama.

"Nggak papa Nak Rama." Ucap Ibu. Setelah itu berlalu ke dapur.

"Gimana keadaan ibu kamu sekarang Ram?" Tanya Ayah.

"Alhamdulillah sudah mendingan Paman." Jawab Rama.

"Alhamdulillah kalau begitu."

Amira beranjak dari duduknya membuat sang ayah bertanya. "Mau ke mana kamu?"

"Kamar." Jawab Amira singkat.

Baru dua langkah kaki, ayah menyuruh Amira duduk lagi. Amira menghentakkan kakinya kesal namun kembali duduk di tempatnya semula dengan raut wajah tak ramah.

"Tidak sopan kamu meninggalkan tamu begitu saja." Ucap Ayah.

"Dia bukan tamuku tapi tamu Ayah." Amira memandang sinis Rama. Memberi tatapan permusuhan pada laki-laki yang duduk sangat tenang itu.

Rama menaikkan sebelah alisnya. Rupanya gadis yang ada di hadapannya ini membenci kehadirannya. Terbukti tidak ada ramahnya sama sekali. Sedari tadi hanya melihatkan wajah masamnya saja.

"Rama ke sini ingin bersilaturrahmi sama kamu." Ucap Ayah.

"Pagi-pagi begini, huh." Cibir Amira. Saat ini waktu menunjukkan setengah delapan pagi.

"Memang apa salahnya?" Tanya Ayah.

"Ganggu orang." Gumam Amira namun sangat jelas di telinga ayah dan Rama.

Ibu datang membawa secangkir teh panas beserta kue basah untuk Rama. "Di minum Nak."

"Jadi ngrepotin Bi." Ucap Rama sungkan.

"Jarang-jarang kan Nak Rama kemari." Ucap Ibu.

"Udah tau ngrepotin, kenapa nggak pulang aja." Gumam Amira lagi. Ibu mencubit tangan Amira.

"Aww.. apa sih Bu. Sakit tahu." Amira mengusap-usap tangannya.

"Maafkan sikap Amira yang nggak sopan ini ya Ram." Ayah merasa tidak enak hati.

Rama tersenyum. "Nggak apa-apa Paman. Benar yang dikatakan Amira saya datang di waktu yang nggak tepat." Ucapnya.

Padahal ia datang di waktu pagi seperti ini agar bisa mengobrol lebih lama dengan Amira. Namun sayang kedatangannya sangat tidak diharapkan oleh gadis itu.

"Rama ini bukan orang asing lagi lho Nak. Kamu jangan ketus-ketus gitu dong." Ibu tersenyum canggung ke arah Rama.

"Bagiku dia orang asing. Apalagi kedatangannya sangat-sangat tidak diharapkan!" Tekan Amira menatap sengit Rama.

Tangannya terkepal erat. Emosi yang tadinya sudah luntur kini kembali menghampiri. Dada Amira benar-benar panas, ingin sekali diledakkan.

Rama tidak tahu salahnya di mana. Kenapa Amira bersikap semarah itu. Amira yang ia kenal adalah Amira si gadis periang dan juga ramah. Meski jarang ngobrol walau mereka saling kenal karena Amira selalu menghindar jika ia hampiri bila bertemu di salah satu tempat hajatan.

Apalagi setelah mendengar Amira menolak dua lamaran laki-laki. Rasa percaya dirinya semakin meningkat untuk mendekati Amira. Terlebih lagi mendapat dukungan dari ayah Amira sendiri. Makin mantap saja rencana mempersunting Amira.

"Iya, maaf atas kelancanganku datang kemari." Sesal Rama.

"Ayah semakin bingung sama kamu Nak. Kenapa kamu jadi kasar begini?" Ayah merasa malu terhadap Rama.

Sikap kasar Amira sudah melewati batas menurut Ayah. Seperti bukan kepribadian Amira saja menurutnya. Apa karena dirinya punya niat menjodohkan maka dari itu Amira melawan dengan cara seperti ini. Menolak dengan keras bahkan sampai berani berkata pedas terhadap Rama.

"Bagus kalau kamu sadar. O ya, aku tahu niat kamu kemari. Kamu ingin dekat denganku kan. Tapi maaf aku nggak sudi di dekati sama kamu." Amira mengeluarkan isi hatinya langsung.

"Amira!" Geram Ayah.

"APA!!" Balas Amira dengan pelototan tajam, membuat ibu harus memejamkan kedua matanya melihat dua orang yang ia sayangi adu mulut di depan tamu.

.

.

.
2 Juni 2023




















Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now