Debat di acara pernikahan

861 64 0
                                    

Kicauan burung kutilang di dalam sangkar tidak mengganggu konsentrasi Amira membaca novel. Gadis itu menekuni apa yang dibacanya sambil ngemil keripik pisang dalam toples.

Hari libur memang waktunya nyantai. Ia bisa mengistirahatkan pikiran dan tenaganya dengan berdiam diri di rumah tanpa susah-susah pergi ke suatu tempat sekedar cuci mata. Duduk di teras dengan di temani semilir angin, itu saja sudah cukup.

"Amira, Kok belum siap-siap. Nanti kita terlambat, Nak? Ini sudah jam sembilan."

Bu Halimah sudah rapi, ia akan menghadiri acara pernikahan bersama Amira. Tapi anaknya itu masih asyik dengan dunianya. Belum mandi sedari tadi.

"Aku nggak ikut Bu. Ibu pergi sendiri aja." Jawab Amira tanpa memandang ibunya.

"Oh, nggak bisa. Kamu harus ikut ibu." Geleng Bu Halimah sambil menarik Amira dari duduknya.

"Kenapa nggak sama Ayah aja sih, Bu." Keluhnya kesal.

"Ayahmu pergi. Ibu juga nggak ada niat pergi kondangan sama ayahmu. Ibu maunya sama kamu!" Bu Halimah mendorong pelan tubuh Amira.

Amira menghentak kaki kesal. Ia malas jika harus menghadiri acara pernikahan di kawasan tempat tinggalnya. Semua orang pasti akan bertanya, kapan nyusul? Selalu kata itu yang ditanya jika ia menghadiri suatu acara pernikahan.

"Jangan lama-lama mandi sama dandannya. Ibu sudah di tunggu sama teman-teman ibu!" Teriak Bu Halimah ketika Amira masuk ke kamar mandi.

Amira tidak menyahut. Ia harus segera menyelesaikan ritual mandi dan dandannya agar sang ibu tidak mengomelinya lagi. Dua puluh menit waktu yang ia butuhkan. Sekarang ia sudah stay di atas motor maticnya menunggu Bu Halimah mengunci pintu terlebih dahulu sebelum di tinggal.

"Ayo jalan." Bu Halimah menepuk pundaknya setelah duduk sempurna.

"Bu, nanti nggak usah lama-lama ya di sana. Setelah makan kita langsung pulang." Amira menghidupkan mesin dan perlahan motornya membelah jalan.

"Ya, nggak bisa gitu. Masa cuma sebentar. Di sana juga banyak teman-teman ibu." Ucap Bu Halimah.

"Ini nih yang nggak aku suka. Teman-teman ibu itu julid kalo ngomong. Suka ngrumpi sana-sini." Jika sampai di sana, Amira tidak akan satu meja sama ibunya. Ia akan mencari kursi sendiri tanpa merasakan kuping panas.

"Namanya juga ibu-ibu. Pasti banyak yang diomongin." Bela Bu Halimah. Amira mengerucutkan bibirnya. Banyak apaan, lebih kepo iya.

Sampai di sana, Amira segera mencari tempat memakirkan motornya. Dekorasi pengantinnya sangat indah bahkan Amira sampai terkagum.

"Bagus ya dekornya. Nanti kalau kamu nikah, pilih model ini saja. Bagus banget." Bu Halimah memberi penilaian.

"Nggak ada nikah-nikahan." Dumel Amira dalam hati.

"Ayo ke sana." Bu Halimah menggandeng lengan Amira menuju meja di mana teman-temannya berada. Setelah salah satu dari mereka melambai.

"Ibu aja. Aku mau cari kursi sendiri." Amira melepaskan tangan ibunya.

"Ibu nggak setuju, ayo!" Bu Halimah menyeret Amira.

Dengan enggan Amira bergabung bersama kelompok ibu-ibu. Dan menyapa mereka ramah.

"Amira.. nggak ada keinginan gitu menikah?" Tanya Bu Ambar. Baru juga Amira mendaratkan tubuhnya di kursi, sebuah pertanyaan sudah ia dapatkan.

"Iya Amira biar kita bisa kondangan ke rumahmu. Ya kan ibu-ibu." Sahut Bu Lastri.

"Iya." Jawab mereka serempak.

Amira menatap mereka datar. Seperti inilah yang tidak ia sukai. Mereka terlalu ikut campur urusan pribadinya. Dan itu membuatnya tersinggung meski yang mereka tanyakan sebuah kebaikan.

Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now