Penolakan & Pertengkaran

942 68 0
                                    

"Harus ya Bu, aku pakai baju ini."

Sebuah gamis brokat bewarna ungu muda melekat pas di tubuh ramping Amira. Sehabis Maghrib keluarga Rama akan bertandang ke rumahnya sesuai perkataan ayahnya kemarin.

"Iya, bagus kan pilihan ibu?" Bu Halimah tersenyum melihat pilihannya tidak buruk-buruk amat.

"Biasa aja." Jawab Amira. Apa bagusnya kalau ia pakai gamis itu karena ingin menyambut kedatangan Rama. Jika ia tahu keluarga Rama datang malam ini. Lebih baik ia tidak pulang tapi menginap di rumah Nindi.

Amira melihat dirinya di cermin rias. Berat rasanya untuk keluar dari kamarnya. Jaman sudah modern tapi masih ada juga istilah perjodohan. Orangtua jaman sekarang dan jaman dulu sama saja.

"Tapi menurut ibu kamu cantik." Bu Halimah berdiri di belakang Amira, gadis itu duduk di kursi meja rias.

"Nanti jangan mengecewakan ibu dan ayah." Lanjut Bu Halimah serius.

"Lihat nanti." Jawab Amira santai. Karena ia adalah penentu utama, bukan kedua orangtuanya atau ayahnya Rama. Jawabannya hanya ada di dirinya.

"Berarti kamu sudah tidak menghargai kami sebagai orangtua yang sudah mengasuh dan menjaga kamu selama ini." Tandas Bu Halimah. Setelah itu keluar dari kamar Amira.

Amira menatap berlalu ibunya melalui pantulan cermin. Kepalanya berasa pening.

Tepat jam tujuh, tamu yang ditunggu itu datang. Dengan ogah-ogahan Amira berdiri di depan pintu. Bu Halimah menarik tangannya dan berbisik agar bersikap ramah dan selalu tersenyum kepada Rama sekeluarga.

"Jangan bikin malu ayah dan ibu." Bisiknya.

Ramadhan atau Rama, datang tidak dengan tangan kosong. Sebuah bingkisan entah isinya apa, ia ulurkan kepada Amira.

Amira menampilkan senyum manisnya meski ke paksa karena ibunya mencubit pelan lengannya.

"Makasih." Ucap Amira.

Pemuda itu tersenyum cerah. Baju batik lengan pendek terlihat serasi dengan gamis yang Amira pakai. Corak warnanya berpadu.

Rania menggandeng lengan Amira saat Pak Hadi mengajak mereka ke ruang tamu. Remaja itu memuji Amira sangat cantik. Tak lupa ia juga membanggakan kakaknya yang sangat-sangat tampan.

Rama memilih duduk bersebelahan dengan ayahnya. Menghadap pas ke arah Amira duduk. Hatinya berdetak sangat kencang, jawaban apa yang nantinya akan Amira berikan.

"Nak Amira pasti sudah tahu kan maksud kedatangan kami kemari?" Tanpa basa-basi Pak Samsul bertanya kepada Amira.

Amira mengangguk sambil menundukkan kepalanya. Kedua tangannya saling menaut menutupi kegugupannya. Seperti tengah mengalami sidang skripsi dan wawancara kerja beberapa tahun yang lalu.

"Syukurlah kalau sudah tahu." Pak Samsul bernafas lega lalu tersenyum.

"Rama anak yang sangat berbakti pada kedua orangtuanya. Sebelum ibunya meninggal, dia ingin sekali melihat kalian bersanding di pelaminan. Tapi keinginan itu belum terwujud karena sang pencipta telah memanggilnya duluan." Ucap Pak Samsul.

"Malam ini saya sebagai ayahnya Rama melamar Nak Amira sebagai calon istrinya Rama. Apa Nak Amira bersedia menerima lamaran ini atas nama istri saya?" Tanya Pak Samsul.

Amira meremat gamis yang ia pakai. Dadanya memburu, ada rasa tidak terima dalam hatinya saat mendapat lamaran dari laki-laki yang menginginkannya sebagai istri.

Sementara Bu Halimah, Pak Hadi, Rama dan Rania cemas mendengar jawaban yang bakal keluar dari mulut Amira. Mereka harap-harap cemas. Saking penasarannya Bu Halimah sampai meremas tangan Pak Hadi.

"Bagaimana Nak Amira. Apa jawaban kamu?" Sekali lagi Pak Samsul bertanya.

Amira mengembuskan napas pelan. Kemudian kepalanya ia angkat, menatap semua orang bergantian. Bu Halimah mengangguk-anggukkan kepala memberi isyarat agar berkata iya.

"Maaf Pak Dhe. Saya tidak bisa menerima lamaran ini. Saya menolaknya!" Jawab Amira tegas.

Rama memejamkan matanya erat-erat. Rania menatap kakaknya iba. Pak Samsul nampak tak percaya, niatnya di tolak mentah-mentah.

"Apa maksud kamu Nak!" Pak Hadi angkat bicara dengan geram.

"Maaf ayah. Tapi ini keputusanku. Kalian tidak berhak memaksaku." Ucap Amira.

"Ayah punya hak karena kamu putri ayah." Pak Hadi menatap nyalang Amira.

Amira mencoba untuk tidak menangis meski kedua matanya berkaca-kaca, sebisa mungkin ia tahan.

"Apa alasan kamu menolak Rama, Nak?" Pak Samsul meminta alasannya. Rama menatap dalam Amira.

Bibir Amira bergetar menahan tangis. Katakanlah ia cengeng karena itu memang kenyataannya.

"A-aku nggak mau n-nikah. Aku takut berumah tangga. Di sini juga melarangku menikah.." Ucap Amira sesenggukan. Dadanya ia tepuk, menunjukkan bahwa di situ ada yang tidak setuju. Ia menangis pilu.

Mereka semua mengernyit bingung, siapa yang melarangnya?

"Jika ada yang melarangmu. Kasih tahu ibu Nak." Bu Halimah mengelus punggung Amira, menenangkan putrinya.

"Aku nggak tahu siapa Bu? Tapi yang pasti aku nggak boleh menikah sama ini." Amira menepuk dadanya lagi.

"Itu pasti akal-akalan kamu saja. Ayah tidak percaya."

Amira menolehkan kepalanya. Air matanya ia hapus secara kasar. Entah mengapa tiba-tiba dadanya marah.

"Terserah, ayah mau percaya atau tidak. Di sini aku tegaskan aku nggak bakalan menikah! Mau dengan siapapun orangnya!"

Amira menatap marah pada Pak Hadi. Kedua tangannya terkepal kuat. Napasnya naik turun membuat Bu Halimah tertegun dengan kata-kata itu.

"Kamu semakin ngelunjak ya Amira!"

Suasana menjadi tegang. Ayah dan anak itu tidak bisa mengendalikan emosi masing-masing. Meski masih ada tamu.

"Memang kenapa!!" Bentak Amira menantang.

Rama sekeluarga sampai terkesiap. Amira seperti hilang kendali. Rania bahkan terlonjak dari tempatnya. Remaja itu berpindah tempat ke kursi ayah dan kakaknya.

"Kamu!" Pak Hadi mengangkat tangannya hendak menampar Amira. Buru-buru Rama berdiri, menahan tangan Pak Hadi.

"Jangan Paman." Rama menggeleng.

Tatapan Amira semakin tajam penuh permusuhan. Amarah dalam dirinya tidak bisa berhenti. Hingga..

Pyaarr...
Gelas di atas meja ia banting ke lantai membuat semua orang terjingkat. Antara percaya dan tidak percaya Pak Samsul melihat sendiri perangai Amira seperti apa.

Amira berlari ke kamarnya membanting pintu sekuat-kuatnya. Bu Halimah akan mengejar tetapi Pak Hadi langsung menahan tangannya dan menggeleng.

"Biarkan saja." Ucapnya pelan. Pak Hadi kembali duduk sembari memijit pelipisnya. Ia tidak menduga sikap Amira akan separah ini ketimbang waktu lalu.

"Maafkan perilaku putri kami Pak Samsul, Nak Rama." Bu Halimah meminta maaf.

"Saya cukup kaget dengan sifat putri anda sebenarnya, Pak Hadi. Saya kira Amira gadis lemah-lembut seperti dugaan saya. Ternyata saya salah." Jelas Pak Samsul.

"Sekali lagi maaf untuk sikap tidak sopannya Amira." Sesal Pak Hadi.

"Ayo pulang." Pak Samsul mengajak Rama dan Rania pulang. Ia kecewa tapi yang sangat kecewa adalah Rama.

"Anda tidak marah kan Pak Samsul?" Pak Hadi menghadang jalan kawannya.

"Kami harus pulang." Ucap Pak Samsul.

.

.

.
13 Juni 2023



















Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now