Harum melati tengah malam

1.3K 82 0
                                    

Selama berada di tempat kerjanya, Amira sama sekali tidak fokus dengan pekerjaannya. Terkadang ia melamun memikirkan tentang dirinya, juga memikirkan berpulangnya Bu Rani.

Apakah ini bisa dikatakan sebuah kelebihan yang ia miliki. Seperti mempunyai indera keenam? Jika iya, Amira tidak ingin menginginkannya. Karena membayangkan tentang firasatnya terhadap ibunya Rama yang menjadi kenyataan itu saja sudah membuatnya ketakutan. Padahal selama ini ia tidak pernah melihat keanehan yang ia miliki itu.

"Ra, beneran. Kamu pulang nggak mau aku antar?" Tanya Nindi. Mereka sekarang berada di area parkir.

Nindi melihat wajah Amira begitu pucat. Apalagi setelah mendengar tentang kerabatnya yang meninggal, Amira langsung menangis tadi. Membuat Nindi tidak tega membiarkan Amira mengendarai sepeda motornya sendiri. Apalagi di jam pulang kerja seperti ini.

"Nggak perlu Nin, aku baik-baik saja. Kamu tenang aja." Tolak Amira sambil memasang helm.

"Tapi muka kamu pucet lho Ra?" Nindi masih berusaha membujuk Amira.

Amira memberikan senyum manisnya kepada sahabatnya itu.

"Nindi sayang. Kalau kamu antar aku pulang. Terus gimana sama motor kamu? Lagian arah rumah kita juga nggak searah. Kecuali kalau jarak rumah kita nggak jauh-jauh amat. Baru, aku mau kamu antar." Ucap Amira.

"Tapi aku khawatir sama kamu Ra." Nindi masih kekeuh membujuk sambil menahan lengan Amira.

"Iya, makasih udah peduli banget. Tapi aku beneran baik-baik aja." Sekali lagi Amira meyakinkan Nindi.

"Bener."

"Iya, Nindi cantik." Ucap Amira gemas mencubit kedua pipi Nindi.

"Ya udah kalau gitu. Tapi kalau udah sampai rumah, kabarin aku ya." Tangan kanan Nindi membentuk seperti gagang telepon.

"Beres. Ya udah, aku duluan ya. Kamu juga hati-hati. Bye.." Pamit Amira melajukan sepeda motornya.

Kaca helm yang tadi terbuka ia tutup agar tidak kelihatan jika ia tengah menangis. Sebenarnya Amira sangat shock dan juga sangat terpukul tapi ia harus menutupi semua itu agar tidak mengganggu teman-teman kerjanya dan juga pekerjaannya.

Kepulangannya sudah di sambut sang ibu di teras. Mata wanita yang sudah melahirkan ia ke dunia itu terlihat sembab. Lagi-lagi Amira tidak bisa membendung air matanya begitu ia menubruk bahu berisi itu.

"Amira kenapa bisa melihat itu Bu?" Bu Halimah juga tidak bisa menahan air matanya agar tidak mengalir lagi.

"Amira nggak mau.." Lirihnya sangat sesak.

"Nak, kematian seseorang itu sudah takdir yang maha kuasa. Mungkin kebetulan itu menghampiri kamu saja." Ucap Bu Halimah.

"Sekarang ayo masuk. Ibu tahu kamu capek." Bu Halimah menghapus sisa-sisa air mata di kedua pipi putrinya.

Melangkah ke meja makan lalu mengambilkan Amira segelas air putih.

"Tadi dikubur jam berapa Bu, jenazahnya?" Suara Amira parau.

"Jam setengah sebelas. Kasihan Rania sama Rama, Nak. Mereka sangat terpukul." Jawab Bu Halimah.

"Gimana ceritanya Bu?" Amira juga mencemaskan Rania, remaja itu pasti sedih sekali. Sekarang telah menjadi piatu.

"Ibu juga tidak tahu bagaimana detailnya. Tapi kata ayahmu pas Rania masuk ke kamar Bu Rani untuk berpamitan berangkat sekolah. Rania mendapati Bu Rani sesak nafas, tergolek tak berdaya. Rania berteriak memanggil ayah dan kakaknya. Langsung saja Rama membawa ke rumah sakit begitu ibunya tiba-tiba ngedrop. Tapi pas masuk ruang UGD almarhumah sudah tidak bisa diselamatkan."

Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang