Firasat

1.4K 95 0
                                    

Seharian Amira mengurung diri di kamar setelah pertengkarannya dengan sang ayah. Amira sendiri juga tidak mengerti mengapa ia bisa bertingkah kasar dengan berani menyentak ayahnya.

"Sudah mau Maghrib. Tolong panggil Amira, Bu. Ayah khawatir anak itu ketiduran." Pinta Ayah sambil memakai peci hendak berangkat ke masjid.

Semarah apapun orangtua terhadap anak. Perhatian mereka tidak akan pernah berkurang.

"Ayah sudah tidak marah lagi kan sama Amira?" Tanya ibu.

"Mau semarah apapun Ayah. Amira putri kita satu-satunya." Jelas Ayah. 

"Apa kita terlalu memanjakan Amira ya Yah? Amira jadi berani seperti itu?" Duga Ibu.

"Mungkin tadi pagi dia cuma kesal saja. Makanya putri kita hilang kendali. Cepat panggil Amira. Ayah berangkat dulu." Pamit Ayah untuk melaksanakan jama'ah sholat Maghrib.

"Amira, Nak.." Ibu mengetuk pintu kamar Amira.

"Amira..." Sekali lagi ibu memanggil nama Amira karena belum mendapat sahutan dari dalam.

"Kamu dengar ibu kan. Maghrib ini, kamu jangan tidur." Dengan sabar ibu masih mengetuk pintu.

Lagi-lagi tidak ada sahutan. Ibu mencoba menarik handle pintu dan untungnya tidak terkunci dari dalam. Dilihatnya Amira bergelung selimut. Ibu menghembus nafas kasar, sudah diingatkan berkali-kali tidak baik tidur di waktu menjelang Maghrib.

"Anak ibu.." Ibu menepuk bahu Amira dibalik selimut itu. Duduk di tepi ranjang.

"Apa Bu?" Sahut Amira malas sambil melepas guling yang ia dekap. Terlihat kedua matanya membengkak. Bekas sebuah tangisan.

"Ibu kira kamu tidur. Mandi sana terus sholat." Ibu mengelus lembut kening Amira.

"Ayah udah ke masjid ya Bu?" Tanya Amira. Ibu mengangguk.

                                   ***
"Ayah maafin Amira. Amira udah ngebentak Ayah pagi tadi." Amira memeluk pinggang Pak Hadi setelah mereka selesai makan malam.

"Ayah maafin. Tapi kamu juga harus minta maaf sama Rama." Jawab Ayah mengelus kepala Amira yang tertutup kerudung instan.

Amira tidak tahu kapan Rama pulang dari rumahnya karena setelah membentak ayahnya, Amira berlari ke kamar. Menangis sepuasnya di sana bahkan Amira juga melupakan makan siang. Gadis itu keluar kamar hanya untuk sholat saja.

Sejujurnya berat bagi Amira untuk minta maaf kepada pemuda itu. Amira hanya mengungkapkan isi hatinya agar Rama mengerti akan penolakannya.

"Harus ya Yah?" Tanya Amira.

"Harus. Setelah ini kita ke rumahnya Rama. Kita jenguk ibunya Rama." Ajak Pak Hadi. Mau tidak mau Amira harus menuruti ucapan ayahnya.

Ibunya Rama baru kemarin pulang dari rumah sakit. Entah beliau sakit apa Amira sama sekali tidak tahu. Untuk bertanya kepada ayah dan ibunya saja Amira terlalu malas.

Memasuki rumah Rama setelah mengucap salam. Di sana mereka disambut dengan suka cita. Rama tersenyum ramah ke arah Amira, menyingkirkan sikap kasar Amira pagi itu.

Amira berdehem singkat ketika pandangan Rama tidak teralihkan darinya. Ia sangat risih, jika tidak ada para orangtua. Amira akan menonjok muka Rama. Biar laki-laki itu tau rasa.

"Alhamdulillah, kondisi Bu Rani sudah lebih baik sekarang." Ucap ibu menggenggam tangan Bu Rani.

Ibunya Rama tengah bersandar di kepala ranjang. Mereka berada di ruang tengah. Sementara Amira, Pak Hadi, Pak Samsul dan Rama duduk di kursi. Adiknya Rama, Rania tengah di dapur membuat minuman untuk mereka.

Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now