"Iya, kamu sendiri?"

"Sama kayak kamu."

"Kamu tahu ruangannya ada di mana?" Tanya Rama.

"Tahu, tadi Nindi sudah beritahu. Ayo masuk." Ajak Angga.

Rania mengekor di belakang kedua lelaki itu, mengikuti langkah Angga yang tahu ruangannnya Amira. Di dalam kamar inap itu, Nindi duduk di sisi ranjang berbincang dengan Amira. Menemani Amira selama kedua orangtuanya pulang sebentar.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam." Nindi dan Amira saling pandang saat tahu kakak-beradik itu datang bersama Angga.

"Mbak Amira sakit apa?" Tanya Rania saat meletakkan bawaannya di atas nakas.

"Mbak, nggak sakit apa-apa. Cuma kecape'an aja. Makasih ya udah datang." Amira tersenyum.

"Iya Mbak, sama-sama. Untung aku buka ponsel. Kalau nggak, bakalan nggak tahu aku, Mbak Amira ada di sini."

Senang sekali rasanya, Rama dan Rania masih peduli pada dirinya.

"Mas Angga sama Mas Rama kok bisa barengan ya datangnya?" Tanya Nindi.

"Tadi nggak sengaja papasan di parkiran, Dek." Jawab Angga.

"Cepat sembuh ya Ra. Maaf nggak bawa apa-apa." Ucap Angga.

"Udah di jenguk aja, aku seneng banget Kak." Ucap Amira sambil melirik Rama yang setia menatapnya tanpa mengatakan apapun. Amira menjadi salah tingkah.

"Silahkan duduk. Maaf ya duduknya harus di bawah." Nindi beralih ke tikar.

Saat Angga dan Rania duduk. Rama mendekati ranjang. Dada Amira berdebar-debar tidak karuan. Ia berusaha untuk bersikap biasa saja seperti sebelum-sebelumnya. Tetapi tidak bisa, debaran jantungnya semakin menjadi. Jika Rama mendengarnya, tentu malu dia.

"Sudah dua kali dalam dua bulan ini kamu sakit." Ucap Rama. Amira kemudian mendongak. Menatap Rama dengan mata berkabut. Tatapan teduh itu sangat ia rindukan.

"Dan saya perhatikan, tubuh kamu kurus akhir-akhir ini."

"Aku lagi banyak pikiran." Jawab Amira pelan. Menundukkan pandangannya.

"Bagilah padaku." Rama menarik kursi agar bisa leluasa saat bicara.

Rania, Nindi dan Angga memilih tidak menganggu, mereka mengobrol hal lain.

"Kita tidak begitu dekat." Jawab Amira.

"Itu menurut kamu tapi bagi saya tidak."

"Aku tidak mau Arumi salah paham jika kita dekat satu sama lain."

"Saya dan Arumi tidak ada hubungan apa-apa!" Rama sangat kesal, semua orang telah salah paham akan kedekatannya dengan Arumi.

"Bukankah ayahmu sangat menyukai Arumi. Dia gadis baik, cantik lagi."

"Bisakah kita tidak membicarakan dia?" Pinta Rama dingin.

"Kenapa?"

"Karena saya tidak suka!"

"Baiklah." Amira mengangguk pelan.

"Kapan kamu pulang?"

"Besok, tapi nggak tahu jam berapa. A-ada a-apa?" Tanya Amira terbata-bata saat Rama menatapnya lekat.

"Beberapa hari yang lalu saya mimpi. Saya mimpi kamu tidur dengan pria lain. Kalian bergumul di satu selimut yang sama."

Deg.

"Mimpi itu seakan nyata. Kalian berbuat hal menjijikkan di depan mataku. Dan kamu? Sangat menikmatinya!" Perkataan Rama sangat menusuk.

Tubuh Amira tiba-tiba bergetar. Dalam hati ia meminta maaf, itu bukan kemauannya. Rama dan dirinya sama-sama mimpi hal serupa. Mereka benar-benar licik, sampai datang ke mimpinya Rama.

                                     🍁

Amira heran kenapa ia berada di tengah-tengah orang yang tidak dia kenal. Beberapa ibu-ibu menyuruhnya untuk duduk sambil memegang perutnya.

"Aduh, nggak sabar saya nunggu anak kamu lahir."

"Anak?" Amira tentu bingung. Ia tidak hamil. Menikah saja belum.

"Iya, lihat perut kamu. Sudah menonjol gini."

Amira meraba perutnya. Benar, perutnya menonjol dan sedikit keras. Apa benar ia hamil? Tapi bagaimana bisa? Apalagi saat ia raba, perutnya bergerak-gerak. Seperti ada tendangan kecil.

"Aduh." Ringisnya.

"Eh, kenapa?" Tanya ibu itu.

"Dia nendang." Jawab Amira, syok.

"Wah, benarkah?" Mereka sangat antusias.

Amira kembali meraba perutnya yang tertutup oleh pakaiannya. Ia hamil? Nggak mungkin.

"Pasti kalau udah lahir bakal tampan kayak ayahnya."

"Ayahnya?"

"Iya, suamimu itu tampan sekali."

Tubuh Amira bergidik, siapa yang dimaksud suaminya oleh ibu-ibu itu.

"Amira."

Bu Halimah menepuk pipi Amira. Gadis itu meracau tidak jelas dalam tidurnya. Jam di dinding mengarah pada pukul dua dini hari.

"Amira, Nak.. Amira bangun sayang."

"Apa yang kamu mimpikan Nak. Jangan buat ayah dan ibu khawatir."

Berkali-kali dipanggil tapi Amira tidak kunjung bangun dari mimpi buruknya. Bu Halimah dan Pak Hadi sangat cemas.

.

.

.
10 Juli 2023

























Jin Nasab (Warisan sang leluhur)Where stories live. Discover now