clrl . epilog

823 112 55
                                    

“AKU TIDAK MAU FOTO, GENYA!!”

“APA SUSAHNYA DUDUK MANIS, ANIKI??”

Yaelah, bentak-bentakan sayang lagi di tempat ini. Membuat orang-orang sweatdrop. Sedang memposisikan diri untuk duduk.


“Wow! Kamera!? Ini yang namanya kamera!? Apa dia kuat?” Inosuke berseru melihat kamera yang besar dan ditutupi kain hitam. “Bukan bego, haahhhhh kenapa ada manusia sebodoh ini, ya Tuhan,” Zenitsu tertekan.


“lagipula kenapa orang orang bertopeng itu juga ikut sih!?”

“Zenitsu-san nggak perlu berisik!” Aoi akhirnya kesal juga. Memukul kepala Zenitsu.

“Apa kalian sudah siap?” terdengar suara yang sontak membuat orang orang yang lagi tubir itu terdiam. “O-oyakata-sama!!!”

Kiriya yang senyumannya terukir itu sanggup membuat manusia-manusia tawuran itu langsung rapih. “He,he.”

Kanata dan Kuina mengikutinya. Duduk untuk berfoto.

“Kalian berpakaian sangat rapi hari ini,” puji Kiriya. Membuat satu komunitas baper.



“Apa [Name]-sama tidak ikut?” tanya Giyuu. Kiriya mengangkat tangannya. “Dia datang sebentar lagi.”



Terdengar langkah terseret. Seorang gadis yang menarik lengan seseorang. “Ayolah, Yushiro! Gausah malu-malu!”

Yushiro dengan wajah lempengnya yang lagi menggendong kucing itu mendecih datar. [Name], ia hanya menghela nafas. Sigh.



Muka Tanjiro langsung cerah. ‘Yushiro-san juga ikut??’




“Maaf,” [Name] menjalankan kruknya. Ia tersenyum pada petugas yang nyalain kamera. Mengisyaratkan untuk cepat duduk.



“Jadi anda datang? Aniki tadi bolak-balik nyariin,” tawa Genya renyah. Buka kartu. Sontak Sanemi memukulnya galak.

“Haha,” [Name] menarik lengan Yushiro untuk duduk. Sekarang mereka siap untuk difoto. “Yushiro, ini nggak mau diajak foto.”

“Kan aku bukan kisatsutai,” ngelesnya.



“Kalian diam, 3.. 2.. 1..” ujar yang punya kamera.







Malam seperti biasa. Aku sudah membaca surat ini kesekian kalinya. Entah sudah berapa tahun yang lalu seperti ini. Rasanya seperti hari-hari yang cepat.

Aku duduk di sisi makamnya. Menekuk surat itu. Hah.. Meski dia orang yang menyebalkan saat aku pertama menemuinya, tapi aku tidak bisa menyangkal.

Dia satu-satunya orang yang mengingatkanku pada Tamayo-sama. Dari cara bicaranya, suaranya, dan tatapan matanya.

Aku mengusap tengkukku. surat ini sudah kekuningan dimakan usia.




Aku tidak bosan membacanya, baiklah. Aku juga tak bosan berlama-lama duduk di sisi makamnya juga. Mengelus-elus Cachamaru. Aku memandang langit malam yang berkabut.

Entah sudah lewat berapa tahun. Aku tak pernah menghitungnya..

Dia mati karena kode etik pemburu iblis itu. Aku menyayangkan usianya yang singkat.

Setidaknya dia mati dengan terhormat. Aku bangga padanya.









Langkah kaki Yushiro di saat hujan tersebut terhenti, ia mengangkat sedikit payungnya dan menoleh. Gedung-gedung tinggi yang memiliki layar raksasa itu menampilkan berita.

Lelaki itu membuka layar gadgetnya.

“....”




“Diberitakan bahwa pelaku pembunuhan adalah anak berusia dibawah umur. Diduga memiliki gangguan mental, ia mengakui sendiri kronologis kejadian.”

“... Apa-apaan,” dengus Yushiro sambil mematikan handphonenya. “Orang-orang jaman sekarang tidak bisa memperlakukan anak-anak dengan baik hingga terjadi hal seperti ini.”

Langkah kaki Yushiro di genangan air meninggalkan tempat itu. Malam yang berembun dengan kabut.





Sebuah mobil dalam jangkauan penglihatanku berhenti di depan bangunan ini. Entah apa yang hendak mobil itu lakukan. Membuat pengendaranya turun.

Aku tidak peduli, setelah menusuk pria tua itu dengan pecahan kaca di jantungnya. Aku tak peduli, ibuku sudah bebas dari kekangannya. Jadi dia bisa bahagia sekarang.

Bahagia.




Itulah yang kukatakan pada polisi atau apalah namanya kemarin. Setelah membuatku dan ibuku menjadi gila seperti ini, berharap pada janji-janji palsu.

Aku merealisasikan jika aku tak membunuhnya, selamanya kami tidak bisa melihat matahari lagi.

Tidak ada yang bisa menolongku selain diriku sendiri. Meski sekarang aku dibalik jeruji besi. Setidaknya wajahnya tidak lagi membuatku muak.




Yah, bagaimanapun juga, itu membuatku mendapatkan kepuasan sendiri. Terlebih, aku tidak mendapatkan ilusi yang sama akhir-akhir ini.

Bagaimana kabar mereka? aku menyandarkan diri ke kursi. Menggigiti kukuku. Aku ingin melihat mereka lagi.. Aku ingin bertemu mereka lagi.



Kenapa aku tidak melihat ilusi keseharian itu sejak disini? Atau itu hanya khayalan belaka?

Sebentar saja. Kumohon.



Aku belum melihat warna-warna kebahagiaan yang seperti itu, kecuali disana.

Suara sel kamarku terbuka.



“Apa anda yakin soal ini, Ubuyashiki-san?”

“Yang ia perlukan bukanlah jeruji besi dan kurungan, ia memerlukan terapi dari traumanya. Anak-anak adalah korban, mereka seharusnya tidak diperlakukan seperti pelaku.”



Aku menoleh pada langkah kaki yang mendekatiku. Tak perlu mengangkat kepala, ia sendiri yang berlutut di hadapanku.

“Maafkan aku, baru bisa menemuimu sekarang, [Name],” ia berucap lirih. Tatapannya begitu lembut padaku.

Aku menatapnya tak percaya.



Jika iblis seperti Muzan itu nyata.




Maka malaikat seperti mereka.. juga. Kan?



“Aku.. Tak bisa melihat warna lagi..” aku bergetar. Mataku sudah kehilangan cahaya kehidupan. Aku melihat ibuku mengalami kematian secara langsung.

“Itu tidak benar,” ia menatapku langsung. “Kau hanya belum melihat dunia yang sesungguhnya, [Name]. Maka akan kutunjukkan padamu,”




Kenapa kata-kata yang diucapkannya dapat membuatku menangis? Atau mungkin aku hanya merindukan sosok seperti mereka?

Aku mengusap wajahku yang basah.



“Ayo kita pulang, Ubuyashiki [Name]..”

you cry you die

colorful - end

COLORFUL. Where stories live. Discover now