FATAMORGANA • 23

87 14 94
                                    

Siapa yang menyangka kalau kemarin menjadi pertemuan terakhir dengannya. Hatiku kembali berdenyut nyeri serta sakit yang begitu mendalam seperti dihantam beberapa batu dengan ukuran besar. Rasa ingin marah, kecewa dan sedih melebur menjadi satu. Masih ada banyak hal yang belum aku tanyakan kepada Gentala, terlebih tentang keluarganya. Sekarang bagaimana bisa aku menemukan jawaban atas semua pertanyaan dalam angan ku selama ini?

"Aku pengen deh kalau keluarga besar ku kumpul semua. Pasti seru, keharmonisan juga akan tercipta setelah beberapa lama gak ketemu," kata Gentala yang sibuk mengganti baterai baru pada raket nyamuk.

Mauren menyahutinya, "sama, aku juga pengen gitu. Semenjak nenek meninggal para saudara yang rumahnya jauh jarang ke sini."

"Ya gimana, Ren? Mereka sibuk sama pekerjaan," kata ku ikut nimbrung.

"Suatu saat pasti bisa kumpul semua," ujar Gentala.

Ku lihat satu persatu saudara Gentala, mulai saudara dekat sampai saudara jauhnya yang bahkan aku tidak mengenal mereka tetapi beberapa dari mereka ada yang mengenalku. Rasa sesak menghampiri mengingat permintaan dia yang mungkin bagi sebagian orang terlihat sepele.

"Gentala, semua saudaramu udah kumpul sesuai keinginan kamu. Tapi kenapa harus dalam keadaan seperti ini? Kamu waktu berdoa kurang lengkap, Gentala. Harusnya waktu itu kamu bilang kalau ingin mengumpulkan semua saudaramu di acara yang bahagia," batinku.

Aku tidak bisa melanjutkan membaca surah Yasin yang dibaca bersama. Aku kembali terisak pelan karena hanya bisa memandangi tubuh Gentala yang terbujur kaku dengan jarik sebagai penutup sampai keranda digotong oleh beberapa teman serta saudara laki-lakinya menuju tempat peristirahatan terakhir.

Aku ikut ke pemakaman bersama yang lain. Tiba di pemakaman, tepat saat suara adzan dikumandangkan dari dalam liang lahat Mama Dera pingsan melihat putra yang begitu beliau sayang. Hati ibu mana yang tidak hancur melihat satu-satunya anak laki-laki yang terakhir kali berjumpa kabar terlihat baik-baik saja dan tiba-tiba diberitahu kalau Gentala meninggal, apalagi dengan cara bunuh diri.

Suami Kak Gina bersama beberapa tetangga membopong Mama Dera untuk dipulangkan terlebih dahulu. Kini, di pemakaman hanya tersisa aku, Mauren dan juga Seandra. Teman satu kelas maupun teman Gentala dari kelas lain sudah pulang.

Ku usap dengan perlahan nisan yang tertulis nama Gentala Stefanus itu. Linangan air mata membanjir kedua pipi tak bisa aku tahan sedetikpun. Mauren berjalan mendekat, ikut duduk lesehan di samping lalu memelukku penuh kasih sayang dengan kedua tangannya yang mengusap kepalaku.

"Udah, ya? Jangan nangis terus, nanti Gentala sedih lihat kamu menangis seperti ini. Kita semua tau kalau kamu belum ikhlas, sampai kapan kamu akan begini?" ujar Mauren sambil menghapus air mataku menggunakan jemarinya.

"Ayo pulang. Gentala udah nungguin kamu di rumah," sahut Seandra.

Mendengarnya pun rasanya semakin sulit untuk meninggalkan pemakaman ini. Gundukan tanah yang masih basah dengan beberapa taburan bunga di atasnya aku mainkan dengan asal. Tak perduli kalau jari dan gamis yang aku kenakan semakin kotor.

Aku mendongak kala merasakan rintik gerimis kecil mengenai punggung tangan. Seandra yang menyadari kalau sebentar lagi mungkin akan turun hujan, sontak melepas kemeja hitamnya dan menyisakan kaos putih sebagai dalaman. Seandra tetap berdiri sambil membentangkan kemejanya sebagai penutup kepala ku dan Mauren.

"Mau hujan, Ay. Ayo pulang," ajak Mauren yang ku jawab dengan gelengan pelan.

"Kalau kamu mau pulang, duluan aja sama Sean. Aku masih pengen di sini," kata ku setelahnya.

Mauren berdiri, mengajak Seandra untuk meninggalkan aku sendirian di pemakaman Gentala. Aku sebenarnya takut, tetapi rasa takutku saat ini dikalahkan oleh rasa tidak ikhlas menerima kenyataan kalau Gentala sudah meninggal.

FATAMORGANA [HIATUS]Where stories live. Discover now