FATAMORGANA • 22

60 14 78
                                    

Aku terbangun dari pingsan, mencerna ruangan asing yang sekarang aku tempati selama beberapa jam terakhir. Bisa ku tebak kalau ini adalah kamar utama karena terdapat beberapa buku di meja belajar serta pakaian yang menggantung pada gantungan belakang pintu. Aku melihat jam dinding yang terpasang di atas rak kecil.

Pukul setengah dua belas siang. Aku langsung terbangun dengan pupil mata membesar. Ternyata aku pingsan sangat lama, mulai sekitar jam delapan pagi hingga setengah dua belas. Aku merasa curiga dengan Gentala tadi, bisa jadi cowok itu mencampurkan obat tidur di sapu tangan.

Aku mencari ponsel di sekitar tempat tidur, tapi tidak menemukannya. Hembusan nafas kesal diiringi hentakan kaki menjadi aktivitas terakhirku dalam mencari ponsel.

"Haus banget." Aku menemukan segelas air putih di atas rak kecil.

Aku berjalan mendekatinya. Ternyata ponselku tergeletak di sini. Aku mengambil ponsel, mengurungkan niat ingin meminum air tersebut. Aku lebih memilih kehausan daripada minum air putih walaupun menggugah selera. Bukan tanpa alasan, lebih baik menghindari resiko apalagi cerita mengenai Hilda dengan Gentala terus berputar memenuhi otak.

Tanganku meraba rok seragam dan beruntungnya menemukan permen karet yang bisa aku makan sambil menunggu Gentala datang. Notifikasi pesan baru mengalihkan perhatianku, ternyata dari Risha yang memberitahu kalau sekarang masih istirahat kedua. Pasti datang ke kost ini masih lama karena pulang sekolah jam setengah empat sore. Menghubungi Hilda untuk menyusul ku pasti dia tidak mungkin mau, mengingat karena trauma bertemu Gentala yang sekarang entah sedang apa dan di mana.

Kedua kaki ku melangkah mendekati pintu. Dahi ku mengernyit heran kala mendapati pintu tidak bisa terbuka padahal gagangnya sudah ku paksa supaya terbuka. Aku berdecih, tindakan yang terbilang sia-sia karena rupanya Gentala mengunci pintu dari luar. Memang kurang ajar.

Aku mengedarkan pandangan untuk meneliti lebih lanjut mengenai ruangan yang sangat pengap ini. Lihat saja, satu-satunya jendela malah tertutup rapat dengan gorden. Setitik cahaya matahari yang masuk melalui ventilasi udara di atasnya tak membuat ruangan ini menjadi terang.

Aku kembali duduk pada pinggiran ranjang. Memikirkan Gentala yang selama aku pingsan dia pergi ke mana saja. Tidak mungkin kalau cowok itu dengan tega meninggalkan aku seorang diri di tempat kost ini. Otakku terasa buntu karena tidak bisa memikirkan bagaimana cara untuk keluar dari kamar kost Gentala.

Suara pintu terbuka mengalihkan atensi ku. Laki-laki dengan kaos putih polos yang dipadukan dengan celana selutut itu membawa nampan berisi mie kuah. Mencium baunya saja sudah membuatku semakin lapar.

"Kenapa airnya gak diminum?" Gentala bertanya dengan nada dingin seperti tadi saat pertama kali kita bertemu di depan pintu kost.

Aku menggeleng pelan. "Belum haus," tolak ku berbohong sambil memperhatikan gerak-geriknya yang menyimpan kunci pada saku belakang celananya.

"Mau makan ini? Kamu pasti belum makan. Nanti maag nya kambuh lagi." Kali ini nada bicaranya sudah lumayan menghangat. Tak dipungkiri kalau aku masih sedikit takut dengannya.

Aku kembali menolak pemberiannya. Gentala paling tidak suka mendapatkan penolakan seperti sekarang. Terbukti dari caranya meletakkan nampan dengan sedikit kasar di samping segelas air putih. Tetapi aku tidak perduli, dia saja tadi memberiku obat tidur dan bisa jadi dia mencampurkan obat lainnya pada mie kuah ataupun air dalam gelas yang belum aku sentuh sedikitpun.

"Kita udah lama gak ketemu," celetuk Gentala mengiringi langkahnya mendekatiku yang sudah waspada.

"Jangan takut, cantiknya Gentala," bisiknya tepat di depanku. Hembusan nafas Gentala yang bercampur alkohol memasuki indera penciumanku.

FATAMORGANA [HIATUS]Where stories live. Discover now